Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Budaya
Populer/Masa
Dosen Pengampu : Drs. Lathiful Khuluq, MA. PH. D,
Oleh :
Nur Abdur Razaq (09120030)
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
SELAMATAN
VERSI BUDAYA JAWA # SUNAN KALIJAGA #
Selamatan
merupakan ajaran dari Budaya Jawa untuk menyelamatkan jiwa orang yang telah
meninggal dunia. Ajaran ini sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha masuk di tanah
Jawa. Dalam perjalanannya ajaran selamatan ini mendapatkan pengaruh dari ajaran
agama Hindu dan Budha. yang dirubah-rubah itu hanyalah mantra ataupun doanya.
Prinsip selamatannya sendiri tetap dan setelah Islam masuk di Jawa, berbagai
tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip ajaran agama Islam.
Ada
beberapa orang yang mengatakan bahwa acara penyelamatan atau selamatan itu
sebagai tindakan bid'ah. Mereka berpandangan bahwa hanya si mayit yang bisa
menyelamatkan dirinya sendiri dengan amal dan perbuatannya pada masa hidupnya. Selain
bid'ah selamatan juga dianggap melakukan amalan yang membebani keluarga
almarhum. Maka selamatan dianggap menjerumuskan para pelakunya dan dianggap
sesat.
Apakah
di Islam tidak ada upacara penyelamatan jiwa orang yang sudah meninggal ?
Apakah jiwa orang yang meninggal tidak dapat ditolong oleh orang yang hidup
untuk memperoleh keselamatan hidupnya di alam akhirat ?
Secara
eksplisit, secara jelas, ajaran penyelamatan jiwa orang yang meninggal memang
tidak ada. Islam mengajarkan tekhnis penyelamatan terhadap mayit dengan cara
sederhana dan cara inilah yang diajarkan nabi Muhammad Saw. Yaitu ; memandikan
mayit dan sholat jenazah atau sholat ghoib.
Dengan
dimandikan dan disholatkan jenazah diharapkan jiwa sang mayit mendapat ampunan
dan perlindungan Allah SWT. Diharapkan jiwa orang yang meninggal itu bisa
kembali kepada Allah SWT dengan tenang dan tidak mengalami siksaan yang dikenal
sebagai siksa kubur.
FUNGSI SELAMATAN
Mengingat
perjuangan Sang Diri akan banyak menemui rintangan selepas pintu gerbang
kematian maka, orang-orang spiritual yang mengerti tentang kehidupan setelah
mati, pada zaman dahulu berusaha menolong orang yang matinya terpaksa.
Disebut
mati terpaksa karena kematiannya di luar kodrat dan irodatnya sendiri. Entah
karena sakit, usia, atau kecelakaan mereka perlu ditolong. Itulah wujud dari
kemanusiaan dari orang-orang spiritual yang mengerti tentang kehidupan setelah
kematian.
Adapun
upacara penyelamatan untuk menyelamatkan si mayit, yaitu disebut "selamatan"
Mengingat banyaknya aral melintang yang menghadang perjalanan jiwa orang yang
meninggal itu maka mereka yang hidup (yang dipimpin para ahli spiritualist yang
mengerti tentang kehidupan setelah kematian) ikut serta memberikan arah bagi si
mayit, untuk menemukan jalan hidupnya di alam gaib menemukan jalan di alam
kubur.
Semula
selamatan dilakukan oleh orang-orang spiritualis yang mengerti tentang
kehidupan setelah kematian, namun sejarah berubah sehingga yang tersisa
sekarang ini sebagian besar hanya upacara formalitas belaka.
Bukankah
selamatan itu bid'ah karena tidak ada tuntunan Rasul untuk itu ? Secara
eksplisit tidak ada, tetapi kalau cermat mengkaji Sunah Rasul niscaya akan
mengetahui bahwa tindakan penyelamatan orang yang meninggal itu ada, yaitu :
Yang
pertama adalah adanya sholat jenazah atau sholat ghoib. Yang kedua adanya doa untuk memintakan
ampunan dan perlindungan kepada orang mukmin dan muslim, baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal.
Upacara
selamatan tidak mungkin timbul di Jazirah Arab, karena basis untuk itu tidak
ada di sana. Sementara agama tidaklah tumbuh di ruang hampa, ada sholat, ada
puasa, dan ada haji, karena sebelum agama Islam datang disana, ibadah-ibadah
tersebut sudah ada di sana. Bukankah Islam menjadi agama penyempurna ?
AJARAN SUNAN KALIJAGA
Menurut
Sunan kalijaga, selamatan hari pertama itu di lakukan setelah hari ketiga
kematian. Lalu, dilakukan pada hari ketujuh, ketiga puluh, keempat puluh, ke
seratus, dan terakhir pada ke seribu harinya.
Karena
sudah menjadi formalitas dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat kita, maka
selamatan itu dilakukan sejak hari pertama secara terus-menerus hingga hari
ketujuh. Terus melompat yaitu ke seratus dan ke seribu harinya setelah
kematiannya.
Dalam
bahasa Jawa tanda kematian diisyaratkan dengan hilangnya "ananing"
yaitu ada hilangnya kesadaran murni. Mula-mula orang memerhatikan lewat sorotan
matanya, denyut nadinya dan detak jantungnya.
Di
jaman modern ini, dengan peralatan modern untuk mengetahui seseorang itu sudah mati
atau belum, dicek gelombang otaknya. jika sudah tidak ada gelombang alias
"flat" atau datar, orang tersebut diyakini sudah mati
Bagi
pandangan Islam Jawa, kehidupan akhirat itu tidak perlu menunggu hingga hancur
leburnya alam semesta ini. Hal ini tidak menyalahi hadist karena alam kubur
menurut hadist merupakan bagian dari alam akhirat.
Jika
merujuk pada ayat Al-Qur'an surat 2 : 154 yang artinya, "Jangan kalian
mengetakan bahwa orang yang gugur di jalam allah itu mati. Sesungguhnya mereka
itu hidup, tetapi kalian tidak menyadari hal itu."; dan ayat Al-Qur'an
surat 3 : 169-170 yang artinya, "Janganlah kalian mengatakan bahwa
orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup. Di
sisi tuhan mereka mendapat rezeki. mereka gembira karena karunia allah. mereka
bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di dunia yang belum
menyusul mereka. Sungguh tidak ada ke khawatiran atas mereka, dan tidak juga
kesediahan."
Ayat-ayat
tersebut diatas mengungkapkan keadaan orang yang mati di jalan allah SWT.
mereka itu ternyata terus menikmati kehidupan, meski bukan dengan menggunakan
badan fisikal ini.
Sementara
bila kita merujuk pada Al-Qur'an surat 50 : 19-22 yang artinya, "Datanglah
sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah suatu keadaan yang kalian hindri.
Ditiuplah sangkakala. itulah hari ancaman (bagi penjahat). Datanglah setiap
Diri diiringi pengiring dan penyaksi. Sungguh engkau lalai dalam hal ini. maka
Kami singkapkan tutup yang menghalangi penglihatanmu. dan, amat tajamlah penglihatanmu
pada hari itu."
Ayat-ayat
Al-Qur'an 50 : 19-22 tersebut diatas mengungkapkan keadaan yang dialami orang
jahat setelah kematiannya. Diberitahukan bahwa penglihatan setelah kematian itu
tajam sekali. tidak ada mata fisik, tetapi penglihatan malah menjadi amat
tajam. tentu saja penglihatan ini dapat dialami juga oleh mereka yang berdzikir
secara intens, tentunya yang didukung dengan prilaku budipekerti yang luhur.
Dinyatakan
dalam Suluk Ling Lung Kinanthi bahwa
setelah tiga hari terjadilah perubahan yaitu adanya perubahan kesadaran. Ketika
sakratulmaut dilampaui hilanglah kesadaran, sirnalah "ananing",
bagaikan orang tidur pulas tanpa mimpi. kondisi ini berjalan selama tiga hari. Setelah
tiga hari siumanlah Sang Diri di alam akhirat. ternyata isyarat tig hari itu
berasal dari kehadiran kita di dunia ini. Kita hadir melalui tiga penyebab,
yaitu ibu, ayah dan tuhan Yang maha Esa.
Bagi
jiwa yang mengalami kematian, tentu tergagap-gagap ketika dibangunkan. Dalam
surat Qaf ke-50, keadaan bangkit setelah sakratulmaut itu disebut "ditiup
sangkakala".Agar si mayit tidak bagkit dalam kebingungan seperti orang
yang tidur pulas mendadak di bangunkan, maka orang-orang yang tinggal disekitar
hidup si mayit itu memanjatkan doa agar jiwanya bisa bangkit dengan sempurna.
Bagi
jiwa si mayit mengalami keadaan perbedaan total. Pandangan mata yang terbatas
berubah menjadi penglihatan yang amat tajam. terangnya berganti, dari terangnya
cahaya matahari menjadi terang tanpa matahari. Terangnya alam ruhiyah atau alam
nyawa. Untuk itu jiwa si mayit harus mendapatkan pertolongan. Hakikat
pertolongan itu dari Allah SWT, tetapi cara kerjanya ya sebagaimana diatur di
alam. Harus ada energi yang membantu menormalkan kesadaran si mayit. Doa-doa
yang dipanjatkan dalam shalat jenazah berfungsi untuk menormalkannya.
Sebelum
ada pemanjatan doa ala Islam, orang Jawa telah melakukannya terlebih dahulu.
Ada yang langsung di hari ketiga dan ada yang dimulai hari pertama. kalau
dihitung secara pasnya, doa yang dilakukan sudah tentu sebelum jatuh tempo hari
yang ketiga. Karena kirim doa lewat "selamatan" ini dilakukan di
malam harinya setelah seseorang meninggal dunia. ada waktu penambahan energi
untuk kebangkitannya. tentu, bagi yang memiliki kesadaran penuh tidak mengalami
hambatan untuk bangkit.
Prosesi
ritus kematian pada masyarakat Jawa tradisional, biasanya diumumkan dengan cara
gethok tular (pemberitahuan dari mulut ke mulut dan dari pintu ke pintu).
Pemberitahuan ini disebut ngabari (memberitahukan) atau nglayati. Untuk
mendukung kabar juga igunakan kenthongan dengan bentuk bunyi kenthong cugag,
yaitu benyi kenthongan tiga kali-tiga kali. Pada saat mendengar beita kematian,
orang Jawa sudah sering mencoba menghubungkan dengan tanda-tanda sebelumnya,
seperti bunyi burung kolik dan burung gagak. Jika burung ini berbunyi
berkali-kali, mereka bertanya-tanya siapa yang akan segera meninggal. Saat itu
pula, mereka meyakini bahwa kematian terjadi dan segera dating ke tempatnya.
Orang
yang datang takziah (melayat) seing disebut pembelasungkawa. Pada saat melayat,
biasanya dilarang bersendagurau. Suasana harus kidmat dan menunjukan rasa susah
yang dalam. Orang yang datng ada yang membantu memasukan uang ditempat (kotak)
yang telah disediakan, lalu tangannya dibersihkan wijik pada wijikan yang
diberi daun dadap. Para pelayat ada yang langsung pulang, ada pula yang
menunggu sampai penguburan selesai. Jika pulang, mereka harus mandi besar
(grujug) untuk menghilangkan sarap sawan (hal-hal yang tidak di inginkan).
Cara
menentukan hari-hari selamatan kematian orang Jawa memiliki teknik tersendiri.
Untuk menentukan hari itu, mereka menggunakan perhitungan hari dan pasaran
dengan perhitungan:
a)
Ngesur tanah dengan rumus jisarji, maksudnya hari ke satu dan pasaran
juga ke satu,
b) Nelung dina dengan rumuslusaru, yaitu hari
ketiga dan pasaran ketiga,
c)
Menujuh hari (mitung dina) dengan rumus tusaro, yaitu hari ketujuh dan
pasaran kedua,
d)
40 hari (matangpuluh dina) dengan rumus masarama, yaitu hari ke lima dan
pasaran ke lima,
e) 100 hari (nyatus dina) dengan rumus
rosarama, yaitu hari ke dua pasaran ke lima,
f)
Peringatan tahun pertama (mendhak pisan) dengan rumus patsarpat yaitu
hari ke empat dan pasaran ke empat,
g)
Peringatan tahun ke dua (mendhak pindho), dengan rumus jisarly, yaitu
hari satu dan pasaran ke tiga,
h)
Perigatan seribu hari (nyewu) dengan rumus nemasarma yaitu hari ke enam
dan pasaran ke lima.
Setiap
upacara selamatan tersebut memiliki makna yang terkait dengan “kepergian” roh
orang yang meninggal. Memberikan makna terhadap upacara selamatan seperti
tersebut di atas ada kaitannya dengan upaya penyempurnaan roh dan jasad
manusia. Tafsiran yang diberikan adalah : ngesur tanah, bermakna bahwa jenazah
yang telah dikebumikan, erarti memindahkan dari alam fana ke alam baka, asal
manusia dari tanah selanjutnya kembali ke tanah. Selamtan meniga hari berfungsi
untuk menyempurnakan empat perkara yang disebut anasir hidup manusia, yaitu
bumi, api, angina, dan air. Selamtan menujuh hari untuk menyempurnakan kulit
dan kuku. Selamtan 40 hari untuk menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu
berupa darah, daging, sum-sum, jeroan (isi perut), kuku rambut, tulang dan
otot. Selamatan 100 hari untuk menyempurnakan semua hal yang bersifat badan
wadag. Selamatan mendhak pisan untuk menyempurnakan kulit, daging, dan jeroan.
Selamatan mendhak pindho menyempurnakan semua kulit, darah dan semacamnyayang
tinggal hanyalah tulangnya saja. Selamatan mendhak ketiga, untuk menyempurnakan
rasa dan bau sehingga semua rasa dan bau lenyap.
Upacara
selamatan 3 hari dimaksudkan untuk memberi penghormatan pada roh yangmeninggal.
Orang Jawa berkeyakinan bahwa roh tadi masih berada di dalam rumah. Ia sudah
mulai berkeliaran mencari jalan untuk meninggalkan rumah. Upacara selamatan
tujuh hari, dimaksudkan untuk penghormatan terhadap roh yang mulai akan keluar
rumah. Dalam selamtan tujuh hari dilaksanakan tahlil, berasal dari kata arab,
halla, yang berarti membaca kalimat,” laailaha illallah”, agar dosa orang yang
meninggal iampuni.
Upacara
selamatan 40 hari (matang puluh dina), dimaksudkan untuk memberi penghormatan
roh yang sudah mulai keluar dari pekarangan. Roh sudah mulai bergerak menuju ke
alam kubur. Upacara 100 hari (nyatus dina), memberikan penghormatan terhadap
roh yang sudah berada di alam kubur. Di alam ini, roh masih sering kembali ke
dalam keluarga sampai upacara selamtan tahun pertama dan peringatan tahun ke
dua. Roh baru tidak akan kembali, betul-betul meninggalkan keluarga setelah
peringatan seribu hari.
Di
samping itu, setelah peringatan seribu hari, setiap tahun sekali diadakan kol-kolan.
Ia juga mengungkapkan bahwa selamatan orang meninggal sering ada perlakuan
khusus, khususnya bagi yang meninggal pada hari sabtu. Katanya, orang yang
meninggal pada hari sabtu ini akan ‘mengajak’ orang lain untuk menemaninya.
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......