Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Saturday, 2 November 2013

SELAMATAN DALAM BUDAYA JAWA

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas
 Mata Kuliah : Budaya Populer/Masa
Dosen Pengampu : Drs. Lathiful Khuluq, MA. PH. D,




Oleh  :
Nur Abdur Razaq (09120030)

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
SELAMATAN VERSI BUDAYA JAWA # SUNAN KALIJAGA #
Selamatan merupakan ajaran dari Budaya Jawa untuk menyelamatkan jiwa orang yang telah meninggal dunia. Ajaran ini sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha masuk di tanah Jawa. Dalam perjalanannya ajaran selamatan ini mendapatkan pengaruh dari ajaran agama Hindu dan Budha. yang dirubah-rubah itu hanyalah mantra ataupun doanya. Prinsip selamatannya sendiri tetap dan setelah Islam masuk di Jawa, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip ajaran agama Islam.
Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa acara penyelamatan atau selamatan itu sebagai tindakan bid'ah. Mereka berpandangan bahwa hanya si mayit yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri dengan amal dan perbuatannya pada masa hidupnya. Selain bid'ah selamatan juga dianggap melakukan amalan yang membebani keluarga almarhum. Maka selamatan dianggap menjerumuskan para pelakunya dan dianggap sesat.
Apakah di Islam tidak ada upacara penyelamatan jiwa orang yang sudah meninggal ? Apakah jiwa orang yang meninggal tidak dapat ditolong oleh orang yang hidup untuk memperoleh keselamatan hidupnya di alam akhirat ?
Secara eksplisit, secara jelas, ajaran penyelamatan jiwa orang yang meninggal memang tidak ada. Islam mengajarkan tekhnis penyelamatan terhadap mayit dengan cara sederhana dan cara inilah yang diajarkan nabi Muhammad Saw. Yaitu ; memandikan mayit dan sholat jenazah atau sholat ghoib.
Dengan dimandikan dan disholatkan jenazah diharapkan jiwa sang mayit mendapat ampunan dan perlindungan Allah SWT. Diharapkan jiwa orang yang meninggal itu bisa kembali kepada Allah SWT dengan tenang dan tidak mengalami siksaan yang dikenal sebagai siksa kubur.
FUNGSI SELAMATAN
Mengingat perjuangan Sang Diri akan banyak menemui rintangan selepas pintu gerbang kematian maka, orang-orang spiritual yang mengerti tentang kehidupan setelah mati, pada zaman dahulu berusaha menolong orang yang matinya terpaksa.
Disebut mati terpaksa karena kematiannya di luar kodrat dan irodatnya sendiri. Entah karena sakit, usia, atau kecelakaan mereka perlu ditolong. Itulah wujud dari kemanusiaan dari orang-orang spiritual yang mengerti tentang kehidupan setelah kematian.
Adapun upacara penyelamatan untuk menyelamatkan si mayit, yaitu disebut "selamatan" Mengingat banyaknya aral melintang yang menghadang perjalanan jiwa orang yang meninggal itu maka mereka yang hidup (yang dipimpin para ahli spiritualist yang mengerti tentang kehidupan setelah kematian) ikut serta memberikan arah bagi si mayit, untuk menemukan jalan hidupnya di alam gaib menemukan jalan di alam kubur.
Semula selamatan dilakukan oleh orang-orang spiritualis yang mengerti tentang kehidupan setelah kematian, namun sejarah berubah sehingga yang tersisa sekarang ini sebagian besar hanya upacara formalitas belaka.
Bukankah selamatan itu bid'ah karena tidak ada tuntunan Rasul untuk itu ? Secara eksplisit tidak ada, tetapi kalau cermat mengkaji Sunah Rasul niscaya akan mengetahui bahwa tindakan penyelamatan orang yang meninggal itu ada, yaitu :
Yang pertama adalah adanya sholat jenazah atau sholat  ghoib. Yang kedua adanya doa untuk memintakan ampunan dan perlindungan kepada orang mukmin dan muslim, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Upacara selamatan tidak mungkin timbul di Jazirah Arab, karena basis untuk itu tidak ada di sana. Sementara agama tidaklah tumbuh di ruang hampa, ada sholat, ada puasa, dan ada haji, karena sebelum agama Islam datang disana, ibadah-ibadah tersebut sudah ada di sana. Bukankah Islam menjadi agama penyempurna ?
AJARAN SUNAN KALIJAGA
Menurut Sunan kalijaga, selamatan hari pertama itu di lakukan setelah hari ketiga kematian. Lalu, dilakukan pada hari ketujuh, ketiga puluh, keempat puluh, ke seratus, dan terakhir pada ke seribu harinya.
Karena sudah menjadi formalitas dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat kita, maka selamatan itu dilakukan sejak hari pertama secara terus-menerus hingga hari ketujuh. Terus melompat yaitu ke seratus dan ke seribu harinya setelah kematiannya.
Dalam bahasa Jawa tanda kematian diisyaratkan dengan hilangnya "ananing" yaitu ada hilangnya kesadaran murni. Mula-mula orang memerhatikan lewat sorotan matanya, denyut nadinya dan detak jantungnya.
Di jaman modern ini, dengan peralatan modern untuk mengetahui seseorang itu sudah mati atau belum, dicek gelombang otaknya. jika sudah tidak ada gelombang alias "flat" atau datar, orang tersebut diyakini sudah mati
Bagi pandangan Islam Jawa, kehidupan akhirat itu tidak perlu menunggu hingga hancur leburnya alam semesta ini. Hal ini tidak menyalahi hadist karena alam kubur menurut hadist merupakan bagian dari alam akhirat.
Jika merujuk pada ayat Al-Qur'an surat 2 : 154 yang artinya, "Jangan kalian mengetakan bahwa orang yang gugur di jalam allah itu mati. Sesungguhnya mereka itu hidup, tetapi kalian tidak menyadari hal itu."; dan ayat Al-Qur'an surat 3 : 169-170 yang artinya, "Janganlah kalian mengatakan bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan mereka itu hidup. Di sisi tuhan mereka mendapat rezeki. mereka gembira karena karunia allah. mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di dunia yang belum menyusul mereka. Sungguh tidak ada ke khawatiran atas mereka, dan tidak juga kesediahan."
Ayat-ayat tersebut diatas mengungkapkan keadaan orang yang mati di jalan allah SWT. mereka itu ternyata terus menikmati kehidupan, meski bukan dengan menggunakan badan fisikal ini.
Sementara bila kita merujuk pada Al-Qur'an surat 50 : 19-22 yang artinya, "Datanglah sakratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah suatu keadaan yang kalian hindri. Ditiuplah sangkakala. itulah hari ancaman (bagi penjahat). Datanglah setiap Diri diiringi pengiring dan penyaksi. Sungguh engkau lalai dalam hal ini. maka Kami singkapkan tutup yang menghalangi penglihatanmu. dan, amat tajamlah penglihatanmu pada hari itu."
Ayat-ayat Al-Qur'an 50 : 19-22 tersebut diatas mengungkapkan keadaan yang dialami orang jahat setelah kematiannya. Diberitahukan bahwa penglihatan setelah kematian itu tajam sekali. tidak ada mata fisik, tetapi penglihatan malah menjadi amat tajam. tentu saja penglihatan ini dapat dialami juga oleh mereka yang berdzikir secara intens, tentunya yang didukung dengan prilaku budipekerti yang luhur.
Dinyatakan dalam Suluk Ling Lung Kinanthi  bahwa setelah tiga hari terjadilah perubahan yaitu adanya perubahan kesadaran. Ketika sakratulmaut dilampaui hilanglah kesadaran, sirnalah "ananing", bagaikan orang tidur pulas tanpa mimpi. kondisi ini berjalan selama tiga hari. Setelah tiga hari siumanlah Sang Diri di alam akhirat. ternyata isyarat tig hari itu berasal dari kehadiran kita di dunia ini. Kita hadir melalui tiga penyebab, yaitu ibu, ayah dan tuhan Yang maha Esa.
Bagi jiwa yang mengalami kematian, tentu tergagap-gagap ketika dibangunkan. Dalam surat Qaf ke-50, keadaan bangkit setelah sakratulmaut  itu disebut "ditiup sangkakala".Agar si mayit tidak bagkit dalam kebingungan seperti orang yang tidur pulas mendadak di bangunkan, maka orang-orang yang tinggal disekitar hidup si mayit itu memanjatkan doa agar jiwanya bisa bangkit dengan sempurna.
Bagi jiwa si mayit mengalami keadaan perbedaan total. Pandangan mata yang terbatas berubah menjadi penglihatan yang amat tajam. terangnya berganti, dari terangnya cahaya matahari menjadi terang tanpa matahari. Terangnya alam ruhiyah atau alam nyawa. Untuk itu jiwa si mayit harus mendapatkan pertolongan. Hakikat pertolongan itu dari Allah SWT, tetapi cara kerjanya ya sebagaimana diatur di alam. Harus ada energi yang membantu menormalkan kesadaran si mayit. Doa-doa yang dipanjatkan dalam shalat jenazah berfungsi untuk menormalkannya.
Sebelum ada pemanjatan doa ala Islam, orang Jawa telah melakukannya terlebih dahulu. Ada yang langsung di hari ketiga dan ada yang dimulai hari pertama. kalau dihitung secara pasnya, doa yang dilakukan sudah tentu sebelum jatuh tempo hari yang ketiga. Karena kirim doa lewat "selamatan" ini dilakukan di malam harinya setelah seseorang meninggal dunia. ada waktu penambahan energi untuk kebangkitannya. tentu, bagi yang memiliki kesadaran penuh tidak mengalami hambatan untuk bangkit.
Prosesi ritus kematian pada masyarakat Jawa tradisional, biasanya diumumkan dengan cara gethok tular (pemberitahuan dari mulut ke mulut dan dari pintu ke pintu). Pemberitahuan ini disebut ngabari (memberitahukan) atau nglayati. Untuk mendukung kabar juga igunakan kenthongan dengan bentuk bunyi kenthong cugag, yaitu benyi kenthongan tiga kali-tiga kali. Pada saat mendengar beita kematian, orang Jawa sudah sering mencoba menghubungkan dengan tanda-tanda sebelumnya, seperti bunyi burung kolik dan burung gagak. Jika burung ini berbunyi berkali-kali, mereka bertanya-tanya siapa yang akan segera meninggal. Saat itu pula, mereka meyakini bahwa kematian terjadi dan segera dating ke tempatnya.
Orang yang datang takziah (melayat) seing disebut pembelasungkawa. Pada saat melayat, biasanya dilarang bersendagurau. Suasana harus kidmat dan menunjukan rasa susah yang dalam. Orang yang datng ada yang membantu memasukan uang ditempat (kotak) yang telah disediakan, lalu tangannya dibersihkan wijik pada wijikan yang diberi daun dadap. Para pelayat ada yang langsung pulang, ada pula yang menunggu sampai penguburan selesai. Jika pulang, mereka harus mandi besar (grujug) untuk menghilangkan sarap sawan (hal-hal yang tidak di inginkan).
Cara menentukan hari-hari selamatan kematian orang Jawa memiliki teknik tersendiri. Untuk menentukan hari itu, mereka menggunakan perhitungan hari dan pasaran dengan perhitungan:
a)     Ngesur tanah dengan rumus jisarji, maksudnya hari ke satu dan pasaran juga ke satu,
b)     Nelung dina dengan rumuslusaru, yaitu hari ketiga dan pasaran ketiga,
c)   Menujuh hari (mitung dina) dengan rumus tusaro, yaitu hari ketujuh dan pasaran kedua,
d)     40 hari (matangpuluh dina) dengan rumus masarama, yaitu hari ke lima dan pasaran ke lima,
e)      100 hari (nyatus dina) dengan rumus rosarama, yaitu hari ke dua pasaran ke lima,
f)    Peringatan tahun pertama (mendhak pisan) dengan rumus patsarpat yaitu hari ke empat dan pasaran ke empat,
g)    Peringatan tahun ke dua (mendhak pindho), dengan rumus jisarly, yaitu hari satu dan pasaran ke tiga,
h)   Perigatan seribu hari (nyewu) dengan rumus nemasarma yaitu hari ke enam dan pasaran ke lima.

Setiap upacara selamatan tersebut memiliki makna yang terkait dengan “kepergian” roh orang yang meninggal. Memberikan makna terhadap upacara selamatan seperti tersebut di atas ada kaitannya dengan upaya penyempurnaan roh dan jasad manusia. Tafsiran yang diberikan adalah : ngesur tanah, bermakna bahwa jenazah yang telah dikebumikan, erarti memindahkan dari alam fana ke alam baka, asal manusia dari tanah selanjutnya kembali ke tanah. Selamtan meniga hari berfungsi untuk menyempurnakan empat perkara yang disebut anasir hidup manusia, yaitu bumi, api, angina, dan air. Selamtan menujuh hari untuk menyempurnakan kulit dan kuku. Selamtan 40 hari untuk menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah, daging, sum-sum, jeroan (isi perut), kuku rambut, tulang dan otot. Selamatan 100 hari untuk menyempurnakan semua hal yang bersifat badan wadag. Selamatan mendhak pisan untuk menyempurnakan kulit, daging, dan jeroan. Selamatan mendhak pindho menyempurnakan semua kulit, darah dan semacamnyayang tinggal hanyalah tulangnya saja. Selamatan mendhak ketiga, untuk menyempurnakan rasa dan bau sehingga semua rasa dan bau lenyap.
Upacara selamatan 3 hari dimaksudkan untuk memberi penghormatan pada roh yangmeninggal. Orang Jawa berkeyakinan bahwa roh tadi masih berada di dalam rumah. Ia sudah mulai berkeliaran mencari jalan untuk meninggalkan rumah. Upacara selamatan tujuh hari, dimaksudkan untuk penghormatan terhadap roh yang mulai akan keluar rumah. Dalam selamtan tujuh hari dilaksanakan tahlil, berasal dari kata arab, halla, yang berarti membaca kalimat,” laailaha illallah”, agar dosa orang yang meninggal iampuni.
Upacara selamatan 40 hari (matang puluh dina), dimaksudkan untuk memberi penghormatan roh yang sudah mulai keluar dari pekarangan. Roh sudah mulai bergerak menuju ke alam kubur. Upacara 100 hari (nyatus dina), memberikan penghormatan terhadap roh yang sudah berada di alam kubur. Di alam ini, roh masih sering kembali ke dalam keluarga sampai upacara selamtan tahun pertama dan peringatan tahun ke dua. Roh baru tidak akan kembali, betul-betul meninggalkan keluarga setelah peringatan seribu hari.
Di samping itu, setelah peringatan seribu hari, setiap tahun sekali diadakan kol-kolan. Ia juga mengungkapkan bahwa selamatan orang meninggal sering ada perlakuan khusus, khususnya bagi yang meninggal pada hari sabtu. Katanya, orang yang meninggal pada hari sabtu ini akan ‘mengajak’ orang lain untuk menemaninya.

No comments:

Post a Comment

kasih komentar balik yah......