Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Friday 19 October 2018

ARKEOLOGI MAKAM ISLAM, ASTANA GUNUNG JATI


Astana Gunung Jati.
          
  Di desa Astana yang letaknya di Km. 5 arah Cirebon – Jakarta pada sisi kiri dan kanan jalan terdapat dua kompleks makam, yakni kompleks makam Sunan Gunung Jati (Gunung Sembung) dan makam syeh Datu Kahfi (Gunung Jati). Untuk masuk ke kompleks makam Syeh Datu Kahfi tidak begitu sukar, letaknya ada di timur jalan raya dan tanahnya berbukit dengan banyak pepohonan tinggi. Dari jalan raya terdapat jalan setapak terbuat dari semen dan dapat ditempuh dari dua arah,  dari sudut barat laut dan tenggara jalan setapak ini bertingkat-tingkat sampai ke Kompleks makam. Makam utama adalah makam Syeh Datu Kahfi yang merupakan guru dari Sunan Gunung Jati. Selain makam tersebut juga masih ada jalan ke puncak bukit yang disebut pusar bumi. Puncak bukit ini merupakan dataran tinggi, tampaknya bekas puncak yang berlava tetapi kini telah tidak berfungsi lagi.
Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa pada masa lalu disini dipasang menara api dan tempat ini dinamakan Muhara Jati yang merupakan pelabuhan yang ramai. Agaknya tempat ini merupakan daerah awal dari pelabuhan Cirebon yang dikepalai oleh seorang juru labuhan. Ditempat ini juga Syeh Datu Kahfi menghimpun murid-murid dan mengajarkan Islam. Disebelah barat jalan raya ada jalan masuk sekitar 5000 meter ke dalam dan melalui jalam tersebut kita akan sampai ke kompleks makam Sunan Gunung Jati yang ada di Bukit (gunung) Sembung. Di halaman depan terdapat dua bangunan terbuat dari kayu jati berdenah segi empat. Bangunan ini dikenal  sebagai Mande Jajar yang merupakan hadiah dari raja Pajajaran kepada Sunan Gunung Jati. Bangunan ini dibangun pada tahun 1401 Caka atau 1479 M. Sebuah bangunan yang hampir sama bentuknya juga terbuat dari kayu jati tersebut Bale Manggu Demak. Bangunan ini dihadiahkan oleh Ratu Nyawa dari Demak untuk penghormatan kepada suaminya yakni putera Sunan Gunung Jati yang meninggal dalam perjalanan dari Cirebon ke Demak karena kapalnya yang ditumpangi karam ditengah lautan dan terdampar di Mundu. Tokoh ini mendapat gelar Pangeran Brata Kelana atau Sa’dang Lautan (yang meninggal di laut) (Atja, 1972). Bangunan ini dibuat pada tahun 1402 Caka atau 1480 M.
            Dari halaman luar kita akan memasuki sebuah pintu pertama yang berbentuk bentar. Setelah melalui pintu pertama dengan melalui tangga maka terdapat pintu kedua yang disebelahnya terdapat pintu kedua yang disebelahnya terdapat bak air untuk mengambil air wudhu atau mencuci kaki. Setelah melewati tangga, kita akan berhadapan dengan balai tempat para pengurus makam. Para pengurus makam ini semuanya berpakaian adat tradisionil Jawa yakni bertutup kepala ikat atau blangkon dari kain batik dan kain kutung dari kain putih, kemudian memakai lagi kain batik. Menurut tradisionil, para pengurus makam ini adalah para keturunan dari Adipati yang kapalnya terhampar di Cirebon dan kemudian mereka membaktikan diri pada Sunan Gunung Jati yang pada waktu itu menjadi raja Cirebon. Adipati Keling yang juga bergelar Pangeran Suramenggala. Pernah juga membantu Fadilah Khan sebagai salah seorang Panglimanya ketika menyerang Sunda Kelapa yang setelah ditaklukkan oleh Fadilah Khan diubah namanya jadi Jayakarta (Atja, 1972).
            Keturunan Adipati Keling ini oleh Sultan Cirebon, sultan Kesepuhan dan Sultan Kanoman diberi kepercayaan menjadi pengurus makam Sunan Gunung Jati. Makam Sunan Gunung Jati Berada di sebuah bukit yang bernama Gunung Sembung, sedang makam Sunan Gunung Jati sendiri, dalam kompleks makam itu berada pada puncak atau tingkat Kesepuhan. Selain Sunan Gunung Jati, disini dinamakan juga Syarifah Medan (Rara Santang, ibu kandung Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean dan Fadilah Khan atau Ki Bagus Pase. Makam ini diberi bercungkup dan disisi kiri dan kanan makam terdapat kompleks makam Sultan-Sultan Sepuh (sebelah timur) dan makam Sultan-Sultan Kanoman (disebelah barat). Kompleks makam ini tidak boleh dikunjungi oleh orang luar selain keluarga Sultan sendiri. Untuk masyarakat umum hanya diperbolehkan ziarah sampai pintu ketiga atau pintu pengsujudan.
            Kepala dari pengurus makam disebut Jeneng ia mempunyai sejumlah pembantu dan pegawai yang sehari-hari mengurus dan mengatur kebersihan makam mengatur yang akan ziarah. Jeneng tersebut dalam tugasnya dibantu oleh 4 orang bekel tua dan 8 orang bekel enom. Bekel tua dan bekel enom itu dibantu lagi oleh 108 orang wong Kraman, yang tugas sehari-harinya membersihkan seluruh kompleks makam. Pembagian tugas sehari-hari para pengurus itu diatur sebagai berikut: Jeneng adalah pemimpin umum yang mengatur agar peziarah ke makam dapat berlangsung lancar ia juga melaksanakan doa arwah bagi peziarah yang dating atas perintah Sultan. Jeneng juga mengantar tamu-tamu yang datang atas undangan Sultan, baik Sultan Kesepuhan maupun Sultan Kanoman.
            Bekel tua yang keempat tiap dua minggu masing-masing memimpin 2 bekel enom dan 12 wong kraman bertugas selama satu minggu karena jumlah mereka sekaliannya 108 orang dan dilakukan bergilir. Sehingga setiap bekel mendapat tugas khusus selang dua bulan selama dua minggu. Selain jeneng dan sekalian stafnya itu, di dalam kompleks makam juga terdapat masjid Gunung Jari yang dipimpin oleh seorang penghulu yang dibantu oleh 12 pembantu pegawai masjid. Baik jeneng, Bekel tua, Bekel enom, Kraman, Penghulu selain mempunyai tugas mengurus makam juga sewaktu-waktu dapat membantu tugas-tugas di Kraton atas perintah Sultan, baik Sultan Kanoman maupun Sultan Kesepuhan.

ARKEOLOGI MAKAM ISLAM


Bangunan Makam
             
Salah satu hasil budaya Indonesia dari masa Indonesia Islam yang cukup menonjol ialah nisan (Nisan) Kubur. Sebagai satu hasil seni rupa Indonesia, maka dari segi arsitektur dan filsafahnya unsur pokok dari Nisan-Nisan di Indonesia merupakan satu kelanjutan dari masa-masa sebelumnya yakni dari masa prasejarah yang disambung kemasa Hindu-Islam (Recuffaer, 1932, 515 – 657). Nisan kubur ini lebih dikenal dengan sebutan makam. Pengertian makam disini adalah suatu sistim penguburan untuk orang muslim dimana di atas permukaan tanah dari tokoh yang dikuburkan lazim dibuat bangunan yang pada umumnya berbentuk persegi panjang dengan terletak arah Utara – Selatan.
            Dalam membuat makam ini maka sangat sering ditampilkan ragam hias dengan pola-pola tertentu. Sebenarnya hukum Islam menetapkan bahwa untuk bangunan makam hendaknya dibuat sesederhana mungkin, asal ada bukti tanda tokoh yang dimakamkan umpamanya sepotong batu atau sepotong kayu sudah cukup. Pembuatan makam yang berlebih-lebihan dengan berbagai macam ragam hias dianggap sebagai mubadzir sehingga makruh.
            Namun demikian aspirasi manusia yang ingin menampilkan hasil karya seni dengan membuat berbagai ragam hias pada bangunan makam, dapat kita lihat diberbagai tempat di dunia, misalnya makam Tajmahal di Agra, Chol Khumbaz di Rijapur (India) dan demikian juga di berbagai tempat di Indonesia. Dilihat dari sudut ilmu bangunan makam memiliki tiga unsur yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya yakni kijing (jirat), yakni dasar atau subasmen yang berbentuk persegi panjang dan dengan berbagai variasi kadang-kadang diberi tambahan sudut dan hiasan tangan dalam bentuk simbar (antefix). Kemudian di atasnya pada sudut puncak bagian utara dan selatan (jirat inti) tradisi menempatkan-menempatkan pada utara-selatan; diletakkan nisan (nisan) dari batu, kayu, logam. Nisan ini ada yang dipasang pada bagian kepala saja (utara) atau kedua-duanya kepala dan kaki yakni utara dan selatan. Jirat dengan nisan ini kadang-kadang diperlengkapi pula dengan bangunan pelindung yang disebut Cungkup. Tentang pengertian nisan atau nisan jika dilihat segi-segi etimologi telah diuraikan oleh beberapa ahli. Wilkinson berpendapat bahwa nisan atau nisan adalah variasi kata bahasa Persia yang artinya tanda. Hidding menyatakan bahwa nisan berasal dari kata paesan yaitu cermin untuk berhias, dimana kata paes artinya hias.
            L.Ch. Damais mengajukan pendapat bahwa kata nisan berasal dari kata Sanskerta: mahisa (kerbau). Pada zaman pra Hindu terdapat tradisi untuk memasak atau menegakkan batu semacam menhir dengan disertai upacara pemotongan kerbau. Tradisi semacam ini hingga kini masih terdapat pada masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan. (L.Ch. Damais, 1957 – 359 dan seterusnya). Selain kata nisan atau nisan terdapat juga istilah lokal khususnya di Jawa untuk bangunan sejenis dengan sebutan tengar (Jawa) atau tetenger (Sunda) atau tunggal (Sunda).
Tentang bentuk-bentuk dari nisan atau nisan ditampilkan berbagai bentuk serta ragam hias, bentuk-bentuk tersebut antara lain bentuk phallus, meru, lingga dan jirat (krinjing) terdapat berbagai pola hias berbentuk ukiran daun-daunan (floral decoration) yang ditambah dengan simbar-simbar pada susut-susut dan jiratnya juga banyak yang dibuat berundak.
Pada cungkup bangunan banyak dibuat berbagai hiasan, baik pada tiang-tiang bangunan, pada dinding cungkup dan pada atap cungkup (plapond). Berbentuk ragam hias yang menonjol ialah ragam hias ilmu ukur (geomeris) seperti tiga, tumpul, salib Yunani, kurawal dan sebagainya. Hal ini memberikan suatu fakta bahwa hingga perkembangan Islam di Indonesia dalam melahirkan hasil karyanya seni  tetap terjadi pembaharuan berbagai aspek seni masa pra-Islam.
            Nisan kubur berbentuk phalus kita temukan di berbagai tempat, misalnya di Tanggerang, Angke, Kalimantan Barat. Bentuk jirat yang menyerupai punden berundak kita temukan pada makam-makam di Sulawesi Selatan, Banten, Cirebon, Madura. Pola hias berbentuk daun-daunan kita temukan di cungkup makam Sunan Gunung Jati, Cungkup makam Sunan Giri, cungkup makam Kudus. Kompleks makam di Aer Mata ( Bangkal).
Pola hias berupa sulur dan daun mempunyai kaitan dengan filsafat ruang lingkup manusia dalam siklus kosmis dan pandangan ini terdapat pada konsepsi Hindu. (FDK Bosch. 1960, 139).
Demikian juga lambang meru yang ditemukan misalnya pada makam-makam di Madura merupakan satu perlambang dari alam kosmis dimana alam kedewataan mempunyai satu alam lain yang menguasai dunia dengan kerajaan yang bersifat kedewataan.
Dilihat dari sudut kesenian semata, maka semua karya seni hias pada makam ini adalah satu pengungkapan dari seniman dalam berupa gagasan yang dituangkan dalam bentuk garis warna dan irama dimana kesenian adalah pernyataan dari kebudayaan.
Unsur-unsur yang ada pada beberapa nisan kubur di Indonesia dapat digolongkan dalam dua kelompok tahun yang menyerap unsur Indonesia asli dan kelompok kedua ialah yang unsur-unsur dari luar Indonesia.
            Pengaruh Gujarat tampak pada nisan yang ada di Pasai dan Gresik yakni nisan dar Nahrisyah yang wafat pada tahun 831 M (1428 M) H. M. Zainuddin, 1961, 52) kemudian nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yakni yang wafat pada tahun 822 M atau 1419 M. (JP. Moquette, 204, 214).  Unsur yang tidak bersifat fisik seperti dalam bentuk nisan yang sudah jadi seperti pada nisan tersebut di atas ialah syair yang termuat pada nisan berbentuk syair Persia, syair tersebut ditulis pda makam Naina Hasanuddin di Pasai yang wafat pada 823 H = 1420 M yang pada makam tersebut termuat syair bergaya Ibnu Sa’adi.
Demikian juga pola hias bunga-bungaan memberi gambaran tentang persamaannya dengan hiasan-hiasan pada permadani ataupun sajadah buatan Persia yang sudah dikenal dunia sejak abad 6 M. Tentang persamaan nisan di Pasai dan Gresik ini tidak hanya ada persamaan dengan Cambay (Gujarat) dalam bentuk bahan dan bentuknya saja tetapi juga model tulisan dan isi tulisan yang dipahatkan pada nisan tersebut adalah sama kecuali bagian kosong yang khusus disediakan untuk nama yang wafat.
            Selain unsur lokal pada beberapa bentuk makam di Jawa terdapat unsur lokal yang berasal dari masa Hindu baik dari bentuknya maupun dari pola hiasannya. Sebagai contoh yang paling nyata ialah pada beberapa wawsan yang berasal dari Troloyo (Mojokerto). Ada sebuah nisan berangka tahun caka 1379 atau 1457 M yang memiliki bentuk kurawal yang bentuknya mirip lengkung kala makara dengan disertai hiasan tumpal dan kelopak padma dan daun-daunan yang telah digayakan. Garis lengkung yang berbentuk kurawal ini mengingatkan kita pintu gerbang Candi yang berbentuk kala makara. (FDK Bosch, 23-50). Pada bangunan Candi Sukuh terdapat relief yang menggambarkan tokoh wayang yang pada tepi reliefnya diberi hiasan berbentuk meander. Bentuk rorana yang berakhir dengan kala makara perlambang hubungan dunia atas (alam kedewataan) dan dunia bawah (alam duniawi). Hal ini merupakan perlambang dari konsep kosmis yakni jagat raya yang dikelilingi air.
Unsur lain yang dianggap sebagai kelanjutan tradisi Hindu ialah bentuk-bentuk makam yang berbentuk meru atau gunungan. Kekayon atau gunungan ini merupakan pelindung (prabba) dari nisan khususnya nisan bagian utara (kepala). Meru atau gunungan dapat dihubungkan dengan bentuk bangunan punden berundak. Bangunan punden berundak, atau gunung, bukit pohon yang tinggi rimba raya dalam pandangan masyarakat dari zaman prasejarah merupakan perlambang dari perwujudan alam semesta. Terdapat anggapan pada masyarakat tradisionil bahwa sesudah mati untuk arwah manusia terdapat alam lain atau kehidupan lanjutan tempat para arwah menyatu dengan penguasa-penguasa alam. Arwah berada dipuncak-puncak gunung, puncak pohonan, di langit dan matahari yang semuanya itu perlu perlambangan dalam bentuk makam yang diberi pola hias tertentu sebagai perlambangan semesta.
            Kalau kita meninjau fungsi yang sebenarnya nisan makam dalam pengertian Islam hanya sederhana saja yakni sebagai tanda tentang Islam simati, dimana tanda tersebut yang disebut nisan diletakkan pada kepala dan kaki. Ada juga beberapa nisan yang hanya diberi tanda pada bagian kepala saja misalnya makam Nahrisyah, Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Selain itu letak dari orang yang dikuburkan harus membujur arah utara selatan dengan muka ke Kiblat. Kalau kita melihat kenyataan bahwa beberapa makam tokoh tertentu baik tokoh keagamaan maupun tokoh raja mendapat perlakuan yang berlebih-lebihan dari masyarakat dengan seringnya diziarahi maka kesan demikian ada yang bersifat penghormatan karena karisma dari tokoh yang meninggal atau karena memang tradisi masyarakat masih berdasarkan pola tradisionil masa sebelum Islam yakni adanya kesan pemujaan kepada arwah nenek-moyang. Berikut ini diuraikan tentang beberapa kompleks makam Kuno di Cirebon, dan semua dapat sama sebagai salah satu model makam-makam Kuno di Indonesia