Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Saturday 20 August 2011

Biografi Ahmad Khatib Al-Minagkabawi


BAB I
PENDAHULUAN

Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawi merupakan ulama pembaharu yang hidup pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ia hidup pada masa Belanda menjajah Indonesia. Keadaan Indonesia khsusunya umat Islam saat itu berada di bawah dominasi kekuatan Belanda, baik dominasi dalam bidang politik atau pun yang lainya. Belanda berusaha melakukan depolitisasi terhadap umat Islam atau melemahkan kekuatan Islam agar tidak terjadi perlawanan-perlawanan yang mengancam eksistensi pemerintahan Belanda di tanah air. Mereka berusaha mengatur urusan agama-agama, dan khususnya agama Islam yang paling terlihat diperketat pengawasanya agar tidak mengancam kekuasaan Belanda. Hingga pada perkembanganya muncul dikalangan masyarakat pribumi sebuah penyikapan ulang dalam menghadapi kolonial supaya hilang dari ranah Indonesia dan membentuk keadaan negara yang bebas dari penjajahan atau segala penindasan dari bangsa lain.
Syeikh Ahmad Khatib merupakan salah satu ulama nusantara dari Minangkabau yang banyak mengenyam pendidikan Islamnya di Haramain, Mekah. Ia menjadi tokoh penting pascaPaderi terhadap masyarakat di kampung halamanya. Ia juga banyak memberikan peran besar terhadap masyarakat Indonesia yang berada di Mekah. Maka dari hal-hal tersebut di dalam makalah ini akan sedikit banyak diuraikan mengenai kelengkapan biografi Syeikh Akhmad Khatib Minangkabawi, seberapa besar peranya di dalam masyarakat dan bagaimana pemikiran Islamnya dalam menanggapi keadaan di Minangkabau, dan kemudian juga torehanya terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu karisr serta karya-karyanya akan di jabarkan di dalam makalah ini. Semoga isi daripada makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya, Amiin.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Ahmad Khatib Al-Minagkabawi
Mengenai ketentuan tahun kelahiran Ahmad Khatib banyak keluar pendapat yang berbeda-beda. Deliar Noer mengatakan, Ahmad Khatib lahir di Bukit Tinggi tahun 1855, akan tetapi  menurut Hamka ia lahir tahun 1860 (keduanya tidak menyebutkan sumbernya).[1] Dalam hal nasab keturunan, Ahmad Khatib dilahirkan dari keluarga bangsawan Minang sekaligus ulama, baik dari pihak ayahnya maupun ibunya. Ia meninggal dalam usia 60 tahun tepatnya pada 8/9 Jumadil Awal 1334 H/14 Maret 1916 M, dan jenazahnya dimakamkan di Mekah. Ayahnya adalah Abdullatif bergelar Khatib Nagari bin Abdurrahman sebagai Jaksa Kepala di Padang dan Ibunya adalah Limbak Urai, anak ketiga dari Tuanku nan Renceh, ulama terkemuka dari golongan Paderi. Jadi ia adalah keturunan ulama dan akhirnya pun unsur ulama memainkan peranan penting dalam hidupnya.
Sebagaimana anak Minangkabau lainya, Ahmad Khatib mendapat pendidikan agama semenjak masa kanak-kanak dari lingkungan keluarga dan ulama-ulama di kampungnya. Pendidikanya mulai Sekolah Rendah (setingkat SD/SR) kemudian melanjutkan ke Kweekshool (sekolah guru) di Bukittinggi.[2] Pada tahun 1871, Ahmad Khatib  dan adik-adiknya Khafsah dan Syafiah diajak ayahnya menunaikan ibadah haji dan menetap disana bersama ayahnya untuk memperdalam pendidikan keIslaman. Beliau belajar kurang lebih sembilan tahun kepada para ulama di sana seperti Syeikh Yahya al-Qolbi, Syeikh Zaini Dahlan dan termasuk juga Seikh Muhammad Saleh al-Kurdi. Ilmu-ilmu yang diperdalamnya seperti tafsir, hadits fiqih, ilmu hisab dan lain-lain di Masjid al-Haram di Mekah (1287-1296 H/1871-1879 M).

B.     Karirnya di Mekah
Ahmad Khatib diajak ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1871 bertepatan pada usianya yang sudah 11 tahun. Kemudian ia menetap di sana untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama. Menurut Hamka, karirnya Ahmad Khatib di Mekah sangat baik sekali. Ia adalah orang yang baik dan luas ilmunya serta disayangi orang-orang yang salah satunya adalah Syeikh Saleh Kurdi seorang saudagar penjual kitab-kitab agama dan bermadzhab Syafi’i. Syeikh Saleh Kurdi mempunyai hubungan yang baik dengan kerajaan Syarif-syarif di Mekah sehingga kedekatan Ahmad Khatib denganya membuat orang-orang istana dan para ulama mengenalnya.[3]
Dalam dinamika kehidupanya, Syeikh Ahmad Khatib menjadi seorang ulama besar yang dikenal tidak hanya oleh masyarakat Mekah saja, akan tetapi ia juga dikenal oleh masyarakat Minangkabau khususnya dan Indonesia pada umumnya. Semua itu berkat jasa dari guru-gurunya di Mekah, seperti Syeikh Bakr al-Syatta, Syeikh Yahya al-Qolbi, Syeikh Zaini Dahlan dan beberapa ulama lainya termasuk Syeikh Saleh Muhammad al-Kurdi. Ahmad Khatib belajar memperdalam bebarapa disiplin ilmu keIslaman seperti tafsir, hadits, fiqih, ilmu hisab dan lain sebagainya kepada mereka selama ±9 tahun. Ia menjadi seorang ahli fiqih dan penganut fiqih yang konsekuen, menjadi imam, Syeikh dan mufti madzhab Syafi’i di Masjidi al-Haram, Mekah. Seiring perjalanan karir serta perkembangan intelektualnya, ia diangkat menjadi ulama di sana dan dijodohkan pada 1296 (1879 M) dengan Khodijah puteri Syeikh Saleh al-Kurdi.[4] Dari pernikahan itu, mereka telah dikaruniai dua putra, yaitu Abdul Karim dan Abdul Malik. Kemudian ketika Khadijah meninggal, ia dinikahkan dengan Fatimah (adiknya Khadijah) dan dikaruniai dua orang anak, Khadijah dan Abdul Hamid al-Khatib.
Ahmad Khatib menjadi ulama terkemuka hingga menjadi seorang mualaf yang produktif. Ia banyak membuat karya besar yang kebanyakan menjelaskan ilmu fiqih, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun muammalah. Beliau banyak sekali mengarang kitab dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (Indonesia), di antaranya yang banyak tersiar di Indonesia, adalah:
1.      Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih.
2.      Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
3.      Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).
4.      Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.
5.      An Nafahaat, Syarah waraqaat (usul fiqih).
6.      Irsyadul Hajara fi Raddhi alan Nashara.
7.      Tanbihul Awam, masalah Syari’at lslam.
8.      Iqnaun Nufus, tentang zakat uang kertas.
9.      Itsbatus Zain.
10.  Dan banyak lagi yang lain.

C.     Peranan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawi Terhadap Kehidupan atau Masyarakat di Tanah Kelahiranya (Indonesia)
Sebagai seorang ulama yang dikenal dengan ketegasan sikapnya, terutama dalam bidang hukum,[5] karena keahlianya dalam bidang fiqih, Ahmad Khatib merupakan sosok yang sangat menolak dua kebiasaan yang ada di Minangkabau yang dianggapnya bertentangan dengan syari’at Islam. Pertama, ia menentang Thariqot Naqsabandiyah yang sangat dipraktekan pada masa itu dan kedua ia sangat menentang peraturan-peraturan adat tentang hal waris. Kedua hal ini merupakan masalah yang terus menerus ditentang kemudian oleh pembaharu-pembaharu lain seperti Syaikh Muhammad  Taher Jalaludin, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad. Syikh Taher merupakan orang yang tertua dari keempat ulama tersebut, dan merupakan guru dari mereka ketika berada di Mekkah.
Dengan sikapnya Ahmad Khatib yang tegas dalam membela syari’at, ia sering terlibat dalam sebuah perbedaan, pertentangan, dan pendapat yang keras dengan ulama tharekat dari Minangkabau seperti Seikh Muhammad Sa’ad Mungka dan bahkan segala pertentangan yang ada diantara mereka dibukukan ke dalam kitab-kitab yang mereka tulis. Hingga dalam perkembangan pemikiran diantara murid Ahmad Khatib, ada yang setia mengikutinya dalam bermadzhab Syafi’i, ada pula kelompok yang membebaskan diri dari ikatan empat madzhab yakni kelompok modernis yang lebih tertarik mempelajari paham yang digelar Seikh Muhammad Abduh di Mesir meski tidak menampik guru mereka yang pertama, karena memang Ahmad Khatib tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari aliran modern ini.
Syeikh Ahmad Khatib merupakan ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Allah. Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama besar, bahkan sebagian dari mereka menjadi pendiri tokoh organisasi Islam di Asia Tenggara[6] pada abad ke-20 baik yang dikategorikan sebagai kaum modernis maupun kaum tradisionalis seperti Syeikh Taher Jalaludin (ahli falaq Malaysia), KH Hasyim Asy’ary dan Wahab Hasbullah (ahli hadits, pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Syeikh Muhammad Thaib Umar (pembaharu di Minangkabau), Syeikh Abdullah Ahmad (pendiri sekolah Adabiyah), KH. Agus Salim (ulama intelek, negarawan, tokoh PSII), Sulaiman ar-Rosuli (pendiri Perti), Hasan Maksum (mufti kerajaan Deli, pensihat al-Washliyah), dan masih banyak lagi ulama besar lainya.
Sebagai ulama dari kalangan al-Jawi yang menjadi tokoh di Mekah, Ahmad Khatib menjadi tempat persinggahan, meminta nasihat dan perlindungan dari orang Melayu yang sedang menunaikan ibadah haji atau menetap di sana. Meskipun ia menetap di Mekah hingga akhir hayatnya, namun ia selalu memikirkan perjuangan di tanah air. Ahmad Khatib bersikap anti terhadap koloni Belanda, sehingga ia pun mendukung perjuangan Sarekat Islam sewaktu didirikan. Karena sikap anti-penjajahan inilah, ia menjadi sorotan intelijen Belanda yaitu Snouck Hurgronce yang saat itu ditugaskan di Arab Saudi untuk memata-matai orang Indonesia di sana, khsusunya ulama, mukmin dan jama’ah haji.[7]



















BAB III
PENUTUP

Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawi merupakan putra dari pasangan Abdullatif dengan Limbak Urai yang keduanya merupakan keturunan bangsawan dan  ulama dari golongan Paderi. Ia lahir di Bukittinggi dan tentang tahun kelahiranya terdapat berbedaan pendapat diantara para tokoh. Deliar Noer berpendapat bahwa ia lahir pada tahun 1855, sedangkan Hamka pada tahun 1860 yang keduanya tidak menyebutkan sumbernya. Sumber yang paling banyak mengatakan bahwa ia meninggal di Mekah pada tahun 14 Maret 1916.
Syeikh Ahmad Khatib mendapat pendidikan agama semenjak masa kanak-kanak dari lingkungan keluarga dan ulama-ulama di kampungnya. Pendidikanya mulai Sekolah Rendah (setingkat SD/SR) kemudian melanjutkan ke Kweekshool (sekolah guru) di Bukittinggi. Hingga kemudian memperdalam dan menambah keluasan ilmunya di Mekah dengan berguru kepada Syeikh Bakr al-Syatta, Syeikh Yahya al-Qolbi, Syeikh Zaini Dahlan, Syeikh Saleh Muhammad al-Kurdi dan beberapa ulama lainya. Ahmad Khatib belajar kepada mereka mengenai beberapa disiplin ilmu keIslaman seperti tafsir, hadits, fiqih, ilmu hisab dan lain-lain. Atas kecerdasan dan keluasan ilmunya, ia kemudian menjadi ulama besar yang memberikan pengaruh yang besar pada masyarakat Mekah hingga pada masyarakat di tanah kelahiranya Indonesia khususnya Minangkabau.
Pembaharuan Syeikh Ahmad Khatib dapat dilihat dari sikapnya terhadap praktek maupun adat istiadat yang ada di masyarakat Minangkabau yaitu tentang praktek Thatrekat Naqsabandiyah dan peraturan adat tentang ahli waris. Diantara karya-karya Syeikh Ahmad Khatib yaitu: Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih, Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”, Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka), Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka, An Nafahaat, Syarah waraqaat (usul fiqih), Irsyadul Hajara fi Raddhi alan Nashara, Tanbihul Awam, masalah Syari’at lslam, Iqnaun Nufus, tentang zakat uang kertas, Itsbatus Zain, Dan banyak lagi yang lain.
Peran Syeikh Ahmad Khatib terhadap masyarakat Indonesia dapat terlihat pada saat dimintai nasihat oleh para jama’ah haji dan menjadi guru dari para ulama-ulama nusantara yang memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan Islam di Indonesia pada abad ke-20.



DAFTAR PUSTAKA

Steenbringk, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: P.T Bulan Bintang. 1984.
Suprapto, M. Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara; Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: GELEGAR MEDIA INDONESIA. 2009.


[1] Dr. Karel A. Steenbringk, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19 (Jakarta: P.T Bulan Bintang, 1984), hlm. 139.
[2] H. M. Bibit Suprapto, SH, MSc, Msi, Ensiklopedi Ulama Nusantara; Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara (Jakarta: GELEGAR MEDIA INDONESIA, 2009), hlm. 190.
[3] Ibid.,Aspek Tentang Islam di Indonesia, hlm. 141.
[4] Ibid.,Ulama Nusantara, hlm. 191.
[5] Ibid.,Ensiklopedi Ulama Nusantara, hlm. 192.
[6] Ibid.,hlm. 195.
[7] Ibid.,Ensiklopedi, hlm. 191-192.

PEMERINTAH DAN PENYEBARAN INFORMASI


PEMERINTAH DAN PENYEBARAN INFORMASI


                  Pendahuluan
Penyebarluasan informasi sebagai wujud dari usaha untuk tercapainya masyarakat berbasis informasi dimaksudkan agar terjadinya perubahan positif di masyarakat. Media adalah salah satu sarana komunikasi yang secara efektif dapat menyebarkan informasi, dan sekaligus diharapkan dapat menimbulkan suatu perubahan positif yang terjadi di masyaraakt.
Oleh karena itu, pemerintah harus mencari usaha-usaha lain, sehingga penyebaran informasi di masyarakat benar-benar dapat mendukung pembangunan dan perubahan yang positif. Usaha-usaha pemerintah yang dapat dan harus diupayakan antara lain : meningkatkan profesionalitas media dalam arti luas, bekerjasama dengan institusi-institusi pendidikan untuk meningkatkan media literasi di masyarakat, dan membangun partisipasi masyarakat dalam pemantauan isi atau program acara di media, yang berpotensi menimbulkan hal-hal yang kontra produktif di masyarakat.

Penyebaran Informasi
UU Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran belum sepenuhnya dapat diterapkan, karena masih terdapat perbedaan pemahaman antara berbagai komunitas penyiaran dengan pemerintah mengenai perizinan. Penerapan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, menimbulkan persepsi tentang kebutuhan terhadap lembaga komunikasi dan informasi yang beranekaragam. Hal ini mengakibatkan keberadaan, bentuk dan fungsi/lembaga pemerintah di bidang komunikasi dan informasi tidak memiliki standar yang sesuai kebutuhan.
Selain itu hubungan koordinasi antara pusat dan daerah belum berjalan sinergis dan optimal. Pemanfaatan dan pemberdayaan lembaga komunikasi sosial seperti lembaga media tradisional, lembaga komunikasi pedesaan, dan lembaga profesi dalam pelancaran arus informasi dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat.
Peran lembaga pemantau media dalam era reformasi dewasa ini belum sejalan dengan kecepatan perubahan dan pelaksanaan informasi yang dilakukan oleh media komunikasi massa seperti media radio, media televisi, media cetak dan media komunitas, sehingga media massa dapat bertindak seolah-olah sebagai agen pembenaran tanpa kontrol dari masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berkomunikasi. Komunikasi dilakukan sebagai media untuk mentransformasi informasi, satu pihak memberi informasi dan di lain pihak menerima informasi. Informasi yang disampaikan bisa melalui lisan atau pun dalam bentuk lain. Metode transformasi informasi yang diterapkan sering kali masih tradisional dan klasikal. Penyebaran informasi dengan cara tradisional dan klasikal membutuhkan waktu yang sangat lama.
Teknologi komunikasi saat ini berkembang sangat cepat. Jarak bukan lagi menjadi masalah dalam penyebaran informasi. Informasi yang disampaikan tanpa perlu dilakukan dengan tatap muka lagi. Bukan hanya suara yang bisa disampaikan tetapi juga telah merambah ke dalam bentuk visual baik yang statis maupun yang dinamis. Informasi saat ini sudah menjadi komoditi yang sangat penting. Kemampuan untuk mendapatkan dan menyediakan informasi secara cepat, tepat dan akurat menjadi hal yang penting bagi sebuah organisasi. Ada ungkapan yang meyebutkan bahwa ‘mengusai informasi berarti menguasai dunia’. Kehadiran jaringan komputer (networking) pada satu dasawarsa terakhir telah memunculkan fenomena baru dalam penyediaan dan penyebaran informasi. Proses jaringan komputer yang cepat telah menjadi tumpuan utama dari teknologi informasi.
Dalam kegiatan penyebaran informasi yang dilakukan oleh Dinas, Badan, Lembaga dan Kantor di lingkungan Pemerintah  daerah sebagian besar masih secara tradisional dan klasikal. Walaupun dengan penyebaran informasi dengan cara diatas masih bisa mendukung terlaksananya semua program Pemerintah Daerah, namun seiring dengan kecepatan perubahan informasi maka penyebaran informasi pun harus berjalan dengan cepat.
Seperti uraian diatas, maka penerapan teknologi informasi perlu segera dilakukan di lingkungan Pemerintah Daerah secara menyeluruh mulai dari tingkat Sekretariat Daerah, Kelurahan, Kecamatan, Dinas, Badan, Kantor, kalangan pendidikan, kalangan kesehatan, kalangan dunia usaha bahkan masyarakat luas.
Dengan tergabungnya seluruh kalangan diatas, diharapkan transformasi informasi bisa dilakukan dalam hitungan detik. Informasi program-program pemerintah bisa diperoleh di seluruh tingkat lapisan masyarakat dengan cepat sehingga bisa ditindak lanjuti oleh penerima.

                   Kebebasan Informasi dan Kerahasiaan Negara
                  Pembahasan RUU Kebebasan Informasi diintegrasikan dengan pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU Intelijen, dan RUU Kerahasiaan Negara. (Kompas, 19/2/03). Ada banyak kemungkinan di balik munculnya gagasan ini. Suatu hal yang pasti, pada hari yang sama, DPR mengesahkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang RUU Kebebasan Informasi. Itu kabar menggembirakan bagi unsur-unsur sipil yang mendambakan pelembagaan prinsip kebebasan informasi. Sebaliknya, proses politik terhadap RUU Intelijen dan RUU Kerahasiaan Negara yang diajukan pemerintah justru mengalami kemandekan pada badan legislasi (baleg) DPR. Proses pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme juga kurang menggembirakan bagi pemerintah karena terbentur reaksi-reaksi penolakan dari unsur-unsur nonpemerintah.
                    Pelembagaan demokrasi
                    Kita sedang membicarakan empat RUU, tiga di antaranya merupakan gagasan pemerintah dan satu berasal dari usulan unsur sipil. Komposisi ini bisa jadi menggambarkan konstelasi perundang-undangan yang telah dan sedang dibahas DPR kini. Sebuah persoalan yang amat serius, namun belum banyak dikaji belakangan.   Dari sekian banyak RUU yang digodok DPR, berapa banyak yang berasal dari usulan unsur-unsur sipil, berapa banyak dari pemerintah? Sejauh mana undang-undang (UU) yang disahkan DPR telah mengakomodasi nilai-nilai demokrasi atau sebaliknya melanggengkan nilai-nilai otoritarianisme?
                     Dalam konteks ini, proses legislasi perundang-undangan sebenarnya merupakan arena pertarungan tersendiri guna memperebutkan kontrol terhadap pelembagaan prinsip-prinsip demokrasi. Pertarungan untuk memperebutkan akses atas kontinuitas perubahan politik di negeri ini. Pertarungan itu menyuguhkan banyak dimensi: antara kelompok sipil vs pemerintah; unsur-unsur reformis vs unsur-unsur konservatif; prodemokratisasi vs pro-status quo; kekuatan propemodal vs antipemodal; dan lain-lain.
                       Begitu dramatis dan sengit pergulatan yang terjadi, hingga kita harus menerima fakta, produk UU yang lahir belakangan ini tidak ada yang sepenuhnya memuaskan unsur-unsur reformis maupun unsur konservatif. UU Penyiaran yang baru, misalnya, merupakan perpaduan tiga paradigma sekaligus, yakni paradigma pers otoritarian, liberal, dan tanggung jawab sosial. Sebuah kompromi yang sulit dibayangkan betapa rumit implementasinya. Contoh terbaru, UU Pemilu hanya memuaskan unsur sipil dalam beberapa hal, misalnya keberhasilan memperjuangkan kuota 30 persen perempuan di lembaga legislatif. Namun, tidak untuk hal-hal yang lain. UU Pemilu akhirnya merupakan sebuah senyawa yang aneh antara prinsip-prinsip sistem politik otoritarian dan sistem politik demokrasi modern.
                         Potensi benturan antara RUU Kebebasan Informasi dengan RUU Kerahasiaan Negara, RUU Intelijen, dan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat dilihat dalam konteks ini. Yang terjadi, pertarungan paradigma keterbukaan melawan paradigma ketertutupan; perspektif hak-hak publik atas informasi melawan perspektif kerahasiaan negara. Salah satu tolak ukur demokratisasi adalah lahirnya produk-produk hukum yang mengakomodasi prinsip kemerdekaan sipil, transparansi, partisipasi, dan kebebasan pers. Karena itu, menjadi tantangan bagi kelompok-kelompok prodemokrasi untuk meraih produk-produk itu. Perlu senantiasa diwaspadai usaha-usaha untuk membalikkan sejarah menuju sistem pemerintahan yang tertutup, feodal, dan represif.
                          Terlepas dari persoalan itu, beberapa perspektif bisa digunakan untuk mencermati gagasan Kepala BIN itu. RUU Kebebasan Informasi, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan RUU Intelijen mengatur ranah yang berbeda. RUU Kebebasan Informasi hendak memberi jaminan hukum atas hak publik guna mendapatkan akses informasi terhadap badan-badan publik di semua level dan semua lini. RUU Kebebasan Informasi mengatur sesuatu yang amat luas, yaitu pelembagaan prinsip-prinsip transparansi dan partisipasi dalam seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
                         Dengan demikian, RUU Kebebasan Informasi tidak hanya berurusan dengan informasi intelijen dan/atau terorisme seperti akan diatur dalam RUU Intelijen dan RUU Tindak Pidana Terorisme. Di sinilah persoalannya, RUU Kebebasan Informasi mengatur sesuatu yang universal sifatnya, sedangkan RUU Tindak Pidana Terorisme dan RUU Intelijen mengatur sesuatu yang spesifik. Karena itu, gagasan untuk menyatukan pembahasan tiga RUU ini menjadi tak relevan.
                       Mungkin lebih masuk akal mengintegrasikan pembahasan RUU Kebebasan Informasi dan RUU Kerahasiaan Negara. Keduanya mengatur hal yang sama: relasi-relasi informasi antara publik dan badan-badan publik. Namun, seperti dijelaskan, secara paradigmatik ada banyak perbedaan di antara dua RUU ini. RUU Kebebasan Informasi berangkat dari kesadaran bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan demokratis perlu dibangun kapasitas publik guna mengontrol penyelenggaraan pemerintahan. Ada dua prinsip dasar yang harus dipenuhi: transparansi dan partisipasi. Muncullah urgensi jaminan hukum atas hak publik guna mendapatkan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan.
                      "Informasi adalah bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara". Pemerintah menjalankan pemerintahan berdasarkan mandat warga negara. Untuk mempertanggungjawabkan mandat itu, lembaga-lembaga pemerintah harus terbuka untuk dikontrol dan diperiksa. Para pejabat publik sesungguhnya tidak memiliki hak eksklusif untuk menyembunyikan informasi yang dibutuhkan publik, seperti yang sering terjadi selama ini.
                       Prinsip utama RUU Kebebasan Informasi adalah maximum acces and limited exemption. Tidak semua informasi bisa dibuka ke publik. Beberapa jenis informasi perlu dirahasiakan untuk kepentingan penegakan hukum, pertahanan dan keamanan nasional, persaingan usaha yang sehat, HAKI dan kerahasiaan pribadi. Tetapi, perahasiaan informasi harus didasarkan pada alasan-alasan yang memuaskan semua pihak dan harus diuji untuk mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas (consequential harm and balancing public interest tests).
                        Dalam banyak hal, RUU Kerahasiaan Negara adalah antitesa dari RUU Kebebasan Informasi. Jika RUU Kebebasan Informasi hendak memberi perangkat politik bagi publik untuk melakukan counter-inteligence atas negara, RUU Kerahasiaan Negara justru cenderung membatasi peluang publik untuk melakukannya. Dalam RUU Kerahasiaan Negara versi pemerintah, klausul informasi rahasia dijelaskan dengan definisi yang lemah dan general.
                        Tidak ada penjelasan memuaskan tentang batasan rahasia negara, bagaimana mekanismenya, serta siapa yang otoritatif memutuskan. Alih-alih, otoritas ini hendak diberikan kepada seluruh pimpinan badan publik di semua level pemerintahan. Bagaimana mengintegrasikan dua RUU yang secara paradigmatis bertolak belakang ini? Di sinilah dibutuhkan dialog publik yang terbuka, egaliter, dan komprehensif. Tentunya, diharapkan publik berkesempatan menilai mana yang lebih urgen di antara dua RUU ini, senyawa seperti apa yang bisa diramu dari keduanya.
                     Patut disayangkan, proses advokasi RUU Kerahasiaan Negara sejauh ini berlangsung secara tertutup dan tidak melibatkan publik luas. Pemerintah belum secara terbuka menjelaskan ide-idenya tentang pelembagaan kerahasiaan negara. Publik belum mendapatkan kesempatan memahami jalan pikiran pemerintah. Tiba-tiba draf RUU Kerahasiaan Negara beredar di kalangan DPR, hingga akhirnya muncul statement yang terkesan terburu-buru dan reaktif seperti di atas.
                  Penutup

Untuk mewujudkan semua hal di atas bukanlah pekerjaan yang sederhana, karena merupakan pekerjaan yang cukup rumit dan kompleks. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dan koordinasi antara institusi pemerintah secara menyeluruh, bahkan diperlukan pula keterlibatan kalangan swasta dan masyarakat secara luas.

Thursday 18 August 2011

tunggu

masa-masa liburan heeeemmmm jadi postingan tungggu klo udah masuk yah.......