Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Sunday 14 October 2018

ARTEFAK MONUMENTAL ISLAM DI INDONESIA



BANGUNAN


MASJID                     KRATON                  MAKAM                   


 
                                                            TATA KOTA
C.     Serambi/Senarai/Current Issues
"Islam is indeed much more than a sistem of theology, it is a complete civilization" (H.A.R. Gibb, hlm. 12).

"Arsitektur Islam adalah ekspressi agama dan pandangannya tentang dunia, lebih dari sekedar ungkapan orang-orang tertentu, sistem politik ataupun sistem ekonomi." (Alfred Fazer seperti dikutip M. Abdul Jabbar Beg: 1988: 15).

D.    Materi Pokok
I. Seni Bangunan
Manusia oleh kodrat alamnya menyenangi keindahan. Hal ini sudah ada ciri-cirinya sejak masa purba dimana mereka mulai membuat hiasan pada perkakas untuk keperluan sehari-hari bahkan juga menghiasi tempat tinggalnya dengan lukisan-lukisan yang waktu itu masih tinggal di gua-gua. Dalam perkembangan kemudian dengan makin majunya pola hidup manusia maka estetika seni juga mengalami perkembangan menuju kearah harmonisme. Jadi jelas disini bahwa manusia sejak masa purba telah membuat alam sekelilingnya seindah mungkin. Arsitekturnya tumbuh atau lahir sebagai suatu ilmu dan kemudian berkembang menjadi satu seni. Tiga komponen pokok dari arsitektur adalah: utility (kegunaan), stability (kestabilan) dan beauty (keindahan). Sebuah bangunan akan kehilangan makna apabila tidak didukung oleh faktor estetika atau keindahan. Pemilik, bangunan mungkin lebih menitik beratkan segi kegunaan tetapi arsitek yang membuat bangunan atau mengisi ruang bangunan tanpa arti arsitekturil. Arsitek akan memberikan bobot bangunan pada stabilitas dan keindahan. Ia akan memperhatikan segala macam bahan untuk membuat bangunan itu seserasi mungkin baik sebagai penguat bangunan maupun sebagai pola hias. Ia akan mencoba menyuguhkan hasil karyanya se estetis mungkin yang sudah direncanakan sebelumnya secara matang dalam perencanaan (planning). Itulah seninya dalam pekerjaan seorang arsitek. Ciri-ciri khusus dari suatu bangunan sangat tergantung kepada sipembuat yakni arsitek. Ia menyusun dan menyatukan berbagai aspek menjadi suatu karya yang berbobot. Ia mungkin menyerap idea yang bersifat environmental (tata lingkungan), struktural ataupun decorative dan itulah kemudian berwujud seni yang menghasilkan desain yang indah.
Ada berbagai faktor yang memberi bobot estetis pada kualitas arsitektur. Yang pertama ialah tata lingkungan (site). Bangunan hendaknya didirikan pada site yang memenuhi nilai estetis dan didukung oleh latar belakang yang menunjang keindahan. Karya seni bangunan Indonesia pada zaman Islam meliputi bangunan-bangunan masjid dan makam sebagai bangunan sakral dan bangunan istana atau bangunan tempat tinggal tokoh terkemuka dalam masyarakat sebagai bangunan profan. Pada dasarnya Islam tidak melahirkan tradisi seni baru di Indonesia. Maka dalam karya seni bangun pada zaman permulaan Islam unsur-unsur seni bangunan Pra Islam masih menjadi modal dalam meneruskan konsep seni bangunan, baik teknis maupun estetis.
Tradisi seni bangunan kayu sudah dikenal sejak lama sesuai dengan keadaan alam Indonesia yang kaya akan berbagai jenis kayu. Pada zaman Hindu tradisi ini mencapai puncak perkembangannya dan menghasilkan peraturan-peraturan seni bangunan sesuai dengan perkembangan kebudayaan pada waktu itu. Tradisi seni bangunan kayu dari zaman Islam ini dapat bertahan terus sampai datangnya pengaruh seni bangunan batu yang dibawa oleh kebudayaan Barat yang masuk di Indonesia. Istana raja-raja di Solo, Yogya dan Cirebon adalah contoh-contoh bagaimana tradisi seni bangunan kayu telah mengalami penyempurnaan dengan unsur-unsur seni bangunan yang berasal dari kebudayaan Barat.

Pelestarian Kepurbakalaan Islam di Aceh


Aceh memiliki peninggalan arkeoogi, khususnya arkeologi dari zman Islam dan Eropa, yang tersebar sampai ke daerah-daerah. Peninggalan purbakala tersebut mempunyai nilai sejarah yang sngat penting. Hampir di seluruh daerah tingkat II di Aceh terdapat peninggalan kepurbakalaan, khususnya dri masa Islam. Dalam upay pelestarian peninggalan kepurbakalaan ini, pemerintah sejak awal Pelita II sudah mulai menaruh perhatian terhadap pelestarian peninggalan purbakala ini. Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa peninggalan purbakala merupakan aset nasional di bidang kebudayaan. Perhatian pemerintah terhadap peninggalan purbakala dimulai dengan program inventarisasi dan dokumentasi pada situs-situs purbakala di Aceh yang dimulai tahun 1973, dan tahap berikutnya adalah penggalian arkeologi serta pemugaran yang dimulai tahun 1976 dan dilanjutkan tahun-tahun berikutnya.
Upaya pelestarian kepurbakalaan I Aceh ini tampak masih menghadapi berbagai persoalan besar. Persoalan ini terutama menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
1.    Inventarisasi situs dan tapak-tapak kepurbakalaan di Aceh sudah dilaksanakan oleh J.J. de Vink + tahun 1912 dan tahun-tahun berikutnya, dilanjutkan oleh Pemerintah R.I. sejak permulaan kemerdekaan hingga PJP I. Namun, data terperinci tentang jumlah dan jenis peninggalan purbakala tersebut belum terhimpun secara lengkap, dan belum ada pemanduan data di Pusat (Puslitarkenas, Ditlinbinjarah) dan Daerah (Suaka PSP Aceh dan Bidang Muskala). 
2.    Pelestarian ini masih terbatas karena dana pemerintah masih sedikit, tidak sebanding dengan peninggalan purbakala yang harus ilestarikan yang berjumlah banyak.
3.    Belum dioptimalkannya pemanfaatan hasil pelestarian peninggalan kepurbakalaan untuk obyek pariwisata, maka perlu adanya keterpaduan pelestarian (Ditjen Kebudayaan) dengan pemanfaatannya untuk wisata (Dinas Pariwisata). 
4.    Belum maksimalnya peran masyarakat pada pentingnya peninggalan purbakala di daerah Aceh sebagai warisan budaya bangsa.
Untuk itu, dalam hal ini diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi persoalan di atas, di antaranya:
1.    Perlu disusun program inventarisasi kepurbakalaan Aceh di seluruh popinsi, dan pengkodifikasian hasil inventarisasi tersebut dalam program Nasional Sistem Informasi Kebudayaan, yang merupakan program Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan.
2.    Kanwil setempat bersama intansi di bawahnya dapat mengadakan pendekatan kepada Pemda Tk. I dan PemdaTk. II untuk mengoptimalkan Program Nasional dan Program Daerah, sehingga pelestarian kepurbakalaan mncapai hasil maksimal.
3.    Perlu dibina kerjasama antara intansi yang menangani pelestarian (Kanwil Depdikbud dan Ditjenbud) dengan intansi yang menyelenggarakan pemanfaatan (Dinas Pariwisaata), sehingga asset peninggalan purbakala yang telah dipugar dapat dijadikan obyek pariwisata.
4.    Perlu dikembangkan publikasi berupa buku panduan peninggalan purbakala secara maksimal.
5.    Perlu digalakkan peran serta kepedulian masyarakat akan arti dan nilai kepurbakalaan sebagai aset bangsa dibidang kebudayaan.
Peninggalan kepurbakalaan Aceh, yang tersebar di seluruh wilayah Prpinsi Aceh, merupakan warisan budaya bangsa yang tidak ternilai. Peninggalan tersebut bukan saja merupakan saksi sejarah, sebagai bukti budaya Aceh, tapi juga merupakan cermin kejayaan masyarakat Aceh di masa lampau. Peninggalan tersebut merupakan sebuah konfigurasi perjalanan sejarah Aceh sejak awal berdirinya hingga pertempuran kerajaan Aceh dalam mempertahankan keutuhan dan kedaulatan kerajaannya. Berbagai bangsa tlh datang dn pergi untuk menyinggahi bandar-bndar besar di Perlak, Pasai, Banda Aceh, yang mencapai puncaknya di abad17 M. Ini juga merupakan bukti posisi strategis geo-administratif wilayah Aceh, dan sekaligus bukti bahwa masyarakatnya telah bertempur dengan berbagai bangsa Eropa, khususnya Portugis dan Belanda. Namun, di sisi lain, terdapat cerminan yang agak kelabu, yakni kurang terpeliharanya peninggalan tersebut sebagai warisan budaya Aceh. Maka tugas kita untuk peduli pada upaya melestarikan peninggalan tersebut dengan perhatian yang lebih dari yang diberikan sekarang ini. Ambary, 1998: 347-354).