Bangunan Masjid
a. Bahan dan
konstruksi bangunan
Untuk
membangun masjid di Indonesia dipakai tradisi seni bangunan lama, baik tradisi
seni bangunan kayu, batu bata maupun batu alam. Konstruksi tradisionil bangunan
tampak sangat menonjol dengan diterapkannya struktur tersusun, yaitu suatu
sistem saling menumpangnya tiga unsur konstruktif satu sama lain yang meliputi
bagian paling bawah yang dibuat dari bahan batu beton atau batu bata sebagai
konstruksi pengantar beban ke tanah. Tiang pokok atau soko guru beserta
tiang-tiang lainnya yang lebih kecil berdiri di atas umpak pada pondasi.
Hubungan antara soko guru dengan kerangka atap meliputi sistem tiga peletakan.
Bagian bawah meliputi tiga peletakan lambang trisula, yaitu lambang alam fisik,
perasaan dan kejiwaan manusia. Bagian kedua dan ketiga terdiri dari lima dan
tujuh peletakan sebagai lambang panca dan lambang tujuh kesempurnaan jiwa.
Atap masjid dibentuk oleh konstruksi atap lambang gantung dengan susunan usuk atap
berdasarkan sistem payung terbuka. Atap biasanya bersusun ganjil, saling
menumpang dan berbentuk limasan. Atap seperti ini menyerupai bentuk atap susun
dari bangunan meru pada pura-pura di Bali. Untuk tembok dinding penyekat atau
untuk pagar keliling masjid dipakai bahan batu bata dengan tehnik susun seperti
yang pernah dipakai pada bangunan candi zaman Hindu.
b. Tempat dan Perencanaan
Pada umumnya masjid menempati daerah lingkungan istana
raja atau pembesar tertinggi setempat disisi Barat dari lapangan (alun-alun). Selaiin
itu, ditempat-tempat Keramat seperti dilingkungan makam tokoh-tokoh terkemuka
dalam masyarakat, kadangkala didirikan juga masjid. Dalam hal ini bangunan
masjid seperti yang terdapat pada masjid-masjid makam di Mesir. Demikian juga
pola perencanaan bagian-bagian dari masjid lama tidak tetap. Letak ruang untuk
menjalankan wudhu misalnya tidak selamanya berada ditempat yang sama dari
bagian masjid. Ada beberapa masjid yang dikelilingi oleh selokan air sebagai
tempat menjalankan wudhu. Keadaan ini mengingatkan kepada telaga suci yang
mengelilingi bangunan candi pada zaman Hindu. Sebagian besar masjid lama dalam
pendiriannya dihubungkan dengan rencana para wali yang selalu berkaitan dengan
cerita-cerita ajaib. Pendirian masjid kemudian juga dihubungkan dengan campur
tangan raja yang memerintah. Dalam hal ini masjid tidak dapat dilepaskan dari
perbendaharaan istana. Bahwa masjid dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari
istana tampak adanya kegiatan upacara-upacara istana, seperti upacara Sekaten,
dimana gamelan istana yang dipandang suci dan keramat dimainkan didalam masjid
Agung.
Selain hubungannya dengan istana, masjid-masjid lama juga
dihubungkan dengan madrasah dimana diadakan pendidikan dan pengajaran agama.
Masjid madrasah semacam ini juga berbeda dengan masjid madrasah dari
negara-negara Islam lain yang memperlihatkan ciri-ciri kesatuan arsitektur. Dasar
demikian pendirian masjid madrasah atau pondok berasal dari tradisi kehidupan
dalam agama Hindu-Buddha dengan sistim mandalanya. Jadi ciri kehidupan madrasah
atau pesantren ialah sifat kekeluargaan masyarakat Islam dengan dasar
pendidikan Agama. Sistim pesantren semacam ini ditandai dengan bangunan
madrasah sebagai lambang kesatuan keluarga masyarakat setempat.
c. Bagian-bagian dari Masjid
Bangunan utama dari masjid meneruskan bentuk bangunan Pra
Islam, suatu jenis bangunan tempat berkumpulnya masyarakat. Jenis bangunan
ini mengingatkan bale pertemuan dengan atap tumpang bersusun ganjil. Denah
bangunan berbentuk bujur sangkar dengan salah satu sisi diperuntukkan sebagai
kiblat dimana terdapat mihrab. Hampir setiap masjid, terutama di Jateng dan
Jatim, mempunyai serambi depan, tempat dimana digantungkan sebuah bedug. Pada masjid-masjid
lama ruang mihrab merupakan ruang tertutup dengan hanya sebuah pintu masuk di
bagian depan. Karena itu ruang mihrab ini selalu gelap dan terasing. Bagian
luar ruang mihrab lebih terbuka dengan tidak adanya tembok keliling yang
mendukung atap. Karena suasana ruang ini lebih lapang dan terang.
Menara masjid lama tidak memiliki
bentuk yang tetap dan kehadirannya tidak menjadi kesatuan arsitektur dengan
bangunan masjid. Kebiasaan untuk adzan di Jawa tidak memerlukan menara sebab
untuk memberi tahu masyarakat akan waktu shalat dibunyikan bedug. Bentuk menara
masjid lama bersumber pada tradisi kebudayaan setempat, antara lain dari
tradisi seni bangunan Hindu dan tradisi seni bangunan Barat. Bentuk menara masjid
Kudus misalnya mengingatkan kepada bentuk candi zaman Majapahit, sedangkan
bentuk menara masjid Demak lebih menyerupai bentuk menara mercusuar.
Adanya kebiasaan untuk mendirikan
batas tembok keliling dengan gapura pada kompleks masjid merupakan penerus dari
seni bangunan Jawa-Hindu. Bentuk profilering dari pintu gerbang dan tembok
keliling dari masjid lama masih mengingatkan tradisi seni bangunan Jawa-Hindu.
Dan jenis pintu gerbang yang sudah dikenal pada zaman Hindu tampak kembali pada
pintu gerbang masjid. Bentuk pintu gerbang yang berasal dari bangunan candi
bentar biasanya berdiri dibagian terdepan yang disusul dengan bentuk pintu
gerbang yang beratap yang biasa disebut kori agung. Pada kedua jenis pintu
gerbang ini masih tampak perbandingan tempat hiasan pahatan seperti yang kita
kenal pada bangunan candi.
d.
Hiasan Masjid
Kekayaan hiasan yang menjadi ciri khas dari masjid
negara-negara Islam tidak tampak pada masjid Kuno di Indonesia. Hiasan masjid Indonesia
hanya tampak pada bagian-bagian tertentu dengan meneruskan tradisi seni hias
Pra-Islam. Dalam hal ini tradisi seni hias Jawa-Hindu memegang peranan penting
khususnya pada masjid lama di Jawa. Hiasan dalam bentuk pahatan timbul masih
mengingatkan karya seni pahat pada candi-candi Jawa Timur, khususnya candi
zaman Majapahit. Hiasan relief pada dinding masjid Mantingan, Gresik,
Sendangduwur, Cirebon
dan lain sebagainya, baik teknis maupun estetis, bersumber pada tradisi seni
hias Majapahit. Demikian pula hiasan pahatan dan ukiran kayu pada daun pintu masjid
memperlihatkan teknik pahatan relief Majapahit. Corak hiasan yang dua
dimensional dengan komposisi yang padat serta kesukaan pada moti-motif hias
tumbuh-tumbuhan dari seni Majapahit mengilhami para seniman zaman Islam tua.
Tidak terkecuali dalam hal ini penggunaan motif-motif perlambangan seperti
makara, kalamerga, ular, garuda, terate, gunungan dan lain sebagainya. Hiasan
konstruktif seperti yang tampak pada tihang, balok palang dan pelipit-pelipit
tembok, pintu gerbang, pada kemucuk atap dan menara banyak pula yang berasal
dari tradisi seni hias Jawa Timur.
Pantangan untuk melukiskan motif
makhluk hidup dalam bentuk yang realistis menimbulkan usaha untuk menyamarkan
motif tersebut dalam corak hiasan yang khas Islam. Hiasan dengan lukisan
samaran binatang dan manusia dijalin dengan motif abjad Arab banyak terdapat
pada bangunan masjid-masjid lama di Jawa. Lukisan ini kadang-kadang
menggambarkan tokoh-tokoh dalam perwayangan atau lukisan binatang candra
sangkala seperti yang tampak pada hiasan bidang panil masjid Demak. Pembubuhan tahun pada candra sangkala tersebut
dihubungkan dengan peristiwa penting.
Motif
abjad Arab yang merupakan motif hias khas Islam tidak hanya tampil sebagai
bidang pada masjid, tetapi juga sebagai bentuk lukisan samaran seperti lukisan
kaca yang berasal dari Cirebon. Tema
lukisan meliputi cerita-cerita wayang dan cerita-cerita tentang riwayat Nabi.
Motif permadani yang merupakan motif hias khas Islam dengan dengan pola hias
ilmu ukur seperti susunan motif-motif medalyon dan sebagainya. Selaiin motif
hias yang khas Islam terdapat juga hias yang bersumber pada tradisi seni Cina.
Tradisi seni hias Cina ini banyak terdapat dalam karya seni di Cirebon seperti
yang tampak pada hiasan di masjid Agung dan keraton Kesepuhan dan Kanoman.
Beberapa motif hias yang berasal dari tradisi seni Cina antara lain motif batu
karang atau disebut juga motif wadasan dan motif awan yamg disebut juga motif
mega mendung. Kedua motif ini memiliki bentuk dasar yang sama yaitu bentuk
belah ketupat yang bersambung. Pinggir sisi bergelombang dan sudut-sudut
mengalami pembulatan. Perbedaan kedua motif tadi terletak pada petunjuk bahwa
motif awan selalu mengarah pada garis horizontal dan tidak disertai dengan
lukisan tumbuh-tumbuhan. Motif awan yang membentuk hiasan pinggiran merupakan
susunan hiasan mender yang sering dapat dijumpai kembali pada hiasan-hiasan
keramik atau bejana perunggu Cina. Juga pembentukan hiasan pinggiran yang
terdiri dari susunan perhiasan huruf T., tegak lurus berbalik-balik. Tanda
adanya pengaruh tradisi seni Cina ini juga tampak pada nilai grafis yang sangat
menonjol pada seni ornamentik Cirebon. Nilai grafis yang hidup dan dinamis ini
dapat dihubungkan dengan nilai-nilai grafis dalam seni lukis Cina. Demikian
juga kesukaan pada warna-warna yang menyolok seperti yang masih tampak pada
warna-warna pada bangunan klenteng Cina, kesan warna semacam ini juga tampak
kembali pada seni batik Cirebon dan hiasan kraton. Berikut ini diuraikan
tentang masjid kuno di Cirebon, Banten dan Kotagede sebagai contoh bangunan
Kuno dari abad 16 – 17 M.
Masjid Agung Cirebon.

Denah
asli masjid adalah yang sekarang dikelilingi oleh tembok bujur sangkar
sedangkan bagian serambi, baik serambi timur dan utara maupun selatan dibuat
lebih kemudian sebagai perluasan. Untuk memasuki bagian dalam masjid, terdapat
sembilan pintu masuk dengan pintu masuk utama terdapat dibagian timur dan yang
delapan lainnya disebelah utara dan selatan. Bagian dalam masjid sekarang memekai ubin dari terakotta
berwarna merah dengan ukuran rata-rata 28 Cm2. Didalamnya terdapat
tiang soko sebanyak empat buah yang disebut soko guru. Sebuah tiang soko yang
terletak disudut tenggara tersebut dari kayu disebut soko tatal.
Tradisi menyebutkan soko tatal ini dibuat sendiri oleh
Sunan Kalijaga. Tentang masa berdirinya masjid ini berbagai tafsiran. Tradisi
kraton mengungkapkan berdirinya masjid ini dalam candra sangkala yang berbunyi
Waspada Panembehe Yuganing Ratu (Waspada = 2, Panembehe = 2, yuga = 4, ratu =
1) sama dengan 1422 caka atau 1500 M. Tradisi juga mengatakan bahwa masjid
Agung Cirebon sebagai masjid tertua di Jawa, sejaman dengan masjid Agung Demak.
Tentang pintu masuk yang berjumlah sembilan, ada yang menghubungkannya dengan
filsafat yang melambangkan jumlah wali yang sembilan (Wali Sanga). Atap
bangunan bertingkat dua berbentuk limas an.
Pada
bagian mihrab terdapat satu ukiran yang menempel persis di tempat berdirinya
imam. Ukiran ini berbentuk bunga teratai yang konon dibuat juga oleh Sunan Kali
Jaga. Simbol bunga teratai, menurut keterangan dari pihak keraton Kesepuhan
melambangkan filsafat “yuni (hidup tanpa ruh).
Di depan pengimanan juga terdapat tiga buah ubin yang
diberi tanda khusus karena punya nilai tradisionil tersendiri. Ketiga ubin ini
dipasang pada waktu pendirian masjid oleh Sultan Gunung Jati. Sunan Bonang dan
Sunan KaliJaga. Ketiga ubin yang dipasang oleh ketiga Wali menurut anggapan
masyarakat berarti symbol dari doktrin Islam yakni Iman, Islam dan Ihsan.
Selain
mendapat nama Masjid Agung, juga mendapat nama-nama lain misalnya Sang Cipta
Rasa, yang juga dinamakan sebagai Masjid Agung Pakeeng Wati. Serambi yang
tertua terletak disebelah selatan dan disebut Prabayakan sedang serambi depan
(timur) disebut pendangan. Mimbar masjid terbuat dari kayu jati dengan ukiran
dibagian kaki dan puncak berbentuk kala makara yang telah distyler diberi nama
Sang Ratu atau Sang Renggas. Cis atau tongkat yang dipakai oleh Khatib, disebut
sang Jubleg. Namolo atau puncak masjid (mastaka) yang kini telah tidak ada.
Ketika masih ada disebut Sang Selat Bang. Bedug yang ada di masjid Agung
disebut Sang Guru Mangir atau Kayai Tesbur Putih.
Suatu hal yang menarik dari Masjid ini ialah bahwa bagian
atap masjid yang bertingkat dan berbentuk limas, tidak memakai hiasan puncak
yang lazim disebut mastaka atau memolo. Bentuk limas pada atap masjid ini biasa didapati pada masjid-masjid
kuno lainnya di Indonesia. Pada umumnya masjid kuno di Jawa memang bertingkat
dan berbentuk meru dengan hiasan pada puncaknya seperti misalnya Masjid agung
Demak (bertingkat tiga), masjid Kadilangu (bertingkat dua). Masjid Agung Banten
(bertingkat lima) dan sebagainya. Tentang sebabnya mengapa masjid Agung Cirebon
tidak memakai memolo, menurut tradisi adalah karena kejadian sebagai berikut:
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, terjadi wabah melanda Cirebon. Untuk
menangguli, Panembahan Ratu melepaskan tongkatnya yang sakti (tongkat wasiat)
lalu melayang menyambar memolo sehingga memolo itu putus.
Sejak itu Sunan Gunung Jati berpesan pada Panembahan Ratu
agar untuk Masjid Agung tidak usah lagi dibuatkan memolo tetapi sebagai
gantinya bentuk atap dibuat berbentuk Limas sebagai symbol bahwa: Manusia tidak
ada yang unggul.
Tradisi masjid
kuno di Indonesia pada umumnya, di Jawa khususnya kompleks masjid tidak
disertai bangunan menara yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk musim
melaksanakan tugasnya. Tentang hal ini, Babad Cirebon menuliskan: Di Jawa
sengaja dibuat menara karena tradisi Jawa berbeda dengan tradisi Arab dimana orang
Jawa seperti muazim misalnya tidak boleh duduk dan berdiri lebih tinggi dari
raja yang duduk di bawah sebab menurut tradisi Jawa hal ini bisa menyebabkan
Walat.
“Ning
kono, ning Jawa aja tiru-tiru adat Mekkah nganggo menara ari adat kuno ning
Jawa wong cilik kena ngungguli, mbok kena Wialat”.
Masjid Agung Banten Banten Lama
Kecamatan Kasemen

Masjid Agung Banten terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Banten Lama. Letaknya pada suatu kompleks kepurbakalaan dengan disisi kiri dan kanan juga terdapat bangunan-bangunan lain. Bentuknya kalau kita lihat denahnya berbentuk bujur sangkar, dengan catatan bahwa selaiin denah berbentuk bujur-sangkar ini terdapat bagian depan yang disebut serambi dan bagian bangunan luar dihalaman depan yang dipergunakan untuk penyimpanan air untuk berwudhu atau mandi. Bangunan kolam mini airnya diambil dari kali yang terletak dibagian selatan masjid sekitar 30 meter. Untuk mendapatkan air dibuatkan sebuah saluran. Selain denah yang berbentuk bujur sangkar, masjid ini mempunyai atap yang bertingkat lima dengan bentuk limas an yang dibentuk dengan pola simetris. Bagian atap yang pertama bentuknya lebih besar dari bagian atap yang berikutnya sehingga bentuk atap ini kalau kita lihat dari luar makin ke atas makin kecil. Pada bagian teratas bangunan terdapat lantai yang terbuat dari ubin berwarna merah tua berukuran 28 x 28 Cm.
Namun bagian dari bagian luar ubin itu tidak sama
warnanya abu-abu dan berukuran 20 x 20 Cm. Dibagian dalam terdapat tiang-tiang
soko guru yang terbuat kayu jati yang menyangga bagian bangunan. Disini tembok
barat terdapat mimbar dari kayu dengan tangga naik terbuat dari ubin teraso
sebanyak lima tingkat. Mimbar ini diberi berwarna cat merah dan kuning emas.
Pada bagian puncak mimbar di bagian depan yang berbentuk lengkungan terdapat
tulisan dengan huruf Arab.
Disisi kiri mimbar terdapat bagian bangunan yang menjorok
yang ternyata digunakan sebagai mihrab atau pengimanan. Di bagian sisi luar
diselatan serambi yang di dalamnya terdapat beberapa makam. Di luar bangunan masjid
masih disisi selatan terdapat bangunan lain yang kelihatan bersambung dengan
tembok masjid yang dipergunakan sebagai museum atau tempat penyimpanan
benda-benda kuno. Kalau kita masuk ke bangunan ini dibagian dalam ternyata
terdapat dua lantai, dengan lantai yang kedua terbuat dari kayu. Untuk menuju
lantai kedua terdapat dua anak tangga yang juga terbuat dari kayu masing-masing
terdapat dibagian barat dan bagian timur. Lantai bawah alasnya memakai ubin
(tegel) yang dipergunakan untuk kantor atau menyimpan alat-alat kantor. Di
lantai kedua terdapat beberapa benda kuno. Benda-benda tersebut ada yang
disimpan pada fitrin, lemari, tetapi ada juga yang hanya letakkan di lantai
saja. Beberapa benda yang dapat dikenal disini ialah : sebuah tempayan besar
dengan diameter sekitar 0.75 M. Tempayan ini tidak ada alasnya dengan kata lain
bagian bawahnya bolong dan tak tertutup. Benda-benda lainnya ialah sebuah
Kur’an Kuno ditulis tangan pada sebuah kertas Belanda yang disimpan pada lemari
kaca, sebuah senjata yang disebut debus, beberapa senjata lain seperti tombak,
keris dan sebagainya. Disini juga ditemukan gamelan kayu yang tidak utuh lagi
gong, batu bundar dan beberapa macam benda-benda kuno lain.
Menara Masjid Agung Banten Lama
Bangunan
ini terletak di halaman depan masjid Agung Banten. Diameter bagian bawah
berukuran 4 M. tingginya kira-kira 8 M. Untuk menujui puncak menara terdapat
jalan masuk dengan tangga yang berbentuk spiral. Pintu masuk terdapat disisi
bagian utara. Kemudian terdapat anak tangga sebanyak 84 buah dengan
masing-masing anak tangga berukuran lebih 50 Cm dan tebalnya kira-kira 15 Cm.
Anak tangga ini dibuat dari batu karang yang dipotong sesuai dengan bentuk yang
diinginkan yang pada umumnya berbentuk persegi empat.
Kalau dilihat dari luar Menara ini bertingkat dua
masing-masing tingkat terdapat pagar dimana kita jika telah naik anak tangga
sampai pada bagian bangunan yang terdapat pagar dimana kita jika telah naik
anak tangga sampai pada bagian bangunan yang terdapat pagarnya bisa keluar
melalui suatu pintu. Dari sisi pagar ini kita bisa melihat bangunan
disekitarnya. Demikian juga dengan tingkat yang kedua dengan ukuran yang lebih
kecil. Secara keseluruhan bangunan ini merupakan suatu bangunan tunggal. Kalau
kita memperlihatkan Denah maka bangunan ini berbentuk segi delapan (octagonal)
dengan bagian bangunan yang makin ke atas makin mengecil. Menurut keterangan
menara ini dibuat lebih kemudian daripada masjid Agung Banten. Arsiteknya ialah
seorang Belanda yang bernama Lucas Cardeel yang kemudian menjadi arsitek
kerajaan Baneh diabad 17 yang katanya kemudian masuk Islam dan oleh Sultan
Banten diberi gelar Pangeran Wiraguna, Menilik bentuk arsitekturnya bangunan
menara dan bangunan yang dibuat museum Banten yang dulunya dikenal dengan nama
Timah atas Bale Bandung juga dibuat oleh Lucas Cardeel. Masyarakat setempat
menyebutkan bahwa selain berfungsi sebagai menara pada masa kerajaan Banten,
menara ini dipergunakan juga untuk menara pengawas (watch tower) karena
letaknya cukup baik untuk dapat mengawasi kapal-kapal yang dating dari laut.
Masjid Kota Gede
Halaman
luar dan halaman masjid dipisahkan oleh tembok bata yang setinggi 21/2
meter, dan dihubungkan oleh sebuah gapura paduraksa yang lengkap dengan
kelirnya. Dari pengamatan bahan dan konstrukinya gapura dan tembok ini
merupakan hasil pemugaran total terhadap bangunan yang terdahulu, yang diadakan
oleh fihak Keraton Surakarta sebagai pengelolanya. Dalam pemugaran tersebut
telah dipergunakan bahan bangunan baru dan dalam penempatan batu-batunya telah
pula dipergunakan spesi. Batu bata yang dipergunakan dalam pemugaran lebih
kecil dari ukuran batu bata sejamannya. Antefika/simbar pada bingkai tengah
ataupun hiasan yang lain hasil cetakan baru yang terbuat dari beton bertulang.
Ambang pintu dan langit pintu gapura terbuat dari beton bertulang. Ambang bawah
dari pintu semula tidak dipergunakan lagi. Ambang tersebut terbuat dari batu
andesit perfiritik yang mirip dengan hiasan floral pada tampak atasnya. Batu
ambang tersebut sekarang diletakkan di belakang kelir dari gapura yang
bersangkutan. Dalam survai tidak dapat diketemukan bagian asli yang tersisa
yang dapat menunjukkan bahwa bangunan yang semula dipergunakan. Kekunaan yang
masih diperlihatkan dalam pemugaran itu tidak ditutupnya permukaannya dengan
lepa, tetap terbuka.
Pada
sisi utama halaman masjid ini terdapat pula sebuah gapura yang berbentuk
paduraksa yang menghadap ke utara kesebuah lorong kampung Kudusan. Gapura pada tembok disisi utara ini dikelola oleh pihak
Keraton Surakarta. Ambang dan sepasang daun pintunya terbuat dari kayu jati
yang berukiran dengan floral merupakan hasil pengarangnya. Bagian puncak dan
sayapnya masih utuh dengan hiasan pahatan dari bahan batu putih/limestone.
Di
sebelah utara dan selatan bangunan masjid terdapat pula dua bangunan kayu yang mungkin
pula merupakan bangunan paseban terbuka, sedangkan ditengah halaman sebuah tugu
peringatan baru. Sesuai dengan pembangian kompleks ini, bagian halaman dan
serambi masjid dikelola oleh fihak Keraton Surakarta, sebagian sebelah dalam
dikelola oleh fihak Keraton Yogyakarta. Masjid ini pernah terbakar pada tahun
1919 dan selanjutnya dipugar kembali pada tahun 1923. Angka pemugaran ini
terdapat pada kuncung serambi. Sejauh mana pemugaran yang dilakukan tidak dapat
diketahui, karena tidak diketemukan bagian bangunan yang terkelupas. Dinding
bangunan utama masjid masih asli, terbuat dari batu putih/limestone yang
dipotong sebesar bata. Bagian tampak luar dan tampak dalam telah ditutup dengan
lepa, sedangkan bagian tampak samping dan tampak belakang tetap dan terlihat
dengan jelas susunan batunya. Mimbar kayu terdapat di dalam ruang masjid masih asli dalam keadaan baik. Selain
bangunan masjid yang telah diuraikan secara fisik tersebut di atas yakni masjid
Agung Cirebon, Banten dan Kota Gede di Jawa terdapat masjid yang memiliki pola
arsitekturil yang sama dan pula hampir sejaman dengan bangunan masjid Agung
yakni Masjid Agung Demak. Perbedaan bentuk antara masjid Agung Demak dengan
Cirebon ialah dalam bentuk atapnya dimana masjid Agung Demak atapnya berbentuk
meru dengan tiga tingkat bersusun sedangkan atap masjid Agung Cirebon atapnya
berbentuk limasan. Tradisi menyebutkan bahwa kedua masjid ini telah dibangun
oleh Wali Sanga bahkan pada kedua masjid ini juga memiliki saka tatal yakni
tiang utama yang disusun dari potongan-potongan kayu yang secara tradisi
disebutkan bahwa soko tatal dibuat oleh Sunan Kalijaga.
Di
beberapa tempat di Indonesia terdapat sebutan masjid menurut lafal dialek
daerah masing-masing misalnya mesigit (Jawa), Nesusigit (Aceh), Nasigit (Sunda),
Nasigi (Sulawesi). Di bekas-bekas pusat kerajaan Islam dahulu terdapat sebutan masjid
Agung seperti di Cirebon, Demak, Banten, Yogyakarta. Pada saat ini di Indonesia
apa yang disebut masjid tidak hanya terdapat di kota-kota besar saja melainkan
terdapat sampai kampung-kampung yang terpencil. Tentang bentuk atap yang
bertingkat yang berpola meru ternyata tidak hanya terdapat di Jawa saja namun
juga terdapat di Sulawesi Ternate, Aceh dan sebagainya. Bahkan masjid Indrapuri
yang terletak di kota Indrapuri (Aceh Besar) yang atapnya berbentuk meru dengan
berbentuk bertingkat dua berdasarkan tradisi dibangun pada abad 12 M yang
semula berasal dari bangunan Hindu. Penelitian lebih lanjut tentang masjid
Indrapuri masih perlu dilanjutkan tentang bentuk arsitekturnya maupun latar
belakang sejarahnya. Demikian juga masjid di Ternate bertingkat lima tapi kini
bangunan itu sudah runtuh, masjid yang beratap lima tingkat dan masih utuh
ialah masjid Agung Banten sedangkan berdasarkan berita dari abad 17 di Jepara
juga terdapat masjid yang beratap lima. Masjid
yang beratap tiga tingkat terdapat di Demak, Palembang, Mantingan, Jepara.