Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Monday 15 October 2018

ARTEFAK MONUMENTAL ISLAM


Bangunan Masjid
a.  Bahan dan konstruksi bangunan
Untuk membangun masjid di Indonesia dipakai tradisi seni bangunan lama, baik tradisi seni bangunan kayu, batu bata maupun batu alam. Konstruksi tradisionil bangunan tampak sangat menonjol dengan diterapkannya struktur tersusun, yaitu suatu sistem saling menumpangnya tiga unsur konstruktif satu sama lain yang meliputi bagian paling bawah yang dibuat dari bahan batu beton atau batu bata sebagai konstruksi pengantar beban ke tanah. Tiang pokok atau soko guru beserta tiang-tiang lainnya yang lebih kecil berdiri di atas umpak pada pondasi. Hubungan antara soko guru dengan kerangka atap meliputi sistem tiga peletakan. Bagian bawah meliputi tiga peletakan lambang trisula, yaitu lambang alam fisik, perasaan dan kejiwaan manusia. Bagian kedua dan ketiga terdiri dari lima dan tujuh peletakan sebagai lambang panca dan lambang tujuh kesempurnaan jiwa.
Atap masjid dibentuk oleh konstruksi  atap lambang gantung dengan susunan usuk atap berdasarkan sistem payung terbuka. Atap biasanya bersusun ganjil, saling menumpang dan berbentuk limasan. Atap seperti ini menyerupai bentuk atap susun dari bangunan meru pada pura-pura di Bali. Untuk tembok dinding penyekat atau untuk pagar keliling masjid dipakai bahan batu bata dengan tehnik susun seperti yang pernah dipakai pada bangunan candi zaman Hindu.
b. Tempat dan Perencanaan
Pada umumnya masjid menempati daerah lingkungan istana raja atau pembesar tertinggi setempat disisi Barat dari lapangan (alun-alun). Selaiin itu, ditempat-tempat Keramat seperti dilingkungan makam tokoh-tokoh terkemuka dalam masyarakat, kadangkala didirikan juga masjid. Dalam hal ini bangunan masjid seperti yang terdapat pada masjid-masjid makam di Mesir. Demikian juga pola perencanaan bagian-bagian dari masjid lama tidak tetap. Letak ruang untuk menjalankan wudhu misalnya tidak selamanya berada ditempat yang sama dari bagian masjid. Ada beberapa masjid yang dikelilingi oleh selokan air sebagai tempat menjalankan wudhu. Keadaan ini mengingatkan kepada telaga suci yang mengelilingi bangunan candi pada zaman Hindu. Sebagian besar masjid lama dalam pendiriannya dihubungkan dengan rencana para wali yang selalu berkaitan dengan cerita-cerita ajaib. Pendirian masjid kemudian juga dihubungkan dengan campur tangan raja yang memerintah. Dalam hal ini masjid tidak dapat dilepaskan dari perbendaharaan istana. Bahwa masjid dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari istana tampak adanya kegiatan upacara-upacara istana, seperti upacara Sekaten, dimana gamelan istana yang dipandang suci dan keramat dimainkan didalam masjid Agung.
Selain hubungannya dengan istana, masjid-masjid lama juga dihubungkan dengan madrasah dimana diadakan pendidikan dan pengajaran agama. Masjid madrasah semacam ini juga berbeda dengan masjid madrasah dari negara-negara Islam lain yang memperlihatkan ciri-ciri kesatuan arsitektur. Dasar demikian pendirian masjid madrasah atau pondok berasal dari tradisi kehidupan dalam agama Hindu-Buddha dengan sistim mandalanya. Jadi ciri kehidupan madrasah atau pesantren ialah sifat kekeluargaan masyarakat Islam dengan dasar pendidikan Agama. Sistim pesantren semacam ini ditandai dengan bangunan madrasah sebagai lambang kesatuan keluarga masyarakat setempat.
c. Bagian-bagian dari Masjid
Bangunan utama dari masjid meneruskan bentuk bangunan Pra Islam, suatu jenis bangunan tempat berkumpulnya masyarakat. Jenis bangunan ini mengingatkan bale pertemuan dengan atap tumpang bersusun ganjil. Denah bangunan berbentuk bujur sangkar dengan salah satu sisi diperuntukkan sebagai kiblat dimana terdapat mihrab. Hampir setiap masjid, terutama di Jateng dan Jatim, mempunyai serambi depan, tempat dimana digantungkan sebuah bedug. Pada masjid-masjid lama ruang mihrab merupakan ruang tertutup dengan hanya sebuah pintu masuk di bagian depan. Karena itu ruang mihrab ini selalu gelap dan terasing. Bagian luar ruang mihrab lebih terbuka dengan tidak adanya tembok keliling yang mendukung atap. Karena suasana ruang ini lebih lapang dan terang.
            Menara masjid lama tidak memiliki bentuk yang tetap dan kehadirannya tidak menjadi kesatuan arsitektur dengan bangunan masjid. Kebiasaan untuk adzan di Jawa tidak memerlukan menara sebab untuk memberi tahu masyarakat akan waktu shalat dibunyikan bedug. Bentuk menara masjid lama bersumber pada tradisi kebudayaan setempat, antara lain dari tradisi seni bangunan Hindu dan tradisi seni bangunan Barat. Bentuk menara masjid Kudus misalnya mengingatkan kepada bentuk candi zaman Majapahit, sedangkan bentuk menara masjid Demak lebih menyerupai bentuk menara mercusuar.
            Adanya kebiasaan untuk mendirikan batas tembok keliling dengan gapura pada kompleks masjid merupakan penerus dari seni bangunan Jawa-Hindu. Bentuk profilering dari pintu gerbang dan tembok keliling dari masjid lama masih mengingatkan tradisi seni bangunan Jawa-Hindu. Dan jenis pintu gerbang yang sudah dikenal pada zaman Hindu tampak kembali pada pintu gerbang masjid. Bentuk pintu gerbang yang berasal dari bangunan candi bentar biasanya berdiri dibagian terdepan yang disusul dengan bentuk pintu gerbang yang beratap yang biasa disebut kori agung. Pada kedua jenis pintu gerbang ini masih tampak perbandingan tempat hiasan pahatan seperti yang kita kenal pada bangunan candi.
d. Hiasan Masjid
Kekayaan hiasan yang menjadi ciri khas dari masjid negara-negara Islam tidak tampak pada masjid Kuno di Indonesia. Hiasan masjid Indonesia hanya tampak pada bagian-bagian tertentu dengan meneruskan tradisi seni hias Pra-Islam. Dalam hal ini tradisi seni hias Jawa-Hindu memegang peranan penting khususnya pada masjid lama di Jawa. Hiasan dalam bentuk pahatan timbul masih mengingatkan karya seni pahat pada candi-candi Jawa Timur, khususnya candi zaman Majapahit. Hiasan relief pada dinding masjid Mantingan, Gresik, Sendangduwur, Cirebon dan lain sebagainya, baik teknis maupun estetis, bersumber pada tradisi seni hias Majapahit. Demikian pula hiasan pahatan dan ukiran kayu pada daun pintu masjid memperlihatkan teknik pahatan relief Majapahit. Corak hiasan yang dua dimensional dengan komposisi yang padat serta kesukaan pada moti-motif hias tumbuh-tumbuhan dari seni Majapahit mengilhami para seniman zaman Islam tua. Tidak terkecuali dalam hal ini penggunaan motif-motif perlambangan seperti makara, kalamerga, ular, garuda, terate, gunungan dan lain sebagainya. Hiasan konstruktif seperti yang tampak pada tihang, balok palang dan pelipit-pelipit tembok, pintu gerbang, pada kemucuk atap dan menara banyak pula yang berasal dari tradisi seni hias Jawa Timur.
            Pantangan untuk melukiskan motif makhluk hidup dalam bentuk yang realistis menimbulkan usaha untuk menyamarkan motif tersebut dalam corak hiasan yang khas Islam. Hiasan dengan lukisan samaran binatang dan manusia dijalin dengan motif abjad Arab banyak terdapat pada bangunan masjid-masjid lama di Jawa. Lukisan ini kadang-kadang menggambarkan tokoh-tokoh dalam perwayangan atau lukisan binatang candra sangkala seperti yang tampak pada hiasan bidang panil masjid Demak. Pembubuhan tahun pada candra sangkala tersebut dihubungkan dengan peristiwa penting.
            Motif abjad Arab yang merupakan motif hias khas Islam tidak hanya tampil sebagai bidang pada masjid, tetapi juga sebagai bentuk lukisan samaran seperti lukisan kaca yang berasal dari Cirebon. Tema lukisan meliputi cerita-cerita wayang dan cerita-cerita tentang riwayat Nabi. Motif permadani yang merupakan motif hias khas Islam dengan dengan pola hias ilmu ukur seperti susunan motif-motif medalyon dan sebagainya. Selaiin motif hias yang khas Islam terdapat juga hias yang bersumber pada tradisi seni Cina. Tradisi seni hias Cina ini banyak terdapat dalam karya seni di Cirebon seperti yang tampak pada hiasan di masjid Agung dan keraton Kesepuhan dan Kanoman. Beberapa motif hias yang berasal dari tradisi seni Cina antara lain motif batu karang atau disebut juga motif wadasan dan motif awan yamg disebut juga motif mega mendung. Kedua motif ini memiliki bentuk dasar yang sama yaitu bentuk belah ketupat yang bersambung. Pinggir sisi bergelombang dan sudut-sudut mengalami pembulatan. Perbedaan kedua motif tadi terletak pada petunjuk bahwa motif awan selalu mengarah pada garis horizontal dan tidak disertai dengan lukisan tumbuh-tumbuhan. Motif awan yang membentuk hiasan pinggiran merupakan susunan hiasan mender yang sering dapat dijumpai kembali pada hiasan-hiasan keramik atau bejana perunggu Cina. Juga pembentukan hiasan pinggiran yang terdiri dari susunan perhiasan huruf T., tegak lurus berbalik-balik. Tanda adanya pengaruh tradisi seni Cina ini juga tampak pada nilai grafis yang sangat menonjol pada seni ornamentik Cirebon. Nilai grafis yang hidup dan dinamis ini dapat dihubungkan dengan nilai-nilai grafis dalam seni lukis Cina. Demikian juga kesukaan pada warna-warna yang menyolok seperti yang masih tampak pada warna-warna pada bangunan klenteng Cina, kesan warna semacam ini juga tampak kembali pada seni batik Cirebon dan hiasan kraton. Berikut ini diuraikan tentang masjid kuno di Cirebon, Banten dan Kotagede sebagai contoh bangunan Kuno dari abad 16 – 17 M.
Masjid Agung Cirebon.

Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun Keraton Kesepuhan yang termasuk desa Lemah Wungkuk. Di bagian luar, masjid ini diberi pagar tembok keliling. Jika melihat pagar tembok sebelah timur yang berhadapan dengan jalan raya sekarang, maka tampak bahwa denah masjid ini tidak sejajar dengan pagar tembok. Namun denah tersebut yang berbentuk sangkar memang sudah tepat menghadap ke kiblat yakni kira-kira mengarah 300 arah Barat Laut. Dari penglihatan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pagar tembok ini dibuat demikian.
            Denah asli masjid adalah yang sekarang dikelilingi oleh tembok bujur sangkar sedangkan bagian serambi, baik serambi timur dan utara maupun selatan dibuat lebih kemudian sebagai perluasan. Untuk memasuki bagian dalam masjid, terdapat sembilan pintu masuk dengan pintu masuk utama terdapat dibagian timur dan yang delapan lainnya disebelah utara dan selatan. Bagian dalam masjid sekarang memekai ubin dari terakotta berwarna merah dengan ukuran rata-rata 28 Cm2. Didalamnya terdapat tiang soko sebanyak empat buah yang disebut soko guru. Sebuah tiang soko yang terletak disudut tenggara tersebut dari kayu disebut soko tatal.
Tradisi menyebutkan soko tatal ini dibuat sendiri oleh Sunan Kalijaga. Tentang masa berdirinya masjid ini berbagai tafsiran. Tradisi kraton mengungkapkan berdirinya masjid ini dalam candra sangkala yang berbunyi Waspada Panembehe Yuganing Ratu (Waspada = 2, Panembehe = 2, yuga = 4, ratu = 1) sama dengan 1422 caka atau 1500 M. Tradisi juga mengatakan bahwa masjid Agung Cirebon sebagai masjid tertua di Jawa, sejaman dengan masjid Agung Demak. Tentang pintu masuk yang berjumlah sembilan, ada yang menghubungkannya dengan filsafat yang melambangkan jumlah wali yang sembilan (Wali Sanga). Atap bangunan bertingkat dua berbentuk limas an.
            Pada bagian mihrab terdapat satu ukiran yang menempel persis di tempat berdirinya imam. Ukiran ini berbentuk bunga teratai yang konon dibuat juga oleh Sunan Kali Jaga. Simbol bunga teratai, menurut keterangan dari pihak keraton Kesepuhan melambangkan filsafat “yuni (hidup tanpa ruh).
Di depan pengimanan juga terdapat tiga buah ubin yang diberi tanda khusus karena punya nilai tradisionil tersendiri. Ketiga ubin ini dipasang pada waktu pendirian masjid oleh Sultan Gunung Jati. Sunan Bonang dan Sunan KaliJaga. Ketiga ubin yang dipasang oleh ketiga Wali menurut anggapan masyarakat berarti symbol dari doktrin Islam yakni Iman, Islam dan Ihsan.
            Selain mendapat nama Masjid Agung, juga mendapat nama-nama lain misalnya Sang Cipta Rasa, yang juga dinamakan sebagai Masjid Agung Pakeeng Wati. Serambi yang tertua terletak disebelah selatan dan disebut Prabayakan sedang serambi depan (timur) disebut pendangan. Mimbar masjid terbuat dari kayu jati dengan ukiran dibagian kaki dan puncak berbentuk kala makara yang telah distyler diberi nama Sang Ratu atau Sang Renggas. Cis atau tongkat yang dipakai oleh Khatib, disebut sang Jubleg. Namolo atau puncak masjid (mastaka) yang kini telah tidak ada. Ketika masih ada disebut Sang Selat Bang. Bedug yang ada di masjid Agung disebut Sang Guru Mangir atau Kayai Tesbur Putih.
            Suatu hal yang menarik dari Masjid ini ialah bahwa bagian atap masjid yang bertingkat dan berbentuk limas, tidak memakai hiasan puncak yang lazim disebut mastaka atau memolo.  Bentuk limas pada atap masjid ini biasa didapati pada masjid-masjid kuno lainnya di Indonesia. Pada umumnya masjid kuno di Jawa memang bertingkat dan berbentuk meru dengan hiasan pada puncaknya seperti misalnya Masjid agung Demak (bertingkat tiga), masjid Kadilangu (bertingkat dua). Masjid Agung Banten (bertingkat lima) dan sebagainya. Tentang sebabnya mengapa masjid Agung Cirebon tidak memakai memolo, menurut tradisi adalah karena kejadian sebagai berikut: Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, terjadi wabah melanda Cirebon. Untuk menangguli, Panembahan Ratu melepaskan tongkatnya yang sakti (tongkat wasiat) lalu melayang menyambar memolo sehingga memolo itu putus.
Sejak itu Sunan Gunung Jati berpesan pada Panembahan Ratu agar untuk Masjid Agung tidak usah lagi dibuatkan memolo tetapi sebagai gantinya bentuk atap dibuat berbentuk Limas sebagai symbol bahwa: Manusia tidak ada yang unggul.
            Tradisi masjid kuno di Indonesia pada umumnya, di Jawa khususnya kompleks masjid tidak disertai bangunan menara yang biasanya digunakan sebagai tempat untuk musim melaksanakan tugasnya. Tentang hal ini, Babad Cirebon menuliskan: Di Jawa sengaja dibuat menara karena tradisi Jawa berbeda dengan tradisi Arab dimana orang Jawa seperti muazim misalnya tidak boleh duduk dan berdiri lebih tinggi dari raja yang duduk di bawah sebab menurut tradisi Jawa hal ini bisa menyebabkan Walat.
“Ning kono, ning Jawa aja tiru-tiru adat Mekkah nganggo menara ari adat kuno ning Jawa wong cilik kena ngungguli, mbok kena Wialat”.


Masjid Agung Banten Banten Lama Kecamatan Kasemen
 

Masjid Agung Banten terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Banten Lama. Letaknya pada suatu kompleks kepurbakalaan dengan disisi kiri dan kanan juga terdapat bangunan-bangunan lain. Bentuknya kalau kita lihat denahnya berbentuk bujur sangkar, dengan catatan bahwa selaiin denah berbentuk bujur-sangkar ini terdapat bagian depan yang disebut serambi dan bagian bangunan luar dihalaman depan yang dipergunakan untuk penyimpanan air untuk berwudhu atau mandi. Bangunan kolam mini airnya diambil dari kali yang terletak dibagian selatan masjid sekitar 30 meter. Untuk mendapatkan air dibuatkan sebuah saluran. Selain denah yang berbentuk bujur sangkar, masjid ini mempunyai atap yang bertingkat lima dengan bentuk limas an yang dibentuk dengan pola simetris. Bagian atap yang pertama bentuknya lebih besar dari bagian atap yang berikutnya sehingga bentuk atap ini kalau kita lihat dari luar makin ke atas makin kecil. Pada bagian teratas bangunan terdapat lantai yang terbuat dari ubin berwarna merah tua berukuran 28 x 28 Cm.
Namun bagian dari bagian luar ubin itu tidak sama warnanya abu-abu dan berukuran 20 x 20 Cm. Dibagian dalam terdapat tiang-tiang soko guru yang terbuat kayu jati yang menyangga bagian bangunan. Disini tembok barat terdapat mimbar dari kayu dengan tangga naik terbuat dari ubin teraso sebanyak lima tingkat. Mimbar ini diberi berwarna cat merah dan kuning emas. Pada bagian puncak mimbar di bagian depan yang berbentuk lengkungan terdapat tulisan dengan huruf Arab.
Disisi kiri mimbar terdapat bagian bangunan yang menjorok yang ternyata digunakan sebagai mihrab atau pengimanan. Di bagian sisi luar diselatan serambi yang di dalamnya terdapat beberapa makam. Di luar bangunan masjid masih disisi selatan terdapat bangunan lain yang kelihatan bersambung dengan tembok masjid yang dipergunakan sebagai museum atau tempat penyimpanan benda-benda kuno. Kalau kita masuk ke bangunan ini dibagian dalam ternyata terdapat dua lantai, dengan lantai yang kedua terbuat dari kayu. Untuk menuju lantai kedua terdapat dua anak tangga yang juga terbuat dari kayu masing-masing terdapat dibagian barat dan bagian timur. Lantai bawah alasnya memakai ubin (tegel) yang dipergunakan untuk kantor atau menyimpan alat-alat kantor. Di lantai kedua terdapat beberapa benda kuno. Benda-benda tersebut ada yang disimpan pada fitrin, lemari, tetapi ada juga yang hanya letakkan di lantai saja. Beberapa benda yang dapat dikenal disini ialah : sebuah tempayan besar dengan diameter sekitar 0.75 M. Tempayan ini tidak ada alasnya dengan kata lain bagian bawahnya bolong dan tak tertutup. Benda-benda lainnya ialah sebuah Kur’an Kuno ditulis tangan pada sebuah kertas Belanda yang disimpan pada lemari kaca, sebuah senjata yang disebut debus, beberapa senjata lain seperti tombak, keris dan sebagainya. Disini juga ditemukan gamelan kayu yang tidak utuh lagi gong, batu bundar dan beberapa macam benda-benda kuno lain.
Menara Masjid Agung Banten Lama
            Bangunan ini terletak di halaman depan masjid Agung Banten. Diameter bagian bawah berukuran 4 M. tingginya kira-kira 8 M. Untuk menujui puncak menara terdapat jalan masuk dengan tangga yang berbentuk spiral. Pintu masuk terdapat disisi bagian utara. Kemudian terdapat anak tangga sebanyak 84 buah dengan masing-masing anak tangga berukuran lebih 50 Cm dan tebalnya kira-kira 15 Cm. Anak tangga ini dibuat dari batu karang yang dipotong sesuai dengan bentuk yang diinginkan yang pada umumnya berbentuk persegi empat.
Kalau dilihat dari luar Menara ini bertingkat dua masing-masing tingkat terdapat pagar dimana kita jika telah naik anak tangga sampai pada bagian bangunan yang terdapat pagar dimana kita jika telah naik anak tangga sampai pada bagian bangunan yang terdapat pagarnya bisa keluar melalui suatu pintu. Dari sisi pagar ini kita bisa melihat bangunan disekitarnya. Demikian juga dengan tingkat yang kedua dengan ukuran yang lebih kecil. Secara keseluruhan bangunan ini merupakan suatu bangunan tunggal. Kalau kita memperlihatkan Denah maka bangunan ini berbentuk segi delapan (octagonal) dengan bagian bangunan yang makin ke atas makin mengecil. Menurut keterangan menara ini dibuat lebih kemudian daripada masjid Agung Banten. Arsiteknya ialah seorang Belanda yang bernama Lucas Cardeel yang kemudian menjadi arsitek kerajaan Baneh diabad 17 yang katanya kemudian masuk Islam dan oleh Sultan Banten diberi gelar Pangeran Wiraguna, Menilik bentuk arsitekturnya bangunan menara dan bangunan yang dibuat museum Banten yang dulunya dikenal dengan nama Timah atas Bale Bandung juga dibuat oleh Lucas Cardeel. Masyarakat setempat menyebutkan bahwa selain berfungsi sebagai menara pada masa kerajaan Banten, menara ini dipergunakan juga untuk menara pengawas (watch tower) karena letaknya cukup baik untuk dapat mengawasi kapal-kapal yang dating dari laut.
Masjid Kota Gede

Bangunan masjid terletak dikompleks makam Kota Gede. Halaman luar  yang membentang barat - timur berukuran 58 x 46 M. Di tengah halaman terdapat jalan yang menuju gapura masuk yang terletak di sisi timur halaman Masjid. Pada kiri dan kanan jalan telah menjadi permukiman penduduk, mereka bekerja sebagai abdi dalam juru kunci di dalam kompleks ini. Permukiman disebelah utara jalan dihuni oleh abdi dalem dari pihat keraton Surakarta, sedangkan sedangkan di sebelah selatan jalan dihuni oleh abdi dalem dari pihak keraton Yogyakarta. Pada bagian timur dari halaman ini yang terbebas dari permukiman indung terdapat dua bangunan kayu yang terbuka pada sebelah menyebelah jalan. Kedua bangunan yang berfungsi sebagai paseban luar itu merupakan bangunan baru yang mungkin didirikan atas dasar konsepsi lama. Pada halaman luar ini tidak terdapat sisa bangunan yang menjelaskan adanya bangunan gapura ataupun tembok keliling. Tembok keliling yang sekarang jelas merupakan tembok baru. Kekunaan yang masih tersisa pada halaman ini ialah susunan batu putih/limestone yang terletak disebelah barat paseban sisi selatan. Susunan ini sangat mungkin merupakan fondasi bangunan, sekarang tidak tepat diatasnya tumbuh pohon beringin yang dikeramatkan.
            Halaman luar dan halaman masjid dipisahkan oleh tembok bata yang setinggi 21/2 meter, dan dihubungkan oleh sebuah gapura paduraksa yang lengkap dengan kelirnya. Dari pengamatan bahan dan konstrukinya gapura dan tembok ini merupakan hasil pemugaran total terhadap bangunan yang terdahulu, yang diadakan oleh fihak Keraton Surakarta sebagai pengelolanya. Dalam pemugaran tersebut telah dipergunakan bahan bangunan baru dan dalam penempatan batu-batunya telah pula dipergunakan spesi. Batu bata yang dipergunakan dalam pemugaran lebih kecil dari ukuran batu bata sejamannya. Antefika/simbar pada bingkai tengah ataupun hiasan yang lain hasil cetakan baru yang terbuat dari beton bertulang. Ambang pintu dan langit pintu gapura terbuat dari beton bertulang. Ambang bawah dari pintu semula tidak dipergunakan lagi. Ambang tersebut terbuat dari batu andesit perfiritik yang mirip dengan hiasan floral pada tampak atasnya. Batu ambang tersebut sekarang diletakkan di belakang kelir dari gapura yang bersangkutan. Dalam survai tidak dapat diketemukan bagian asli yang tersisa yang dapat menunjukkan bahwa bangunan yang semula dipergunakan. Kekunaan yang masih diperlihatkan dalam pemugaran itu tidak ditutupnya permukaannya dengan lepa, tetap terbuka.
            Pada sisi utama halaman masjid ini terdapat pula sebuah gapura yang berbentuk paduraksa yang menghadap ke utara kesebuah lorong kampung Kudusan. Gapura pada tembok disisi utara ini dikelola oleh pihak Keraton Surakarta. Ambang dan sepasang daun pintunya terbuat dari kayu jati yang berukiran dengan floral merupakan hasil pengarangnya. Bagian puncak dan sayapnya masih utuh dengan hiasan pahatan dari bahan batu putih/limestone.
            Di sebelah utara dan selatan bangunan masjid terdapat pula dua bangunan kayu yang mungkin pula merupakan bangunan paseban terbuka, sedangkan ditengah halaman sebuah tugu peringatan baru. Sesuai dengan pembangian kompleks ini, bagian halaman dan serambi masjid dikelola oleh fihak Keraton Surakarta, sebagian sebelah dalam dikelola oleh fihak Keraton Yogyakarta. Masjid ini pernah terbakar pada tahun 1919 dan selanjutnya dipugar kembali pada tahun 1923. Angka pemugaran ini terdapat pada kuncung serambi. Sejauh mana pemugaran yang dilakukan tidak dapat diketahui, karena tidak diketemukan bagian bangunan yang terkelupas. Dinding bangunan utama masjid masih asli, terbuat dari batu putih/limestone yang dipotong sebesar bata. Bagian tampak luar dan tampak dalam telah ditutup dengan lepa, sedangkan bagian tampak samping dan tampak belakang tetap dan terlihat dengan jelas susunan batunya. Mimbar kayu terdapat di dalam ruang  masjid masih asli dalam keadaan baik. Selain bangunan masjid yang telah diuraikan secara fisik tersebut di atas yakni masjid Agung Cirebon, Banten dan Kota Gede di Jawa terdapat masjid yang memiliki pola arsitekturil yang sama dan pula hampir sejaman dengan bangunan masjid Agung yakni Masjid Agung Demak. Perbedaan bentuk antara masjid Agung Demak dengan Cirebon ialah dalam bentuk atapnya dimana masjid Agung Demak atapnya berbentuk meru dengan tiga tingkat bersusun sedangkan atap masjid Agung Cirebon atapnya berbentuk limasan. Tradisi menyebutkan bahwa kedua masjid ini telah dibangun oleh Wali Sanga bahkan pada kedua masjid ini juga memiliki saka tatal yakni tiang utama yang disusun dari potongan-potongan kayu yang secara tradisi disebutkan bahwa soko tatal dibuat oleh Sunan Kalijaga.
            Di beberapa tempat di Indonesia terdapat sebutan masjid menurut lafal dialek daerah masing-masing misalnya mesigit (Jawa), Nesusigit (Aceh), Nasigit (Sunda), Nasigi (Sulawesi). Di bekas-bekas pusat kerajaan Islam dahulu terdapat sebutan masjid Agung seperti di Cirebon, Demak, Banten, Yogyakarta. Pada saat ini di Indonesia apa yang disebut masjid tidak hanya terdapat di kota-kota besar saja melainkan terdapat sampai kampung-kampung yang terpencil. Tentang bentuk atap yang bertingkat yang berpola meru ternyata tidak hanya terdapat di Jawa saja namun juga terdapat di Sulawesi Ternate, Aceh dan sebagainya. Bahkan masjid Indrapuri yang terletak di kota Indrapuri (Aceh Besar) yang atapnya berbentuk meru dengan berbentuk bertingkat dua berdasarkan tradisi dibangun pada abad 12 M yang semula berasal dari bangunan Hindu. Penelitian lebih lanjut tentang masjid Indrapuri masih perlu dilanjutkan tentang bentuk arsitekturnya maupun latar belakang sejarahnya. Demikian juga masjid di Ternate bertingkat lima tapi kini bangunan itu sudah runtuh, masjid yang beratap lima tingkat dan masih utuh ialah masjid Agung Banten sedangkan berdasarkan berita dari abad 17 di Jepara juga terdapat masjid yang beratap lima. Masjid yang beratap tiga tingkat terdapat di Demak, Palembang, Mantingan, Jepara.