Kebudayaan
adalah dinamika, proses, dan kontak-kontak yang terjadi di balik acara internal
maupun eksternal. Di Indonesia, apa yang disebut sebagai kebudayaan asli,
khususnya dilihat dari bentang waktu, tampak masih menjadi pertanyaan.
Pertanyaan ini berkisar pada batas waktu yang bias digunakan untuk menentukan
kebudayaan asli Indonesia.
Beberapa bataswaktu bias diketengahkan di sini: (1) sejak terjadnya gelombang
migrasi besar dari Asia Tenggara pada masa neolitik-logam awal; (2) sejak kurun
waktu/pertanggalan prasasti-prasasti tertua Hindu di Indonesia; (3) sejak
runtuhnya civilisasi Indonesia-Hindu Klasik dan sosialisasi Islam; (4) sejak
mulainya kolonisasi oleh bangsaEropa; (5) sejak proklamasi kemerdekaan; atau
(6) kebudayaan asli tersebut terdapat pada suku-suku yang tersebar di berbagai
pelosok tanah air.
Batasan
tersebut penting dikemukakan, sekedar untuk menjadi ingatan bahwa proses
trasformasi budaya Indonesia
telah terjadi sejak masa lalu hingga proklamasi kemerdekaan yang mewujudkan
"konsep kebudayaan nasional". Formasi bhineka tunggal ika,
sebagai refleksi budaya dari seluruh pelosok tanah air, sampai sekarang masih
berwujud sebagai perilaku budaya berbagai suku. Lebih dari itu, kondisi inipun
masih beragam, mulai dari suku-suku yang masih memiliki atau terkait erat
dengan tradisi budaya prasejarah – seperti
Nias, Mentawai, Dayak, Toraja, Ngadha, Sumba, Timor, dan Irian Jaya –
dan etnis-etnis lain yang telah mengalami transformasi budaya lebih luas dengan
diserapnya budaya-budaya baru seperti Hindu, Islam dan Barat. Dalam kelompok
terakhir ini bisa disebut misalnya suku Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa,
dan lain-lain.
Ciri-ciri
kebudayaan Indonesia
sebelum dipengaruhi budya dan tradisi besar telah dikemukakan oleh para ahli.
G. Coedes, misalnya, mengidentifikasi sepuluh unsur yang telah mapan dalam
budya Indonesia
sebelum mengalami kontak intensif dengan budaya Hindu; yakni pemeliharaan
ternak, perundagian, maritim dan navigasi, prinsip kekerabatan matrineal, animisme-dinamisme,
pertanian teratur dan pengorganisasian pemakai air irigasi, misalnya teologi
dikotomik dan sebagainya. Sementara itu J.L.A. Brandes mengemkakan pula sepuluh
unsur Indonesia
asli; pengolahan logam pengenalan metric asli, seni batik, pertanian sawah
teratur, navigasi dan astronomi, seni permainan wayang, sistem sosial yang
kompleks, gamelan dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut juga selanjutnya disebut
oleh Robert Von Heine-Geldern, kecuali permainan wayang dan gamelan.
Bila
demikian, bisa dikatakan bahwa basis kebudayaan asli antara lain terbentuk pada
tingkat kehidupan masa kemahiran teknik (logam awal) Indonesia. R.P. Soejono mengatakan
bahwa pendekatan tersebut spesialisai pekerjaan semakin luas, sistem social
semakin kompleks serta semakin meningkatnya kehidupan keagamaan yang berpusat
pada kultus terhadap leluhur. Sejalan dengan itu, Uka Tjandrasasmita (1982: 1)
menggolongkan warisan budaya dalam: (1) warisan budaya yang bersifat klasik,
yaitu peninggalan sejarah dan purbakala, (2) warisan budaya yang bersifat non-klasik
yaitu nilai-nilai tradisi, adat dan kebiasaan dan sebagainya.
Warisan
budaya selanjutnya juga secara implicit tercakup dalam penelasan UUD 1945,
khususnya penjelasan pasal 32: (1) kebudayaan lama dan asli, dan (2)
puncak-puncak kebudayaan di daerah. Persyaratan atau kriteria warisan budaya
tersebut secara implicit disebutkan dalam GBHN (Tap. MPR-RI No. II/MPR?1988)
sebagai berikut: (1) taradisi dan peninggalan sejarah, (2) memberi cork khas
kepada kebudayaan bangsa, (3) mempunyai nilai perjuangan bangsa, (4) dapat
memberikan kebanggaan, dan (5) bermanfaat scara nasinal (kemanfaatan nasional).
Namun
demikian, penting dicatat bahwa keutuhan ataupun kelengkapan warisan budaya (cultural-heritage)
senantiasa mengalami reduksi dan perubahan baik secara kualitatif mupun
kuantitatif. Hal ini disebabkan
adanya berbagai pengaruh faktor-faktor alam maupun kultural. Jangan dilupakan,
tidak seluruh tata laku dan hasil laku manusia itu terserap atau terefleksikan
dalam wujud benda (materi), seperti misalnya nilai-nilai, filsafat, geneologi, kindship
atau kekerabatan, sopan santun, aturan bagi hasil dan sebagainya. Sebagian
besar peninggalan masa lalu itu mudah rusak (perishable), baik karena
bahan, prose dan akibat pemakaian, daya preservasi dan sebagainya. Sebagian
besar peninggalan itu terpendam di dalam tanah serta mengalami proses-proses penyusutan
berlanjut (continues reduction)
akibat factor-faktor taponomik, termasuk akibat dan dampak perilaku manusia.
Salah
satu upaya mengungkap perilaku budaya ialah melalui kajian arkeologi. Namun
hanya sebagian kecil dari yang tersisa tersebut yang sampai ke tangan para
arkeolog dengan cara perolehan dan subyektivitas dan bias penafsirannya. Data
arkeologi sering terjadi kerusakan/hilang/berkurang akibat vandalism, percurian,
penggalian liar, pemugaran liar, perubahan tata guna lahan dan sebagainya.
Jadi, data arkeologi sejak ia dibuat, dipakai, hilang/rusak (tak tepakai lagi) terkubur,
sampai muncul kembali ke permukaan tanah, telah menjalani proses dan waktu yang
panjang serta menerima berbagai pengaruh, baik faktor alami mupun kultural.
Akibatnya, data arkeologi mengalami reduksi kuantitatif maupun kualitatif,
pertubahan hubungan antar data dan provinence-nya, perubahan fungsi dan
sebagainya.
Dalam
rangka melestarikan wrisan budaya nasional, kegiatan-kegiatan arkeologi
dilakukan, khususnya oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) .
. .. … .
1. Secara
institusional, hasil penelitian arkeologi yang dilaksanakan Puslit Arkenas
dewasa ini telah melampaui tahapan kritis untuk membuktikan eksistensi dirinya
dalam dunia ilmu dan komunitas ilmiah yang terbuka, mandiri dan menjunjung
tinggi etika.
2. Tahap
kegiatan berupa penelitian, pengungkapan dan penyebarluasan hasoil-hasil
kegiatannya telah memberikan kontribusi kepada pengayaan khazanah budaya
bangsa, dan dalam fungsinya sebagai bagian dari kajian kebudayaan ikeut memberi
warna pada "jati diri" bangsa. Hasil penelitian terakhir dapat
menjadi data banding kajian kebudayaan masa kini, pembudayaan klreativitas dan masukan
bgi muatan lkal dalam kurikulum pendidikan umum.
3. Dalam
pergulatan pemikiran sebagai proses dinamis dan kreatif, hasil penelitian
tersebut diharapkan dapat menawrkan pilihan-pilihan yang tepatdan arif dalam
menentukan pengembangan aspek-aspek teoritis dan metodologis.
4. Adanya
kendala eksternal sebagai dampak kebijakan suprastruktur, misalnya larangan
penerimaan pegawai baru, yang beriringan dengan pengembangan organisasional
(pembukaan balai baru) diupayakan penanggulannya dengan cara peningkatan efisiensi
dan peningkatan kualitas sumber daya
manusia di lingkungan Pualit Arkenas.
5. Masih
terasanya kongesti data yang belum dianalisis secara tuntas, yang berdampak
belum dapat digunakan dan dikelolasbg informasi secara terbuka, ditanggulangi
dengan pembentukan Kelompok Kerja Analisis Data Arkeologi.
6. Pembukaan
balai-balai baru dihrapkan memberikan prospek pengembangan studi kewilayahan.
Selanjutnya
dalam memasuki pelaksanaan PJP II, penelitian arkeologi nasional sebagai salah
satu sub-sistem nasional dalam bidang penelitian, disartanka: (1) senantiasa
meningkatkan produktivitas, daya dan hasil guna, koordinasi dan keterkaitan
antar lembaga; (2) senantiasa meningkatkan usaha pembudayaan dan penyebarluasan
hasil-hasil kajian arkeologi sebagai sub-sistem kajian kebudayaan; dan (3)
mendorong terciptanya kondisi yang memudahkan msyarakat untuk memperoleh
informasi hasil-hasil kajian arkeologi, antara lain melalui peningkatan
publikasi, forum ilmiah, dan pengembangan pusat layanan dokumentasi dan
informasi arkeologi untuk kemanfaatan nasional.
Penelitian arkeologi nasional selanjutnya diharapkan
terus melanjutkan usaha peningkatan dan pengembangan aspek-aspek teknik,
metode, sistem, teori, konsep dan paradigma-paradigma penelitiannya. Dan,
terakhir, lembaga ini juga diharapkan meningkatkan kerjasama antar sesama
instnsi peneliti, instansi pelestarian dan instansi pendidikan arkeolgi di Indonesia. (Ambary,
1998: 335-345).