Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Friday 12 October 2018

Melestarikan Warisan Budaya Bangsa




Kebudayaan adalah dinamika, proses, dan kontak-kontak yang terjadi di balik acara internal maupun eksternal. Di Indonesia, apa yang disebut sebagai kebudayaan asli, khususnya dilihat dari bentang waktu, tampak masih menjadi pertanyaan. Pertanyaan ini berkisar pada batas waktu yang bias digunakan untuk menentukan kebudayaan asli Indonesia. Beberapa bataswaktu bias diketengahkan di sini: (1) sejak terjadnya gelombang migrasi besar dari Asia Tenggara pada masa neolitik-logam awal; (2) sejak kurun waktu/pertanggalan prasasti-prasasti tertua Hindu di Indonesia; (3) sejak runtuhnya civilisasi Indonesia-Hindu Klasik dan sosialisasi Islam; (4) sejak mulainya kolonisasi oleh bangsaEropa; (5) sejak proklamasi kemerdekaan; atau (6) kebudayaan asli tersebut terdapat pada suku-suku yang tersebar di berbagai pelosok tanah air.
Batasan tersebut penting dikemukakan, sekedar untuk menjadi ingatan bahwa proses trasformasi budaya Indonesia telah terjadi sejak masa lalu hingga proklamasi kemerdekaan yang mewujudkan "konsep kebudayaan nasional". Formasi bhineka tunggal ika, sebagai refleksi budaya dari seluruh pelosok tanah air, sampai sekarang masih berwujud sebagai perilaku budaya berbagai suku. Lebih dari itu, kondisi inipun masih beragam, mulai dari suku-suku yang masih memiliki atau terkait erat dengan tradisi budaya prasejarah – seperti  Nias, Mentawai, Dayak, Toraja, Ngadha, Sumba, Timor, dan Irian Jaya – dan etnis-etnis lain yang telah mengalami transformasi budaya lebih luas dengan diserapnya budaya-budaya baru seperti Hindu, Islam dan Barat. Dalam kelompok terakhir ini bisa disebut misalnya suku Aceh, Batak, Minangkabau, Sunda, Jawa, dan lain-lain.
Ciri-ciri kebudayaan Indonesia sebelum dipengaruhi budya dan tradisi besar telah dikemukakan oleh para ahli. G. Coedes, misalnya, mengidentifikasi sepuluh unsur yang telah mapan dalam budya Indonesia sebelum mengalami kontak intensif dengan budaya Hindu; yakni pemeliharaan ternak, perundagian, maritim dan navigasi, prinsip kekerabatan matrineal, animisme-dinamisme, pertanian teratur dan pengorganisasian pemakai air irigasi, misalnya teologi dikotomik dan sebagainya. Sementara itu J.L.A. Brandes mengemkakan pula sepuluh unsur Indonesia asli; pengolahan logam pengenalan metric asli, seni batik, pertanian sawah teratur, navigasi dan astronomi, seni permainan wayang, sistem sosial yang kompleks, gamelan dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut juga selanjutnya disebut oleh Robert Von Heine-Geldern, kecuali permainan wayang dan gamelan.
Bila demikian, bisa dikatakan bahwa basis kebudayaan asli antara lain terbentuk pada tingkat kehidupan masa kemahiran teknik (logam awal) Indonesia. R.P. Soejono mengatakan bahwa pendekatan tersebut spesialisai pekerjaan semakin luas, sistem social semakin kompleks serta semakin meningkatnya kehidupan keagamaan yang berpusat pada kultus terhadap leluhur. Sejalan dengan itu, Uka Tjandrasasmita (1982: 1) menggolongkan warisan budaya dalam: (1) warisan budaya yang bersifat klasik, yaitu peninggalan sejarah dan purbakala, (2) warisan budaya yang bersifat non-klasik yaitu nilai-nilai tradisi, adat dan kebiasaan dan sebagainya.
Warisan budaya selanjutnya juga secara implicit tercakup dalam penelasan UUD 1945, khususnya penjelasan pasal 32: (1) kebudayaan lama dan asli, dan (2) puncak-puncak kebudayaan di daerah. Persyaratan atau kriteria warisan budaya tersebut secara implicit disebutkan dalam GBHN (Tap. MPR-RI No. II/MPR?1988) sebagai berikut: (1) taradisi dan peninggalan sejarah, (2) memberi cork khas kepada kebudayaan bangsa, (3) mempunyai nilai perjuangan bangsa, (4) dapat memberikan kebanggaan, dan (5) bermanfaat scara nasinal (kemanfaatan nasional).
Namun demikian, penting dicatat bahwa keutuhan ataupun kelengkapan warisan budaya (cultural-heritage) senantiasa mengalami reduksi dan perubahan baik secara kualitatif mupun kuantitatif. Hal ini disebabkan adanya berbagai pengaruh faktor-faktor alam maupun kultural. Jangan dilupakan, tidak seluruh tata laku dan hasil laku manusia itu terserap atau terefleksikan dalam wujud benda (materi), seperti misalnya nilai-nilai, filsafat, geneologi, kindship atau kekerabatan, sopan santun, aturan bagi hasil dan sebagainya. Sebagian besar peninggalan masa lalu itu mudah rusak (perishable), baik karena bahan, prose dan akibat pemakaian, daya preservasi dan sebagainya. Sebagian besar peninggalan itu terpendam di dalam tanah serta mengalami proses-proses penyusutan berlanjut (continues reduction) akibat factor-faktor taponomik, termasuk akibat dan dampak perilaku manusia.
Salah satu upaya mengungkap perilaku budaya ialah melalui kajian arkeologi. Namun hanya sebagian kecil dari yang tersisa tersebut yang sampai ke tangan para arkeolog dengan cara perolehan dan subyektivitas dan bias penafsirannya. Data arkeologi sering terjadi kerusakan/hilang/berkurang akibat vandalism, percurian, penggalian liar, pemugaran liar, perubahan tata guna lahan dan sebagainya. Jadi, data arkeologi sejak ia dibuat, dipakai, hilang/rusak (tak tepakai lagi) terkubur, sampai muncul kembali ke permukaan tanah, telah menjalani proses dan waktu yang panjang serta menerima berbagai pengaruh, baik faktor alami mupun kultural. Akibatnya, data arkeologi mengalami reduksi kuantitatif maupun kualitatif, pertubahan hubungan antar data dan provinence-nya, perubahan fungsi dan sebagainya.
Dalam rangka melestarikan wrisan budaya nasional, kegiatan-kegiatan arkeologi dilakukan, khususnya oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) . . ..  … .
1.    Secara institusional, hasil penelitian arkeologi yang dilaksanakan Puslit Arkenas dewasa ini telah melampaui tahapan kritis untuk membuktikan eksistensi dirinya dalam dunia ilmu dan komunitas ilmiah yang terbuka, mandiri dan menjunjung tinggi etika.
2.    Tahap kegiatan berupa penelitian, pengungkapan dan penyebarluasan hasoil-hasil kegiatannya telah memberikan kontribusi kepada pengayaan khazanah budaya bangsa, dan dalam fungsinya sebagai bagian dari kajian kebudayaan ikeut memberi warna pada "jati diri" bangsa. Hasil penelitian terakhir dapat menjadi data banding kajian kebudayaan masa kini, pembudayaan klreativitas dan masukan bgi muatan lkal dalam kurikulum pendidikan umum.
3.    Dalam pergulatan pemikiran sebagai proses dinamis dan kreatif, hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menawrkan pilihan-pilihan yang tepatdan arif dalam menentukan pengembangan aspek-aspek teoritis dan metodologis.
4.    Adanya kendala eksternal sebagai dampak kebijakan suprastruktur, misalnya larangan penerimaan pegawai baru, yang beriringan dengan pengembangan organisasional (pembukaan balai baru) diupayakan penanggulannya dengan cara peningkatan efisiensi dan peningkatan  kualitas sumber daya manusia di lingkungan Pualit Arkenas.
5.    Masih terasanya kongesti data yang belum dianalisis secara tuntas, yang berdampak belum dapat digunakan dan dikelolasbg informasi secara terbuka, ditanggulangi dengan pembentukan Kelompok Kerja Analisis Data Arkeologi.
6.    Pembukaan balai-balai baru dihrapkan memberikan prospek pengembangan studi kewilayahan.
Selanjutnya dalam memasuki pelaksanaan PJP II, penelitian arkeologi nasional sebagai salah satu sub-sistem nasional dalam bidang penelitian, disartanka: (1) senantiasa meningkatkan produktivitas, daya dan hasil guna, koordinasi dan keterkaitan antar lembaga; (2) senantiasa meningkatkan usaha pembudayaan dan penyebarluasan hasil-hasil kajian arkeologi sebagai sub-sistem kajian kebudayaan; dan (3) mendorong terciptanya kondisi yang memudahkan msyarakat untuk memperoleh informasi hasil-hasil kajian arkeologi, antara lain melalui peningkatan publikasi, forum ilmiah, dan pengembangan pusat layanan dokumentasi dan informasi arkeologi untuk kemanfaatan nasional.
Penelitian arkeologi nasional selanjutnya diharapkan terus melanjutkan usaha peningkatan dan pengembangan aspek-aspek teknik, metode, sistem, teori, konsep dan paradigma-paradigma penelitiannya. Dan, terakhir, lembaga ini juga diharapkan meningkatkan kerjasama antar sesama instnsi peneliti, instansi pelestarian dan instansi pendidikan arkeolgi di Indonesia.   (Ambary, 1998: 335-345).

Arti Penting Objek Arkeologi



       Di dalam GBHN dicantumkan suatu pernyataan bahwa tradisi dan peninggalan sejarah yang memberi corak khas kepada kebudayaan bangsa serta hasil-hasil pembangunan yang mempunyai perjuangan bangsa, kebanggaan dan kemanfaatan nasional, perlu dipelihara dan dibina untuk menumbuhkan kesadaran sejarah, semangat perjuangan dan cinta tanah air, serta memelihara kelestarian budaya dan kesinambungan pembangunan bangsa. Dengan pernyataan ini jelas bahwa bangunan kuno sebagai warisan budaya mempunyai arti penting di dalam menumbuhkembangkan kesadaran budaya dan kesadaran sejarah, serta meningkatkan semangat perjuangan dan cinta tanah air. Arti penting lain dari adanya bangunan-bangunan juno yang bernilai historis arkeologis yaitu:
a.     Economic Value
Dalam hal ini bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai historis-arkeologis dapat digunakan sebagai objek wisata budaya, sehingga dengan kedatangan para touris akan dapat mendatangkan pemasukan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar objek tersebut. Dampak lain dari adanya bangunan-bangunan kuno tersebut, yaitu dapat mengangkat daerah menjadi lebih terkenal dan lebih maju, karena terpenuhinya sarana-sarana baru, terutama dalam hal transportasi dan asarana-sarana akomodasi.
b.    Aesthetic value
Suatu daerah akan lebih cepat menjadi terkenal karena keunikan dan keindahan bangunan-bangunan kuno yang dimilikinya.
c.     Associative/symbolic value
Secara asosiatif bangunan-bangunan kuno tidak terlepas dari tempat keberadaannya. Oleh karena itu keadaan bangunan dan lokasinya yang lama akan mempengaruhi panataan landscape yang baru. Sebagai contoh, penataan kawasan Taman Purbakala candi Borobudur dan Prambanan, meski lanskapnya ditata secara modern, tetapi tidak meninggalkan penataan asli masa lampau.
d.    Informative value
Kenyataan bahwa bangunan-bangunan kuno dapat memberikan informasi penting tidak dapat disangkal lagi (David Fraser, 1980: 18-19). Informasi tersebut dapat berupa keterangan sejarah, misalnya mengenal masa pendiriannya, pendiri dan fungsinya, keterangan mengenai teknologinya, keindahan seninya, dan bahkan keterangan yang  berhubungan dengan dasar-dasar filsafatnya. Apabila berbagai informasi ini dapat diteruskan kepada generasi berikutnya, maka akan dapat menumbuhkan kesadaran akan ketinggian nilai yang melekat pada bangunan tersebut, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kecintaan terhadap objek tersebut. Lebih lagi jika objek tersebut juga memiliki nilai perjuangan, keadaan ini pasti akan dapat menumbuhkan semangat juang sebagai bukti rasa cinta dan bangga terhadap bangsanya.
Dari uraian tersebut di atas maka jelas bahwa peninggalan bangunan kuno mempunyai arti penting di dalam membentuk pribadi bangsa. Oleh karena itu di dalam pembangunan kota, pertimbangan-pertimbangan terhadap kelestarian bangunan-bangunan kuno perlu dipertimbangkan.

Objek Arkeologi dan Faktor-Faktor Penyebab Kerusakannya

       Di dalam pasal 1 UUCB 1992 sebagai pengganti Monumenten Ordonansi dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah :
a.     Benda bergerak atau tidak bergerak yang dibuat oleh manusia berupa kesatuan atau kelompok atau sisa-sisanya terutama yang berumur 50 tahun atau memiliki masa gaya yang khas dan dapat mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, arkeologi, sejarah, etnografi dan kesenian.
b.    Benda yang dianggap mempunyai nilai penting bagi paleontraopologi.
c.     Situs, yaitu medan yang pada permukaan dan di dalamnya mengandung benda yang dimaksud dalam butir a dan b, termasuk medan baik pada permukaan maupun di dalamnya yang tidak mengandung benda yang dimaksud dalam butir a dan b tetapi penting bagi penentuan batas wilayah.
Dengan batasan pengertian seperti tersebut di atas maka dapat dimengerti bahwa bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai arkeologis dan historis dapat digolongkan sebagai benda cagar budaya. Mengingat adanya macam-macam bahaya yang mengancam keselamatan dan kelestarian akan peninggalan-peninggalan bangunan kuno tersebut, maka usaha-usaha konservasi perlu dilakukan. Dalam hal ini konservasi tidak saja ditujukan pada keselamatan bangunan kunonya, akan tetapi termasuk juga situs dimana bangunan itu berada. Dengan konservasi maka nilai-nilai luhur yang melekat pada bangunan kuno tersebut akan dipertahankan dan dinikmati, serta diwariskan oleh generas-generasi kemudian (Mark Robinson, 1985 : 11 – 17).
       Kerusakan atau kemusnahan benda-benda cagar budaya dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu :
a.     Kerusakan karena faktor mekanik, yaitu faktor-faktor yang berasal atau ditimbulkan oleh kegiatan alam, seperti misalnya banjir dan gempa bumi.
b.    Kerusakan yang disebabkan oleh faktor kemik, yaitu kerusakan yang ditimbulkan oleh proses-proses kimia, misalnya pengaruh oksidasi.
c.     Kerusakan yang disebabkan oleh faktor biologik, yaitu kerusakan yang ditimbulkan oleh benda-benda hidup, misalnya tanaman, binatang dan manusia.
Diantara ketiga faktor tersebut, manusia merupakan faktor yang paling berbahaya dan sangat sukar mengatasinya (Soejono, 1972: 106 – 108). Tindakan-tindakan vandalisme berupa perusakan dan corat-coret peninggalan sejarah dan purbakala, pencurian, pemugaran liar, penggalian liar dan tindakan-tindakan kejahatan lainnya merupakan ulah manusia yang semakin lama semakin merajalela. Lebih-lebih lagi di zaman pembangunan seperti sekarang ini, banyak proyek-proyek pembangunan yang tidak memperhatikan keselamatan benda-benda cagar budaya tersebut. Apabila keadaan ini berlanjut maka lama kelamaan benda-benda cagar budaya yang memiliki nilai budaya tinggi semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Ini berarti bahwa pemiskinan budaya akan terjadi.
Kekhawatiran akan keselamatan cagar budaya itu tidak hanya pada benda-benda sejarah dan purbakala saja, akan tetapi juga terhadap keselamatan situsnya, tempat benda-benda tersebut berada. Situs ini juga perlu mendapatkan perlindungan karena dari situlah informasi mengenai hubungan fungsional bendanya akan dapat ditelusuri. Ini berarti bahwa di dalam memandang benda cagar budaya tidak dapat lepas dari konteksnya. Antara benda dan situs tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan dalam memberikan informasi.

USAHA-USAHA KONSERVASI DI INDONESIA



Di Indonesia, usaha konservasi terhadap peninggalan-peninggalan warisan budaya diwujudkan dalam bentuk peraturan perundangan yang dikenal dengan nama Monumenten Ordonansi Staatsblad No. 238, tahun 1931. Monumenten Ordonansi ini berisi peraturan-peraturan yang berhubungan dengan benda-benda cagar budaya. Secara garis besar monumen ordonansi tersebut mengatur :
a.    Benda-benda yang memiliki nilai-nilai penting dilihat dari segi budaya, historis dan arkeologis akan dilakukan pendaftaran.
b.    Apabila benda-benda yang sudah terdaftar tersebut akan dipindahtangankan, maka pihak kantor yang berwenang mengurusi peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala, dalam hal ini adalah Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) harus diberi tahu.
c.    Apabila seseorang menemukan benda-benda sejarah dan purbakala supaya melaporkan kepada aparat pemerintah setempat, untuk kemudian diteruskan ke SPSP.
d.    Larangan eksport benda-benda sejarah dan purbakala tanpa izin dari instansi yang berwenang.
e.    Larangan untuk melakukan penggalian terhadap benda-benda sejarah dan purbakala tanpa izin dari pihak yang berwenang.
Untuk lebih memperkuat peraturan-peraturan yang dituangkan di dalam Monumenten Ordonansi tersebut, maka oleh pemerintah kemudian dikeluarkan beberapa instruksi dan keputusan baik setingkat Menteri maupun Presiden. Instruksi pertama dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Jakarta pada tahun 1960 (dengan nomor instruksi) : Per 65/1/7, 6 Februari 1960. Instruksi ditujukan kepada para Gubernur, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Biro Pemerintah Umum Pusat Kota Praja Jakarta Raya. Instruksi berisi tentang himbauan agar aparat pemerintahan di jajaran Departemen Dal;am Negeri mau membantu instansi kepurbakalaan di dalam mengamankan situs-situs kepurbakalaan yang banyak mengalami kerusakan sebagai akibat adanya penggalian liar. Instruksi tersebut kemudian mendapatkan dukungan dari Keputusan Presiden nomor 372 tahun 1962. Keputusan Presiden ini terutama menyangkut peningkatan tugas-tugas kepolisian khusus dari instansi atau jawatan sipil.
Mengenai larangan eksport benda-benda sejarah dan purbakala ke luar negeri, pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan bersama Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (No. 27 A/Kpb/II/1970, No. Kep-62/MK/III/2/1970; No. Kep. 3GBI/1970) telah mengeluarkan Surat keputusan Bersama yang berisi larangan mengeksport barang-barang sejarah dan purbakala dari daerah pabean Indonesia tanpa izin dari departemen Perdagangan atas rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, cq. Direktorat benda-benda purbakala.
Instruksi lain yang berhubungan dengan pengamanan benda-benda purbakala juga telah dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 8/M/1972 dan No. 01/A.1/1973; Instruksi komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban No. Ins.002/KOPKAM/I/1973. Terakhir adalah disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Undang-undang ini kemudian diperkuat dan diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.