Bukti-bukti
mengenai arsitektur masa prasejarah di Indonesia dapat ditunjukkan oleh
peninggalan-peninggalan yang berupa bangunan punden berundak, sedang
bukti-bukti yang berhubungan dengan pemukiman sampai sekarang masih dipersoalkan.
Punden berundak merupakan bangunan yang disusun secara berundak (berteras),
fungsinya untuk tempat melakukan upacara pemujaan (punden = tempat memundi
= tempat memuja). Bentuk bangunannya berupa teras-teras tanah datar yang
disusun berundak-undak makin ke belakang makin tinggi, bagian yang dianggap
paling penting dan paling suci terletak paling belakang. Masing-masing teras
dibatasi oleh tatanan batu dan pada salah satu sisinya terdapat pintu teras. Di
halaman teras biasanya terdapat menhir atau arca, yang merupakan symbol atau
perwujudan arwah leluhur. Dari bukti peninggalan ini dapat diketahui bahwa pada
waktu melakukan upacara pemujaan diperlukan pemimpin upaca dan anggota (massa).
Pada
masa klasik, arsitektur/bangunan keagamaannya berubah dari punden berundak
menjadi bangunan candi. Konsep
mengenai bangunan candi di Indonesia seperti halnya agamanya, merupakan
pengaruh dari India. Unsur-unsur dari India ini terasa berpengaruh sekali pada
masa klasik awal (abad VII – X) baik dalam sistem pemerintahan kerajaan, dan
dalam hal seni bangunan, seni arca, serta pahatan relief-reliefnya. Dalam hal
seni bangunan candi dapat terlihat bentuk profilnya yang masih berpegang pada
aturan-aturan seperti yang berlaku di India. Demikian terikatnya pada
aturan-aturan tersebut, profil candi pada masa klasik awal nampak menunjukkan
tidak adanya perubahan, sehingga sering disebut profil klasik Jawa Tengah.
Profil ini menunjukkan susunan bagian-bagian bangunan yang tetap mulai dari
kaki sampai atap candi. Susunan tersebut terdiri dari bagian pelipit, ojief
atau sisi genta atau bentuk padma, dan half round atau setengah
lingkaran. Demikian juga bentuk dan
susunan bangunannya yang hampir selalu konsentris. Dalam hal seni arca,
penggambaran arcanya betul-betul menunjukkan arca dewa yang naturalis menurut
ketentuan atau aturan-aturan yang berlaku di India. Sifat naturalis juga
ditampakkan di dalam cara memahat tokoh-tokoh dalam relief cerita. Hal yang
lebih penting lagi, yaitu tema cerita pada relief betul-betul menyatu dengan
candinya, dalam arti tema cerita tersebut sesuai dengan sifat keagamaan
candinya. Relief cerita pada candi yang bersifat Hindu mempunyai tema Hindu,
demikian pula dengan candi yang bersifat Buddha memiliki relief cerita yang
bersifat Buddha. Dengan kata lain, pada masa klasik awal, antara relief cerita
dan candinya seolah-olah tidak dapat dipisahkan.
Lain halnya dengan kehidupan masa klasik muda (abad XI –
XIII), ketentuan-ketentuan yang berlaku di India sedikit demi sedikit mulai
ditinggalkan dan mencari atau kembali ke bentuk-bentuk atau nilai-nilai yang
asli Indonesia, yang telah dimiliki pada masa sebelumnya. Kecenderungan ini
mulai nampak pada sekitar abad X – XI, khususnya pada masa pemerintahan raja
Airlangga di Jawa Timur. Pada masa ini muncul sebuah karya sastra Arjunawiwaha
karangan mPu Kanwa, yang dilihat dari tema ceritanya menunjukkan hasil karya
sastra yang berbeda dengan karya sastra sebelumnya. Karya sastra pada masa-masa
sebelumnya lebih banyak berupa terjemahan dari karya sastra di India, misalnya
Ramayana dan Mahabharata, tetapi karya sastra Arjunawiwaha memiliki tema cerita
Indonesia, meskipun nama-nama tokohnya masih mengadopsi nama-nama tokoh India.
Hal lebih menarik lagi yaitu, di dalam kitab Arjunawiwaha itu pada salah satu
baitnya menyebut-nyebut adanya pertunjukan wayang kulit. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa kesenian wayang kulit mulai muncul atau sedah dikenal pada masa
pemerintahan raja Airlangga, dan sekaligus menunjukkan bahwa wayang merupakan
kesenian asli milik bangsa Indonesia. Seni pewayangan ini selain diujudkan
dalam bentuk pertunjukan, juga diabadikan dalam bentuk relief. Kalau
relief-relief cerita pada candi-candi dari masa klasik awal digambarkan secara
naturalis, maka pada masa klasik muda digambarkan secara simbolis dalam bentuk
kering seperti bentuk wayang kulit. Bentuk
relief semacam ini terdapat pada candi-candi di Jawa Timur, antara lain candi
Jago dan candi Panataran. Perbedaan yang lainnya nampak dalam hal relief, yaitu
relief yang dipahatkan pada candi-candi masa klasik awal ceritanya disesuaikan
dengan sifat candinya apakah Hindu atau Buddha, tetapi pada candi-candi di Jawa
Timur antara relief cerita Hindu dan Buddha bercampur menjadi satu pada suatu
bangunan candi. Oleh karena itu, hanya
dengan melihat reliefnya sulit membedakan sefai candinya. Nampaknya memang
dapat diakui bahwa pada masa klasik muda telah terjadi sinkritisme
(percampuran) antara agama Hindu dan Buddha. Dalam bentuk arsitektur bangunan,
percampuran ini nampak pada bangunan candi-candi Singasari dan Kidal, keduanya
menunjukkan unsur-unsur bangunan Hindu dan Buddha. Mengenai adanya sinkritisme
agama Hindu dan Buddha, sumber sastra kuno menyebutkan bahwa raja Singasari
yang terakhir, yaitu kertanegara, setelah meninggal dunia dikatakan pulang ke Siwa-Buddha
loka (tempat dewa Siwa dan Buddha). Lebih jelas lagi terlihat pada salah
satu bagian dari isi kitab Sutasoma karangan mPu Tantular yang menyebutkan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti meskipun agama Hindu dan
Buddha itu berbeda tetapi pada hakekatnya sama (satu). Dengan demikian terdapat
bukti-bukti bahwa pada masa klasik muda terdapat kecenderungan untuk
menampilkan unsure-unsur budaya baru asli Indonesia, di samping terjadinya
percampuran antara agama Hindu dan Buddha.
Pada tahap selanjutnya, usaha untuk memunculkan kembali
unsur-unsur Indonesia asli semakin nampak menonjol. Susunan bangunan candi yang
sebelumnya nampak konsentris, pada masa ini mulai menunjukkan ciri-ciri kembali
pada susunan berundak-undak seperti bangunan punden berundak pada masa
prasejarah. Munculnya kembali unsur-unsur budaya asli Indonesia ini nampaknya
disertai dengan perubahan yang terjadi pada aspek keagamaan. Setelah sekian
lama kepercayaan asli bangsa Indonesia, yaitu kepercayaan terhadap arwah
leluhur, terdesak oleh pengaruh agama Hindu dan Buddha, pada masa klasik muda
kepercayaan asli dimunculkan kembali bercampur dengan kepercayaan Hindu dan
Buddha. Munculnya tokoh punokawan pada relief-relief candi diperkirakan
berhubungan dengan kepercayaan terhadap arwah leluhur tersebut, dalam arti
tokoh punokawan melambangkan arwah leluhur. Demikian juga dalam hal seni arca,
bentuk arca yang kaku seperti mayat lebih menunjukkan penggambaran arwah
leluhur daripada arca dewa yang sesungguhnya.
Apabila pada masa prasejarah arsitektur yang berhubungan
dengan pemukiman masih belum diketahui secara pasti, maka pada masa klasik
rekonstruksi arsitektur semacam ini sudah dapat ditunjukkan, misalnya kota
Sriwijaya dan kota majapahit. Meskipun demikian, karena bukti-bukti mengenai
kedua kota tersebut masih sangat sedikit dan terbatas, maka rekonstruksinya
lebih banyak mendasarkan pada konsep-konsep yang kebenarannya masih menunggu
bukti-bukti lebih lanjut. Sebagai gambaran, misalnya rekonstruksi kota
Sriwijaya di Sumatera. Sebelum membicarakan masalah kota Sriwijaya ada baiknya
mengetahui terlebih dahulu teori-teori tentang asal-usul kota. Untuk memberikan
gambaran secara singkat mengenai asal-usul kota, pada bagian ini hanya akan
diuraikan beberapa teori, antara lain yang dikemukakan oleh Karl Wittfogel
(1957), Robert Adams (1965 – 1966) dan Robert Carneiro (1970).
Di dalam teorinya yang dikenal dengan nama Managerial;
hidraulic agriculture, Wittfogel mengatakan bahwa yang menjadi prime
mover timbulnya suatu kota adalah dikenalnya sistem irigasi pada pertanian
hidraulik. Selanjutnya dikemukakan bahwa dengan adanya sistem irigasi tersebut
menuntut adanya suatu organisasi yang mengatur dan mengelola pekerjaan
tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena banyak jenis pekerjaan yang harus ditangani,
misalnya pengaturan waktu pengairan, perencanaan irigasi, koordinasi tenaga dan
lain-lainnya, yang pada akhirnya akan menimbulkan kepemimpinan yang bermacam.
Dengan adanya organisasi ini, produktivitas pertanian menjadi stabil dan akan
membawa kesejahteraan. Kondisi inilah yang akhirnya dapat memberikan kesempatan
timbulnya suatu kota. Untuk membuktikan teorinya itu, Wittfogel menunjuk
beberapa contoh kota kuno yang berada di pinggir sungai, misalnya di Mesir
(Sungai Nil), di Mesopotamia (Sungai Euphrat dan Tigris).
Teori Wittfogel ini ditentang oleh Adams dan Carneiro,
dengan alasan antara lain, pertama, tidak semua kota kuno muncul/berada
di daerah yang mempunyai sistem irigasi yang memadai, misalnya kota Maya. Kedua,
Irigasi dalam skala besar di Mesopotamia dan Meksiko misalnya, baru
dilaksanakan setelah kota tersebut terbentuk.
Selanjutnya Adams mengajukan suatu teori yang disebut Multivariant
Causality. Sesuai dengan judul teorinya, Adams mengatakan bahwa munculnya
suatu kota disebabkan oleh banyak variable yang saling berhubungan satu sama
lain. Dikatakan bahwa kota merupakan suatu sistem yang kompleks, dan
kompleksitas tersebut dapat terlihat pada adanya segregasi dan sentralisasi.
Teori Circumscribed
population growth kemudian diajukan oleh Carneiro. Dikatakan bahwa
munculnya kota
disebabkan oleh karena penduduk dan terbatasnya wilayah. Kondisi tersebut di
atas akan menimbulkan adanya perang, perang akan menimbulkan kooperasi,
kompetisi, pertahanan bersama dan pada akhirnya pemerintahan kota lah yang dapat mendamaikan.
Dari
beberapa teori tersebut di atas jelas bahwa untuk menentukan variabel-variabel
yang digunakan sebagai prime mover timbulnya kota pada setiap kasus dan tempat tidak sama.
Variabel-variabel yang berbeda tersebut akan mempengaruhi
juga sifat-sifat kotanya.
Lepas dari teori tersebut di atas, dapat diakui bahwa
kota merupakan hasil perkembangan bentuk pemukiman. Suatu bentuk pemukiman
dapat disebut kota apabila memiliki kriteria-kriteria tertentu. Akan tetapi,
untuk menentukan criteria-kriteria tersebut sangatlah tidak mudah, sehingga
sering menimbulkan perbedaan pendapat. Dalam hal ini dapat dikemukakan pendapat
Gordon Childe di dalam mengajukan kriteria-kriteria tersebut:
1.
Ukuran
kota lebih luas dan jumlah penduduk lebih padat jika dibandingkan dengan
pemukiman sebelumnya.
2.
Komposisi dan fungsi penduduk kota sudah berbeda dengan
penduduk desa.
3.
Produser-produser primer harus
membayar pajak kepada raja.
4.
Adanya monumental public
building.
5.
Adanya kelas-kelas penguasa
(pendeta, pemimpin-pemimpin sipil, militer dan pegawai).
6.
Telah dikenal tulisan.
7.
Telah dikenal pencatatan
(administrasi).
8.
Banyak spesialis antara lain
artis, tukang, pengrajin, pemahat.
9.
Mengenal perdagangan jarak
jauh.
10. Banyak
ahli.
Meskipun
kriteria-kriteria ini bukan merupakan ketentuan yang berlaku mutlak, akan
tetapi apa yang diajukan pleh Gordon Childe ini dapat memberikan gambaran
mengenai pengertian kota
kuno (awal).
Di
dalam terbitan EFEO, VIII, th 1989 oleh Pierre-Yves Manguin telah
disusun daftar bibliografi yang berhubungan dengan studi tentang Sriwijaya.
Dari daftar bibliografi tersebut dapat diketahui bahwa hampir seluruh aspek
kehidupan yang berhubungan dengan Sriwijaya telah mendapatkan porsi perhatian
yang menarik dari para penulis untuk diungkapkan, termasuk tulisan yang
membahas Sriwijaya sebagai situs perkotaan (urban archaeology). Melihat
bahwa daftar bibliografi tersebut sudah sedemikian lengkapnya, maka apa yang
akan diuraikan di dalam bagian ini mungkin akan lebih banyak pengulangan dari
apa yang sudah pernah disajikan sebelumnya.
Semenjak
ditemukannya prasasti Kota Kapur pada tahun 1892, nama Sriwijaya mulai muncul
di panggung Sejarah Nusantara. Mula-mula H. Kern menganggap bahwa nama
Sriwijaya adalah nama raja (Kern, 1913: 393 – 400), tetapi lima tahun kemudian anggapan Kern tersebut
diralat oleh G. Coedes. Dari hasil penelitiannya yang kemudian dituangkan dalam
tulisannya Le Royaume de Sriwijaya, Coedes menemukan bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa kota
Sriwijaya bukan nama raja, tetapi nama kedatuan atau kerajaan (Coedes, 1918 : 1
– 36). Bukti-bukti tersebut antara lain termuat di dalam prasasti Kota Kapur
itu sendiri, tahun 684 M, prasasti Ligor 775 M, prasasti Raja-Raja I 1006 M dan
prasasti Rajendracola 1025 M. Nama kerajaan Sriwijaya inilah yang kemudian di
dalam berita Cina dikenal dengan sebutan Shih-li-fo-shih, dan yang di dalam
berita Arab disebut Syarbazah atau Sribuza (Reinaud, 1845). Dari sejumlah data
yang berhasil dikumpulkan baik data artefaktual, structural, tekstual (prasasti
dan berita asing), dan bahkan data geografi, dapat diakui bahwa kerjaan
Sriwijaya berada di Sumatera. Ada
beberapa pendapat yang menganggap bukan di Sumatera, periksa Moens, 1937: 334 –
340, Quaritch Wales, 1935: 1 – 31.
Sebagai
suatu kerajaan, selain memiliki ibu kota
atau pusat kerjaan, Sriwijaya juga memiliki daerah wilayah kekuasaan, dan
mempunyai hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Apabila ibu kota kerjaan merupakan
pusat pemerintahan kerajaan, maka daerah wilayah kekuasaannya lebih peranannya
sebagai penyangga perekonomian pusat kerajaan tersebut, sekaligus sebagai
pelindung dari ancaman-ancaman yang datang dari luar, terutama dari
kerajaan-kerajaan tetangga. Sebaliknya kerajaan-kerajaan tetangga tersebut selain
dapat dianggap sebagai ancaman, juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan baik ekonomi, politik maupun social budaya, dengan saling
mengadakan hubungan.
Mengenai
kerajaan-kerajaan tetangga Sriwijaya dapat diketahui dari sumber prasasti dan
berita Cina. Di dalam prasasti Kota Kapur disebutkan nama Bhumijawa
yaitu nama suatu tempat (kerajaan) yang telah berhasil ditaklukkannya. Namun di
mana lokasi Bhumijawa ini sampai sekarang belum dapat dipastikan, apakah di
Jawa atau di Sumatera. Kerajaan-kerajaan tetangga lainnya dapat diketahui dari
berita Cina antara lain dari I-tsing. Di
dalam berita itu antara lain disebutkan nama-nama : Holing, To’po-teng,
Pa-lusbih (po-lu-sa), Mo-lo-yeou, Yeh-po-ti, To-lang-po-hwang dan Ho-lo-tan.
Nama-nama tersebut sudah berhasil ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia
dan beberapa diantaranya sudah dapat diperkirakan lokasinya.
Holing yang juga disebut She-po diidentifikasikan sebagai
kerajaan Kalingga yang ada di Jawa (Mayers, 1875 : 173 – 190), To’po-teng diperkirakan sama dengan Baras di Sumatera
Utara (Kern, 1917 : 216), Mo-lo-yeou diperkirakan sama dengan Melayu
(Sumatera), Yeh-po-ti diperkirakan sama dengan Jawadwipa (Groeneveldt, 1960 :
15), To-lang-po-hwang diperkirakan sama dengan Tulang Bawang di daerah Lampung
(Ferrand, 1918 : 477), dan Ho-lo-tan diperkirakan sama dengan Sruteun di Jawa
Barat, pusat kerajaan Tarumanegara (To-lo-mo) (Nia Kurnia Sholihat Irfan, 1983
: 40 – 41), Nama-nama kerajaan tersebut di atas tercantum di dalam daftar nama
kerajaan yang pernah mengirimkan utusannya ke Cina. Dari berita tersebut dapat
diketahui bahwa kerajaan-kerajaan tersebut keberadaannya sebelum kerajaan
Sriwijaya. Bagaimana hubungan diantara kerajaan-kerajaan tersebut tidak
diketahui secara jelas, tetapi yamg jelas berita I-tsing menyebutkan bahwa pada
suatu saat kurang lebih tanhun 671 – 672 M, kerajaan Melayu telah menjadi
daerah kekuasaan Sriwijaya (Wolters, 1965 : 209). Ini berarti dalam daerah
wilayah kekuasaan Sriwijaya pada saat itu sudah meliputi kerajaan Melayu.
Meskipun kerajaan Melayu tersebut sudah dapat diketahui berada di Sumatera,
tetapi lokasi tepatnya masih dipertanyakan. G. P. Rouffaer memperkirakan Melayu
terletak di Jambi sekarang (Rouffaer, 1921 : 11 – 19). Salah satu bukti yang
dapat menunjukkan batas wilayah kekuasaan Sriwijaya adalah prasasti Kota Kapur.
Di dalam prasasti itu disebutkan bahwa prasasti itu ditulis di batas kerajaan
Sriwijaya dengan Bhumijawa.
Prasasti-prasasti lain dari kerajaan Sriwijaya yang
ditemukan di berbagai tempat, hanya dapat memberikan gambaran bahwa
daerah-daerah tempat keberadaan temuan prasasti tersebut diperkirakan masih
termasuk di wilayah kekuasaan Sriwijaya, belum dapat dipastikan sebagai tanda
batas kewilayahan. Seperti diketahui di Sumatera telah ditemukan beberapa
prasasti yang dikeluarkan oleh raja Sriwijaya. Prasasti-prasasti tersebut
ditemukan di beberapa tempat di daerah Palembang, di daerah Lampung Selatan dan
Lampung Utara, di pulau Bangka dan di daerah Jambi.
Di daerah Palembang ditemukan tiga buah prasasti, yaitu
prasasti Kedukan Bukit bertarikh 604 Saka atau 682 M, prasasti Talang Tuwo, 606
S (684 M) dan prasasti Telaga Batu. Di daerah Lampung Utara ditemukan prasasti
Bawang dan di Lampung Selatan ditemukan prasasti Palas Pasemah (Boechari, 1979
: 18 – 37; Berita Penemuan Arkeologi; No. 2, 1976). Sebuah prasasti ditemukan
di Bangka yaitu prasasti Kota Kapur, 608 S (686 M), dan sebuah lagi ditemukan
di daerah Jambi yaitu prasasti Karang Berahi. Di samping itu di luar pulau
Sumatera yaitu di Malaysia juga pernah ditemukan sebuah prasasti yang
menyebut-nyebut kerajaan Sriwijaya yaitu prasasti Ligor, 697 S (775 M) (Bosch,
1941 : 26 – 38).
Dilihat dari persebaran prasasti-prasastinya, maka dapat
diperkirakan bahwa wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya meliputi daerah-daerah
Lampung di sebelah selatan, kepulauan Bangka di timur, Jambi di utara (bahkan
mungkin Semenanjung Malaya) dan daerah Palembang di tengahnya. Dari kenyataan
tersebut kemudian timbul pertanyaan di manakah diantara daerah-daerah tersebut
yang digunakan sebagai pusat kerajaannya?.
Meskipun telah diyakini benar bahwa Sriwijaya merupakan
sebuah kota yang sudah ada pada abad VII – VIII M, akan tetapi agaknya masih
terlalu dini untuk merekonstruksi kota tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena
masih terlalu sedikitnya data yang dapat dipakai untuk tujuan rekonstruksi
tersebut. Yang sekarang ada
lebih banyak digunakan untuk rekonstruksi sejarahnya daripada kotanya.
Berbicara mengenai Sriwijaya sebagai ibu kota kerajaan,
pikiran kita akan diarahkan pada peninggalan-peninggalan arkeologis yang
monumental. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Peninggalan arkeologis yang
berasal dari masa itu sangat tidak sesuai dengan keagungan dan kejayaan
kerajaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam sumber-sumber prasasti dan
berita asing. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena peninggalan-peninggalan
arkeologis tersebut sudah mengalami kehancuran atau mungkin belum ditemukan.
Bahkan karena terlalu sedikitnya data arkeologis yang ditemukan, lokasi ibu
kotanya saja sampai sekarang masih dipertanyakan. Itulah sebabnya mengapa
kemudian timbul beberapa pendapat mengenai lokasi ibu kota atau pusat kerajaan
Sriwijaya tersebut.
Ada
sekelompok sarjana yang berpendapat bahwa ibu kota kerajaan Sriwijaya berada di
Palembang (Nilakanta Sastri, 1949 : 35; Wolters, 1967 : 208; Coedes, 1968 : 92;
Boechari, 1979 : 18 – 37). Pendapat ini tidak disetujui oleh Soekmono, yang
mengatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya harus dicari di Jambi (Soekmono, 1958
: 251). Bahkan ada sekelompok sarjana yang berpendapat di Kelantan (Malaysia) (Moens, 1937) dan di Chaiya (Thailand)
(Quaritch Wales, 1935; Subhadradis Diskul, 1979). Pendapat-pendapat tersebut
lebih mendasarkan pada data epigrafi, berita asing, penelitian geomorfologi dan
gaya seni arca,
tetapi belum didukung oleh data arkeologis seperti artefak dan bangunan.
Beberapa
penjelasan perlu ditambahkan untuk memecahkan masalah lokasi pusat kerajaan
Sriwijaya tersebut. Di dalam menggunakan data prasasti, ada dua hal yang perlu
mendapat perhatian, yaitu mengenai isi dan persebarannya.
Lokasi
temuan prasasti menunjukkan “pola sebaran” di Lampung untuk bagian selatan, di
pulau Bangka untuk bagian timur, di Jambi untuk bagian Utara dan di Palembang
untuk bagian tengah. Akan
lenarik lagi bila “pola sebaran” ini dihubungkan dengan isi masing-masing prasastinya.
Dua buah prasasti yang ditemukan di daerah Lampung, selaiin berisi pujian
terhadap para dewa, juga sumpah atau kutukan kepada orang-orang yang tidak taat
kepada raja, serta berkah dan anugerah untuk yang taat kepada raja (Boechari,
1979 : 18 – 37). Sumpah atau kutukan di dalam suatu prasasti dapat dianggap
sebagai indicator bahwa daerah tempat dikeluarkannya prasasti tersebut berada
di luar pusat kerajaan. Gambaran mengenai status daerah ini lebih diperjelas
lagi dengan adanya kenyataan bahwa di dalam prasasti Palas Pasemah digunakan
dua dialek, yang dapat menunjukkan adanya perbedaan bahasa yang digunakan pusat
kerajaan.
Prasasti lain yang berisis sumpah atau kutukan yaitu
prasasti Kota Kapur, prasasti Telaga Batu dan prasasti Karang Berahi. Prasasti
Kota Kapur yang ditemukan di pulau Bangka pernah diteliti oleh H. Kern dan
dipublikasikan di dalam BKI, 67, 1913. Bahwa pulau Bangka bukan pusat
kerajaan Sriwijaya dapat ditunjukkan di dalam bagian prasasti Kota Kapur, yang
menyebutkan bahwa prasasti itu ditulis di batasnya kerajaan Sriwijaya dan
Bhumijawa. Dengan demikian pulau Bangka dapat dianggap sebagai batas wilayah
bagian timur. Mungkin sama halnya dengan prasasti Karang Berahi yang ditemukan
di Jambi (Krom, 1920 : 426) dapat dianggap sebagai batas wilayah bagian utara.
Demikian juga dengan prasasti Telaga Batu di Palembang (de Casparis, 1956 : 15
– 46), yang nampaknya ditempatkan di luar pusat kerajaan Sriwijaya.
Dua
buah prasasti yang lain, yang ditemukan di daerah Palembang yaitu prasasti Kedukan Bukit dan
Talang Tuwo memiliki isi yang berbeda karakter dengan prasasti-prasasti yang
telah disebutkan di muka. Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis pada tahun 604 S
(682 M) berisi tentang keberhasilan perjalanan raja Sriwijaya yang bergelar
Dapunta Hyang (Ronkel, 1924 : 12 – 21). Cerita tentang perjalanan ini kemudian
diabadikan di dalam prasasti tersebut. Ini berarti bahwa prasasti ini
dikeluarkan setelah perjalanan itu selesai dilakukan, dan diperkirakan setelah
Dapunta Hyang tiba kembali di pusat kerajaannya. Jika demikian maka ada
kemungkinan prasasti itu dibuat di ibukota kerajaan.
Berbeda
dengan prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuwo yang bertarikh 606 S (684
M) berisi tentang pembuatan sebuah taman bernama Sri Ksetra oleh Dapunta Hyang
Sri Jayanaga (Ronkel, Ibid). Secara
fungsional, taman mempunyai hubungan dengan kraton, dalam pengertian sebagai
kelengkapan suatu kraton. Dengan melihat adanya hubungan fungsi ini maka taman
biasanya dibangun pada suatu tempat yang lokasinya berdekatan dengan kraton
(pusat kerajaan). Selaiin tahun pembuatannya hanya berselisih dua tahun, kedua
prasasti tersebut (Kedukan Bukit dan Talang Tuwo) letaknya sama-sama berada di
daerah Bukit Seguntang. Dengan demikian dari sumber prasasti dapat diasumsikan
bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada di sekitar daerah Bukit Seguntang,
Palembang.
Asumsi mengenai pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang
diperkuat oleh berita I-tsing yang menceritakan kisah perjalanannya
(pelayarannya) dari Kanton menuju ke Sriwijaya pada tahun 671 M. Di Sriwijaya
dia tinggal selama 6 bulan kemudian ke Melayu dan tinggal di Melayu selama 2
bulan, dari Melayu kemudian meneruskan pelayarannya ke Kedah. Dari Kedah
kemudian meneruskan perjalanannya ke utara sampai di kepulauan Orang Telanjang
(Nikobar). Dari kisah ini dapat diketahui route perjalanannya yaitu dari
selatan ke arah utara. Jika Melayu berlokasi di Jambi, berarti Sriwijaya berada
di sebelah selatan Jambi (Nia Kurnia Sholihat Irfan, 1983 : 22). Dilihat dari
keletakannya pada peta pantai purba Sumatera Timur yang dibuat oleh Obdeyn
tahun 1942, kota Palembang pada masa dulu berada di pinggir pantai dan
terlindung oleh kepulauan Bangka.
Meskipun dari berbagai sumber data tersebut di atas dapat
memberikan gambaran bahwa lokasi pusat kerajaan Sriwijaya berada di palembang
(di sekitar Bukit Seguntang), tetapi belum banyak data arkeologi yang
mendukungnya, kecuali temuan keramik T’ang akhir di situs Bukit Seguntang (Hasn
M. Ambary, 1979 : 1 – 17). Penelitian di situs yang sama pernah juga dilakukan
oleh Bennet Bronson tahun 1976, akan tetapi hasil ekskavasinya menunjukkan umur
antara abad 14 – 17 M. Satu-satunya bangunan yang mungkin dapat dihubungkan
dengan keberadaan kerajaan Sriwijaya adalah candi Muara Takus. Meskipun candi
yang nampak sekarang ini umurnya lebih muda, tetapi di dalamnya terdapat candi
yang lebih tua. Dapat ditambahkan bahwa dari koleksi keramik asing di Museum
Pusat terdapat beberapa wadah yang berasal dari abad V – VIII, semuanya
dikumpulkan dari Lampung (A. Ridho, 1979 : 104 – 118).
Untuk membuktikan kebenaran perkiraan Palembang sebagai
pusat kerajaan Sriwijaya pada abad VII – VIII M, sebenarnya masih diperlukan
data arkeologis yang lebih kuat lagi, baik yang berupa data structural maupun
artefaktual. Kedua jenis data ini sangat penting untuk mengetahui di mana
batas-batas kratonnya, susunan bangunan yang ada di dalam kraton, serta fungsi
masing-masing bangunan, fasilitas-fasilitas penunjangnya baik yang ada di dalam
maupun di luar kraton.