Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Tuesday 2 October 2018

Arsitektur Masa Prasejarah, Klasik, dan Islam




Bukti-bukti mengenai arsitektur masa prasejarah di Indonesia dapat ditunjukkan oleh peninggalan-peninggalan yang berupa bangunan punden berundak, sedang bukti-bukti yang berhubungan dengan pemukiman sampai sekarang masih dipersoalkan. Punden berundak merupakan bangunan yang disusun secara berundak (berteras), fungsinya untuk tempat melakukan upacara pemujaan (punden = tempat memundi = tempat memuja). Bentuk bangunannya berupa teras-teras tanah datar yang disusun berundak-undak makin ke belakang makin tinggi, bagian yang dianggap paling penting dan paling suci terletak paling belakang. Masing-masing teras dibatasi oleh tatanan batu dan pada salah satu sisinya terdapat pintu teras. Di halaman teras biasanya terdapat menhir atau arca, yang merupakan symbol atau perwujudan arwah leluhur. Dari bukti peninggalan ini dapat diketahui bahwa pada waktu melakukan upacara pemujaan diperlukan pemimpin upaca dan anggota (massa).
Pada masa klasik, arsitektur/bangunan keagamaannya berubah dari punden berundak menjadi bangunan candi. Konsep mengenai bangunan candi di Indonesia seperti halnya agamanya, merupakan pengaruh dari India. Unsur-unsur dari India ini terasa berpengaruh sekali pada masa klasik awal (abad VII – X) baik dalam sistem pemerintahan kerajaan, dan dalam hal seni bangunan, seni arca, serta pahatan relief-reliefnya. Dalam hal seni bangunan candi dapat terlihat bentuk profilnya yang masih berpegang pada aturan-aturan seperti yang berlaku di India. Demikian terikatnya pada aturan-aturan tersebut, profil candi pada masa klasik awal nampak menunjukkan tidak adanya perubahan, sehingga sering disebut profil klasik Jawa Tengah. Profil ini menunjukkan susunan bagian-bagian bangunan yang tetap mulai dari kaki sampai atap candi. Susunan tersebut terdiri dari bagian pelipit, ojief atau sisi genta atau bentuk padma, dan half round atau setengah lingkaran. Demikian juga bentuk dan susunan bangunannya yang hampir selalu konsentris. Dalam hal seni arca, penggambaran arcanya betul-betul menunjukkan arca dewa yang naturalis menurut ketentuan atau aturan-aturan yang berlaku di India. Sifat naturalis juga ditampakkan di dalam cara memahat tokoh-tokoh dalam relief cerita. Hal yang lebih penting lagi, yaitu tema cerita pada relief betul-betul menyatu dengan candinya, dalam arti tema cerita tersebut sesuai dengan sifat keagamaan candinya. Relief cerita pada candi yang bersifat Hindu mempunyai tema Hindu, demikian pula dengan candi yang bersifat Buddha memiliki relief cerita yang bersifat Buddha. Dengan kata lain, pada masa klasik awal, antara relief cerita dan candinya seolah-olah tidak dapat dipisahkan.
Lain halnya dengan kehidupan masa klasik muda (abad XI – XIII), ketentuan-ketentuan yang berlaku di India sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan dan mencari atau kembali ke bentuk-bentuk atau nilai-nilai yang asli Indonesia, yang telah dimiliki pada masa sebelumnya. Kecenderungan ini mulai nampak pada sekitar abad X – XI, khususnya pada masa pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur. Pada masa ini muncul sebuah karya sastra Arjunawiwaha karangan mPu Kanwa, yang dilihat dari tema ceritanya menunjukkan hasil karya sastra yang berbeda dengan karya sastra sebelumnya. Karya sastra pada masa-masa sebelumnya lebih banyak berupa terjemahan dari karya sastra di India, misalnya Ramayana dan Mahabharata, tetapi karya sastra Arjunawiwaha memiliki tema cerita Indonesia, meskipun nama-nama tokohnya masih mengadopsi nama-nama tokoh India. Hal lebih menarik lagi yaitu, di dalam kitab Arjunawiwaha itu pada salah satu baitnya menyebut-nyebut adanya pertunjukan wayang kulit. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kesenian wayang kulit mulai muncul atau sedah dikenal pada masa pemerintahan raja Airlangga, dan sekaligus menunjukkan bahwa wayang merupakan kesenian asli milik bangsa Indonesia. Seni pewayangan ini selain diujudkan dalam bentuk pertunjukan, juga diabadikan dalam bentuk relief. Kalau relief-relief cerita pada candi-candi dari masa klasik awal digambarkan secara naturalis, maka pada masa klasik muda digambarkan secara simbolis dalam bentuk kering seperti bentuk wayang kulit. Bentuk relief semacam ini terdapat pada candi-candi di Jawa Timur, antara lain candi Jago dan candi Panataran. Perbedaan yang lainnya nampak dalam hal relief, yaitu relief yang dipahatkan pada candi-candi masa klasik awal ceritanya disesuaikan dengan sifat candinya apakah Hindu atau Buddha, tetapi pada candi-candi di Jawa Timur antara relief cerita Hindu dan Buddha bercampur menjadi satu pada suatu bangunan candi. Oleh karena itu, hanya dengan melihat reliefnya sulit membedakan sefai candinya. Nampaknya memang dapat diakui bahwa pada masa klasik muda telah terjadi sinkritisme (percampuran) antara agama Hindu dan Buddha. Dalam bentuk arsitektur bangunan, percampuran ini nampak pada bangunan candi-candi Singasari dan Kidal, keduanya menunjukkan unsur-unsur bangunan Hindu dan Buddha. Mengenai adanya sinkritisme agama Hindu dan Buddha, sumber sastra kuno menyebutkan bahwa raja Singasari yang terakhir, yaitu kertanegara, setelah meninggal dunia dikatakan pulang ke Siwa-Buddha loka (tempat dewa Siwa dan Buddha). Lebih jelas lagi terlihat pada salah satu bagian dari isi kitab Sutasoma karangan mPu Tantular yang menyebutkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti meskipun agama Hindu dan Buddha itu berbeda tetapi pada hakekatnya sama (satu). Dengan demikian terdapat bukti-bukti bahwa pada masa klasik muda terdapat kecenderungan untuk menampilkan unsure-unsur budaya baru asli Indonesia, di samping terjadinya percampuran antara agama Hindu dan Buddha.
Pada tahap selanjutnya, usaha untuk memunculkan kembali unsur-unsur Indonesia asli semakin nampak menonjol. Susunan bangunan candi yang sebelumnya nampak konsentris, pada masa ini mulai menunjukkan ciri-ciri kembali pada susunan berundak-undak seperti bangunan punden berundak pada masa prasejarah. Munculnya kembali unsur-unsur budaya asli Indonesia ini nampaknya disertai dengan perubahan yang terjadi pada aspek keagamaan. Setelah sekian lama kepercayaan asli bangsa Indonesia, yaitu kepercayaan terhadap arwah leluhur, terdesak oleh pengaruh agama Hindu dan Buddha, pada masa klasik muda kepercayaan asli dimunculkan kembali bercampur dengan kepercayaan Hindu dan Buddha. Munculnya tokoh punokawan pada relief-relief candi diperkirakan berhubungan dengan kepercayaan terhadap arwah leluhur tersebut, dalam arti tokoh punokawan melambangkan arwah leluhur. Demikian juga dalam hal seni arca, bentuk arca yang kaku seperti mayat lebih menunjukkan penggambaran arwah leluhur daripada arca dewa yang sesungguhnya.
Apabila pada masa prasejarah arsitektur yang berhubungan dengan pemukiman masih belum diketahui secara pasti, maka pada masa klasik rekonstruksi arsitektur semacam ini sudah dapat ditunjukkan, misalnya kota Sriwijaya dan kota majapahit. Meskipun demikian, karena bukti-bukti mengenai kedua kota tersebut masih sangat sedikit dan terbatas, maka rekonstruksinya lebih banyak mendasarkan pada konsep-konsep yang kebenarannya masih menunggu bukti-bukti lebih lanjut. Sebagai gambaran, misalnya rekonstruksi kota Sriwijaya di Sumatera. Sebelum membicarakan masalah kota Sriwijaya ada baiknya mengetahui terlebih dahulu teori-teori tentang asal-usul kota. Untuk memberikan gambaran secara singkat mengenai asal-usul kota, pada bagian ini hanya akan diuraikan beberapa teori, antara lain yang dikemukakan oleh Karl Wittfogel (1957), Robert Adams (1965 – 1966) dan Robert Carneiro (1970).
Di dalam teorinya yang dikenal dengan nama Managerial; hidraulic agriculture, Wittfogel mengatakan bahwa yang menjadi prime mover timbulnya suatu kota adalah dikenalnya sistem irigasi pada pertanian hidraulik. Selanjutnya dikemukakan bahwa dengan adanya sistem irigasi tersebut menuntut adanya suatu organisasi yang mengatur dan mengelola pekerjaan tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena banyak jenis pekerjaan yang harus ditangani, misalnya pengaturan waktu pengairan, perencanaan irigasi, koordinasi tenaga dan lain-lainnya, yang pada akhirnya akan menimbulkan kepemimpinan yang bermacam. Dengan adanya organisasi ini, produktivitas pertanian menjadi stabil dan akan membawa kesejahteraan. Kondisi inilah yang akhirnya dapat memberikan kesempatan timbulnya suatu kota. Untuk membuktikan teorinya itu, Wittfogel menunjuk beberapa contoh kota kuno yang berada di pinggir sungai, misalnya di Mesir (Sungai Nil), di Mesopotamia (Sungai Euphrat dan Tigris).
Teori Wittfogel ini ditentang oleh Adams dan Carneiro, dengan alasan antara lain, pertama, tidak semua kota kuno muncul/berada di daerah yang mempunyai sistem irigasi yang memadai, misalnya kota Maya. Kedua, Irigasi dalam skala besar di Mesopotamia dan Meksiko misalnya, baru dilaksanakan setelah kota tersebut terbentuk.
Selanjutnya Adams mengajukan suatu teori yang disebut Multivariant Causality. Sesuai dengan judul teorinya, Adams mengatakan bahwa munculnya suatu kota disebabkan oleh banyak variable yang saling berhubungan satu sama lain. Dikatakan bahwa kota merupakan suatu sistem yang kompleks, dan kompleksitas tersebut dapat terlihat pada adanya segregasi dan sentralisasi.
Teori Circumscribed population growth kemudian diajukan oleh Carneiro. Dikatakan bahwa munculnya kota disebabkan oleh karena penduduk dan terbatasnya wilayah. Kondisi tersebut di atas akan menimbulkan adanya perang, perang akan menimbulkan kooperasi, kompetisi, pertahanan bersama dan pada akhirnya pemerintahan kota lah yang dapat mendamaikan.
Dari beberapa teori tersebut di atas jelas bahwa untuk menentukan variabel-variabel yang digunakan sebagai prime mover timbulnya kota pada setiap kasus dan tempat tidak sama. Variabel-variabel yang berbeda tersebut akan mempengaruhi juga sifat-sifat kotanya.
Lepas dari teori tersebut di atas, dapat diakui bahwa kota merupakan hasil perkembangan bentuk pemukiman. Suatu bentuk pemukiman dapat disebut kota apabila memiliki kriteria-kriteria tertentu. Akan tetapi, untuk menentukan criteria-kriteria tersebut sangatlah tidak mudah, sehingga sering menimbulkan perbedaan pendapat. Dalam hal ini dapat dikemukakan pendapat Gordon Childe di dalam mengajukan kriteria-kriteria tersebut:
1.         Ukuran kota lebih luas dan jumlah penduduk lebih padat jika dibandingkan dengan pemukiman sebelumnya.
2.         Komposisi dan fungsi penduduk kota sudah berbeda dengan penduduk desa.
3.         Produser-produser primer harus membayar pajak kepada raja.
4.         Adanya monumental public building.
5.         Adanya kelas-kelas penguasa (pendeta, pemimpin-pemimpin sipil, militer dan pegawai).
6.         Telah dikenal tulisan.
7.         Telah dikenal pencatatan (administrasi).
8.         Banyak spesialis antara lain artis, tukang, pengrajin, pemahat.
9.         Mengenal perdagangan jarak jauh.
10.     Banyak ahli.
Meskipun kriteria-kriteria ini bukan merupakan ketentuan yang berlaku mutlak, akan tetapi apa yang diajukan pleh Gordon Childe ini dapat memberikan gambaran mengenai pengertian kota kuno (awal).
Di dalam terbitan EFEO, VIII, th 1989 oleh Pierre-Yves Manguin telah disusun daftar bibliografi yang berhubungan dengan studi tentang Sriwijaya. Dari daftar bibliografi tersebut dapat diketahui bahwa hampir seluruh aspek kehidupan yang berhubungan dengan Sriwijaya telah mendapatkan porsi perhatian yang menarik dari para penulis untuk diungkapkan, termasuk tulisan yang membahas Sriwijaya sebagai situs perkotaan (urban archaeology). Melihat bahwa daftar bibliografi tersebut sudah sedemikian lengkapnya, maka apa yang akan diuraikan di dalam bagian ini mungkin akan lebih banyak pengulangan dari apa yang sudah pernah disajikan sebelumnya.
Semenjak ditemukannya prasasti Kota Kapur pada tahun 1892, nama Sriwijaya mulai muncul di panggung Sejarah Nusantara. Mula-mula H. Kern menganggap bahwa nama Sriwijaya adalah nama raja (Kern, 1913: 393 – 400), tetapi lima tahun kemudian anggapan Kern tersebut diralat oleh G. Coedes. Dari hasil penelitiannya yang kemudian dituangkan dalam tulisannya Le Royaume de Sriwijaya, Coedes menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kota Sriwijaya bukan nama raja, tetapi nama kedatuan atau kerajaan (Coedes, 1918 : 1 – 36). Bukti-bukti tersebut antara lain termuat di dalam prasasti Kota Kapur itu sendiri, tahun 684 M, prasasti Ligor 775 M, prasasti Raja-Raja I 1006 M dan prasasti Rajendracola 1025 M. Nama kerajaan Sriwijaya inilah yang kemudian di dalam berita Cina dikenal dengan sebutan Shih-li-fo-shih, dan yang di dalam berita Arab disebut Syarbazah atau Sribuza (Reinaud, 1845). Dari sejumlah data yang berhasil dikumpulkan baik data artefaktual, structural, tekstual (prasasti dan berita asing), dan bahkan data geografi, dapat diakui bahwa kerjaan Sriwijaya berada di Sumatera. Ada beberapa pendapat yang menganggap bukan di Sumatera, periksa Moens, 1937: 334 – 340, Quaritch Wales, 1935: 1 – 31.
Sebagai suatu kerajaan, selain memiliki ibu kota atau pusat kerjaan, Sriwijaya juga memiliki daerah wilayah kekuasaan, dan mempunyai hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Apabila ibu kota kerjaan merupakan pusat pemerintahan kerajaan, maka daerah wilayah kekuasaannya lebih peranannya sebagai penyangga perekonomian pusat kerajaan tersebut, sekaligus sebagai pelindung dari ancaman-ancaman yang datang dari luar, terutama dari kerajaan-kerajaan tetangga. Sebaliknya kerajaan-kerajaan tetangga tersebut selain dapat dianggap sebagai ancaman, juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan baik ekonomi, politik maupun social budaya, dengan saling mengadakan hubungan.
Mengenai kerajaan-kerajaan tetangga Sriwijaya dapat diketahui dari sumber prasasti dan berita Cina. Di dalam prasasti Kota Kapur disebutkan nama Bhumijawa yaitu nama suatu tempat (kerajaan) yang telah berhasil ditaklukkannya. Namun di mana lokasi Bhumijawa ini sampai sekarang belum dapat dipastikan, apakah di Jawa atau di Sumatera. Kerajaan-kerajaan tetangga lainnya dapat diketahui dari berita Cina antara lain dari I-tsing. Di dalam berita itu antara lain disebutkan nama-nama : Holing, To’po-teng, Pa-lusbih (po-lu-sa), Mo-lo-yeou, Yeh-po-ti, To-lang-po-hwang dan Ho-lo-tan. Nama-nama tersebut sudah berhasil ditransliterasikan ke dalam bahasa Indonesia dan beberapa diantaranya sudah dapat diperkirakan lokasinya.
Holing yang juga disebut She-po diidentifikasikan sebagai kerajaan Kalingga yang ada di Jawa (Mayers, 1875 : 173 – 190), To’po-teng  diperkirakan sama dengan Baras di Sumatera Utara (Kern, 1917 : 216), Mo-lo-yeou diperkirakan sama dengan Melayu (Sumatera), Yeh-po-ti diperkirakan sama dengan Jawadwipa (Groeneveldt, 1960 : 15), To-lang-po-hwang diperkirakan sama dengan Tulang Bawang di daerah Lampung (Ferrand, 1918 : 477), dan Ho-lo-tan diperkirakan sama dengan Sruteun di Jawa Barat, pusat kerajaan Tarumanegara (To-lo-mo) (Nia Kurnia Sholihat Irfan, 1983 : 40 – 41), Nama-nama kerajaan tersebut di atas tercantum di dalam daftar nama kerajaan yang pernah mengirimkan utusannya ke Cina. Dari berita tersebut dapat diketahui bahwa kerajaan-kerajaan tersebut keberadaannya sebelum kerajaan Sriwijaya. Bagaimana hubungan diantara kerajaan-kerajaan tersebut tidak diketahui secara jelas, tetapi yamg jelas berita I-tsing menyebutkan bahwa pada suatu saat kurang lebih tanhun 671 – 672 M, kerajaan Melayu telah menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya (Wolters, 1965 : 209). Ini berarti dalam daerah wilayah kekuasaan Sriwijaya pada saat itu sudah meliputi kerajaan Melayu. Meskipun kerajaan Melayu tersebut sudah dapat diketahui berada di Sumatera, tetapi lokasi tepatnya masih dipertanyakan. G. P. Rouffaer memperkirakan Melayu terletak di Jambi sekarang (Rouffaer, 1921 : 11 – 19). Salah satu bukti yang dapat menunjukkan batas wilayah kekuasaan Sriwijaya adalah prasasti Kota Kapur. Di dalam prasasti itu disebutkan bahwa prasasti itu ditulis di batas kerajaan Sriwijaya dengan Bhumijawa.
Prasasti-prasasti lain dari kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di berbagai tempat, hanya dapat memberikan gambaran bahwa daerah-daerah tempat keberadaan temuan prasasti tersebut diperkirakan masih termasuk di wilayah kekuasaan Sriwijaya, belum dapat dipastikan sebagai tanda batas kewilayahan. Seperti diketahui di Sumatera telah ditemukan beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja Sriwijaya. Prasasti-prasasti tersebut ditemukan di beberapa tempat di daerah Palembang, di daerah Lampung Selatan dan Lampung Utara, di pulau Bangka dan di daerah Jambi.
Di daerah Palembang ditemukan tiga buah prasasti, yaitu prasasti Kedukan Bukit bertarikh 604 Saka atau 682 M, prasasti Talang Tuwo, 606 S (684 M) dan prasasti Telaga Batu. Di daerah Lampung Utara ditemukan prasasti Bawang dan di Lampung Selatan ditemukan prasasti Palas Pasemah (Boechari, 1979 : 18 – 37; Berita Penemuan Arkeologi; No. 2, 1976). Sebuah prasasti ditemukan di Bangka yaitu prasasti Kota Kapur, 608 S (686 M), dan sebuah lagi ditemukan di daerah Jambi yaitu prasasti Karang Berahi. Di samping itu di luar pulau Sumatera yaitu di Malaysia juga pernah ditemukan sebuah prasasti yang menyebut-nyebut kerajaan Sriwijaya yaitu prasasti Ligor, 697 S (775 M) (Bosch, 1941 : 26 – 38).
Dilihat dari persebaran prasasti-prasastinya, maka dapat diperkirakan bahwa wilayah kekuasaan kerajaan Sriwijaya meliputi daerah-daerah Lampung di sebelah selatan, kepulauan Bangka di timur, Jambi di utara (bahkan mungkin Semenanjung Malaya) dan daerah Palembang di tengahnya. Dari kenyataan tersebut kemudian timbul pertanyaan di manakah diantara daerah-daerah tersebut yang digunakan sebagai pusat kerajaannya?.
Meskipun telah diyakini benar bahwa Sriwijaya merupakan sebuah kota yang sudah ada pada abad VII – VIII M, akan tetapi agaknya masih terlalu dini untuk merekonstruksi kota tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena masih terlalu sedikitnya data yang dapat dipakai untuk tujuan rekonstruksi tersebut. Yang sekarang ada lebih banyak digunakan untuk rekonstruksi sejarahnya daripada kotanya.
Berbicara mengenai Sriwijaya sebagai ibu kota kerajaan, pikiran kita akan diarahkan pada peninggalan-peninggalan arkeologis yang monumental. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Peninggalan arkeologis yang berasal dari masa itu sangat tidak sesuai dengan keagungan dan kejayaan kerajaan tersebut seperti yang disebutkan di dalam sumber-sumber prasasti dan berita asing. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena peninggalan-peninggalan arkeologis tersebut sudah mengalami kehancuran atau mungkin belum ditemukan. Bahkan karena terlalu sedikitnya data arkeologis yang ditemukan, lokasi ibu kotanya saja sampai sekarang masih dipertanyakan. Itulah sebabnya mengapa kemudian timbul beberapa pendapat mengenai lokasi ibu kota atau pusat kerajaan Sriwijaya tersebut.
Ada sekelompok sarjana yang berpendapat bahwa ibu kota kerajaan Sriwijaya berada di Palembang (Nilakanta Sastri, 1949 : 35; Wolters, 1967 : 208; Coedes, 1968 : 92; Boechari, 1979 : 18 – 37). Pendapat ini tidak disetujui oleh Soekmono, yang mengatakan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya harus dicari di Jambi (Soekmono, 1958 : 251). Bahkan ada sekelompok sarjana yang berpendapat di Kelantan (Malaysia) (Moens, 1937) dan di Chaiya (Thailand) (Quaritch Wales, 1935; Subhadradis Diskul, 1979). Pendapat-pendapat tersebut lebih mendasarkan pada data epigrafi, berita asing, penelitian geomorfologi dan gaya seni arca, tetapi belum didukung oleh data arkeologis seperti artefak dan bangunan.
Beberapa penjelasan perlu ditambahkan untuk memecahkan masalah lokasi pusat kerajaan Sriwijaya tersebut. Di dalam menggunakan data prasasti, ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai isi dan persebarannya.
Lokasi temuan prasasti menunjukkan “pola sebaran” di Lampung untuk bagian selatan, di pulau Bangka untuk bagian timur, di Jambi untuk bagian Utara dan di Palembang untuk bagian tengah. Akan lenarik lagi bila “pola sebaran” ini dihubungkan dengan isi masing-masing prasastinya. Dua buah prasasti yang ditemukan di daerah Lampung, selaiin berisi pujian terhadap para dewa, juga sumpah atau kutukan kepada orang-orang yang tidak taat kepada raja, serta berkah dan anugerah untuk yang taat kepada raja (Boechari, 1979 : 18 – 37). Sumpah atau kutukan di dalam suatu prasasti dapat dianggap sebagai indicator bahwa daerah tempat dikeluarkannya prasasti tersebut berada di luar pusat kerajaan. Gambaran mengenai status daerah ini lebih diperjelas lagi dengan adanya kenyataan bahwa di dalam prasasti Palas Pasemah digunakan dua dialek, yang dapat menunjukkan adanya perbedaan bahasa yang digunakan pusat kerajaan.
Prasasti lain yang berisis sumpah atau kutukan yaitu prasasti Kota Kapur, prasasti Telaga Batu dan prasasti Karang Berahi. Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di pulau Bangka pernah diteliti oleh H. Kern dan dipublikasikan di dalam BKI, 67, 1913. Bahwa pulau Bangka bukan pusat kerajaan Sriwijaya dapat ditunjukkan di dalam bagian prasasti Kota Kapur, yang menyebutkan bahwa prasasti itu ditulis di batasnya kerajaan Sriwijaya dan Bhumijawa. Dengan demikian pulau Bangka dapat dianggap sebagai batas wilayah bagian timur. Mungkin sama halnya dengan prasasti Karang Berahi yang ditemukan di Jambi (Krom, 1920 : 426) dapat dianggap sebagai batas wilayah bagian utara. Demikian juga dengan prasasti Telaga Batu di Palembang (de Casparis, 1956 : 15 – 46), yang nampaknya ditempatkan di luar pusat kerajaan Sriwijaya.
Dua buah prasasti yang lain, yang ditemukan di daerah Palembang yaitu prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuwo memiliki isi yang berbeda karakter dengan prasasti-prasasti yang telah disebutkan di muka. Prasasti Kedukan Bukit yang ditulis pada tahun 604 S (682 M) berisi tentang keberhasilan perjalanan raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Ronkel, 1924 : 12 – 21). Cerita tentang perjalanan ini kemudian diabadikan di dalam prasasti tersebut. Ini berarti bahwa prasasti ini dikeluarkan setelah perjalanan itu selesai dilakukan, dan diperkirakan setelah Dapunta Hyang tiba kembali di pusat kerajaannya. Jika demikian maka ada kemungkinan prasasti itu dibuat di ibukota kerajaan.
Berbeda dengan prasasti Kedukan Bukit, prasasti Talang Tuwo yang bertarikh 606 S (684 M) berisi tentang pembuatan sebuah taman bernama Sri Ksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga (Ronkel, Ibid). Secara fungsional, taman mempunyai hubungan dengan kraton, dalam pengertian sebagai kelengkapan suatu kraton. Dengan melihat adanya hubungan fungsi ini maka taman biasanya dibangun pada suatu tempat yang lokasinya berdekatan dengan kraton (pusat kerajaan). Selaiin tahun pembuatannya hanya berselisih dua tahun, kedua prasasti tersebut (Kedukan Bukit dan Talang Tuwo) letaknya sama-sama berada di daerah Bukit Seguntang. Dengan demikian dari sumber prasasti dapat diasumsikan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya berada di sekitar daerah Bukit Seguntang, Palembang.
Asumsi mengenai pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang diperkuat oleh berita I-tsing yang menceritakan kisah perjalanannya (pelayarannya) dari Kanton menuju ke Sriwijaya pada tahun 671 M. Di Sriwijaya dia tinggal selama 6 bulan kemudian ke Melayu dan tinggal di Melayu selama 2 bulan, dari Melayu kemudian meneruskan pelayarannya ke Kedah. Dari Kedah kemudian meneruskan perjalanannya ke utara sampai di kepulauan Orang Telanjang (Nikobar). Dari kisah ini dapat diketahui route perjalanannya yaitu dari selatan ke arah utara. Jika Melayu berlokasi di Jambi, berarti Sriwijaya berada di sebelah selatan Jambi (Nia Kurnia Sholihat Irfan, 1983 : 22). Dilihat dari keletakannya pada peta pantai purba Sumatera Timur yang dibuat oleh Obdeyn tahun 1942, kota Palembang pada masa dulu berada di pinggir pantai dan terlindung oleh kepulauan Bangka.
Meskipun dari berbagai sumber data tersebut di atas dapat memberikan gambaran bahwa lokasi pusat kerajaan Sriwijaya berada di palembang (di sekitar Bukit Seguntang), tetapi belum banyak data arkeologi yang mendukungnya, kecuali temuan keramik T’ang akhir di situs Bukit Seguntang (Hasn M. Ambary, 1979 : 1 – 17). Penelitian di situs yang sama pernah juga dilakukan oleh Bennet Bronson tahun 1976, akan tetapi hasil ekskavasinya menunjukkan umur antara abad 14 – 17 M. Satu-satunya bangunan yang mungkin dapat dihubungkan dengan keberadaan kerajaan Sriwijaya adalah candi Muara Takus. Meskipun candi yang nampak sekarang ini umurnya lebih muda, tetapi di dalamnya terdapat candi yang lebih tua. Dapat ditambahkan bahwa dari koleksi keramik asing di Museum Pusat terdapat beberapa wadah yang berasal dari abad V – VIII, semuanya dikumpulkan dari Lampung (A. Ridho, 1979 : 104 – 118).
Untuk membuktikan kebenaran perkiraan Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya pada abad VII – VIII M, sebenarnya masih diperlukan data arkeologis yang lebih kuat lagi, baik yang berupa data structural maupun artefaktual. Kedua jenis data ini sangat penting untuk mengetahui di mana batas-batas kratonnya, susunan bangunan yang ada di dalam kraton, serta fungsi masing-masing bangunan, fasilitas-fasilitas penunjangnya baik yang ada di dalam maupun di luar kraton.

Arkeologi dan Arsitektur terhadap Dimensi Waktu, Ruang dan Bentuk




Sejak Thomson memperkenalkan sistem penzamanan (three age system) terhadap barang-barang koleksi museum Nasional di Copenhagen pada tahun 1819, dunia arkeologi mulai memalingkan perhatiannya pada penyusunan artefak (ordering of artifacts) berdasarkan perbedaan waktu. Karena perbedaan waktu maka terjadi perbedaan jenis-jenis artefak, sedang jenis-jenis artefak tersebut dapat menunjukkan kebudayaan. Ini berarti bahwa perubahan kebudayaan dapat terjadi karena perbedaan waktu. Munculnya kesadaran ini telah memperluas cakrawala arkeologi, yang pada masa sebelumnya hanya melihat faktor ruang saja yang menyebabkan perbedaan kebudayaan.
Menjelang akhir abad 19, banyak ahli mulai mempelajari evolusi artefak. Mereka percaya bahwa seperti halnya makhluk hidup, artefak pun mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Sejak saat itu istilah tipologi mulai digunakan dengan pengertian bahwa perbedaan tipe alat menunjukkan perbedaan waktu. Seorang ahli peradaban Mesir, Sir Flinders Petrie pada tahun 1902 telah berusaha menyusun secara kronologis sejumlah kubur di lembah Sungai Nil dengan menggunakan data berupa tempayan-tempayan sebagai bekal kuburnya. Dia beranggapan bahwa perbedaan-perbedaan gaya pada tempayan-tempayan bekal kubur tersebut menunjukkan perubahan secara gradual. Dengan mengamati perbedaan-perbedaan tersebut akan diketahui sekuensi (urutan waktu) masing-masing tempayannya atau kuburnya. Studi tipologi ini kemudian menjadi sangat popular di dunia arkeologi. Di dalam perkembangannya kemudian muncul studi seriasi yang digunakan untuk penentuan kronologi. Prinsip di dalam seriasi yaitu bahwa tipe dan gaya sesuatu akan mengalami proses : muncul, berkembang, memuncak, menurun dan akhirnya hilang. Tipe dan gaya yang hilang itu akan digantikan tipe dan gaya yang lain, yang telah muncul sebelum tipe dan gaya yang digantikan hilang, demikian seterusnya. Sengan menyusun secara serial tipe dan gaya artefak akan diketahui kronologinya (Deetz, 1967). Selaiin dipengaruhi oleh faktor waktu, perbedaan-perbedaan artefak atau kebudayaan juga terjadi karena faktor ruang. Bahwa antara masyarakat pedalaman dan masyarakat pantai, antara suku Jawa dan suku Irian, antara bangsa Indonesia dan bangsa Amerika Serikat mempunyai kebudayaan yang berbeda, disebabkan oleh karena perbedaan ruang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara bentuk, ruang dan waktu (form, space and time) mempunyai hubungan yang erat, dalam arti bahwa perbedaan bentuk tidak dapat lepas dari perbedaan ruang dan waktu.
Dalam bidang arsitektur pun nampaknya pandangan terhadap dimensi bentuk, ruang dan waktu sama dengan pandangan dalam arkeologi. Perbedaannya mungkin terletak pada prosedurnya. Arkeologi melihat pada objek-objek dari masa lampau di dalam perkembangannya sampai sekarang, sedangkan arsitektur melihat pada objek-objek masa sekarang sebagai hasil perkembangan dari masa lampau dan yang perlu dikembangkan di masa-masa mendatang. Lepas dari perbedaan tersebut di atas, karena arsitektur itu berhubungan dengan pemanfaataan ruang untuk berbagai kepentingan, maka pertimbangan ruang dan waktu perlu diperhitungkan. Ini berarti bahwa bentuk-bentuk arsitektur, secara mikro dan makro harus disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktunya. Bentuk-bentuk arsitektur pada suatu tempat dan waktu tertentu akan berbeda dengan bentuk-bentuk pada tempat dan waktu yang berbeda. Yang menjadi pusat perhatian baik bagi arkeolog maupun arsitektur, yaitu untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan perubahan-perubahan tersebut sebagai akibat dari perbedaan ruang dan waktu. Diperkirakan bahwa faktor-faktor lingkungan, ekonomi, politik dan adat tradisi dapat berpengaruh terhadap perubahan-perubahan tersebut.