A.
Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar: Mahasiswa mampu memahami ruang lingkup dan perlunya
arkeologi
B.
Peta Konsep
ARKEOLOGI
Mempelajari tentang
Jenis Fungsional


TEKNOFAK SOSIOFAK IDEOFAK
Sumber data dari
MENTIFAK
merekonstruksi
PERADABAN
ISLAM
mengetahui
KEBERAGAMAAN
C.
Serambi/Senarai/Current
Issues
w
QS
Yusuf 111,
لقد كان فى قصصهم عبرة لأولى الألباب
“Sungguh dalam kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang berpikir”
w
Bukti-bukti
akan kebesaran dan kemajuan peradaban Islam di muka dunia ini semua orang tidak
meragukannya. Berratus bahkan berribu buku-buku Sejarah Peradaban Islam telah
banyak ditulis dan silih berganti menceritakanya. Seringkali kita tidak atau
mungkin belum menyadari bahwa kebesaran Sejarah Islam tersebut seolah seperti
sebuah dogeng. Maka akan lebih lengkap lagi jika “cerita” sejarah tersebut
diuraikan dengan menggunakan keberadaan bukti-bukti fisik historis peradaban
tersebut sebagai bukti nyata adanya peradaban itu. Untuk itulah maka perlunya
Arkeologi untuk mengungkapkan Peradaban Islam dengan menggunakan benda-benda
materialistik sebagai objek dan sumbernya.
w
Kasus
“penghancuran” gedung-gedung IAIN bisa dilihat sebagai penghilangan secara
sistematis terhadap fakta-fakta artefaktual tentang keberadaan IAIN Sunan
Kalijaga berkaitan dengan proses perubahan sejarah pendidikan Islam di
Indonesia. Kasus ini bisa menjadi satu contoh “ketidakpedulian” pada
bukti-bukti fisik peradaban Islam di kampus kita dan hancurnya bukti fisik
sejarah UIN Sunan Kalijaga pada waktu lampau.
D.
Materi Pokok
1.
Definisi Arkeologi
Sebagai
suatu disiplin ilmu, arkeologi dapat didefinisikan dengan cara dan dalam
pengertian yang bermacam-macam. Cara pandang dan titik penekanan permasalahan
yang berbeda-beda terhadap ilmu ini pada akhirnya menghasilkan pengertian yang
berbeda pula. Perbedaan cara pandang dan titik tekan ini sejalan dengan sejarah
perkembangan arkeologi dari awal sampai menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Kata
arkeologi mulanya digunakan untuk sesuatu pengertian yang berhubungan dengan
sejarah kuno pada umumnya. Dalam definisi ini berarti bahwa arkeologi memiliki isi yang berhubungan
dengan kumpulan naskah-naskah kuno. Definisi inilah yang tampaknya mendasari
pandangan Stuart Piggot di dalam bukunya yang berjudul Approach to
Archaeology yang mengatakan bahwa arkeologi adalah cabang ilmu sejarah.
Dalam
bukunya The Origins and Growth of Archaeology, Glyn Daniel (Glyn
Daniel, 1976:5) memberikan
definisi arkeologi sebagai … the study of the things man made and did, in
order that their whole way of life may be understood. Apa yang dikemukakan
Daniel ini didukung pula oleh Robert J. Braidwood dalam bukunya Archaeologist
and What They Do. Dikatakan oleh Braidwood arkeologi adalah ilmu yang
mempelajari artefak-artefak dan tingkah laku manusia dengan tujuan untuk
mengetahui seluruh cara hidupnya. Dengan definisi ini maka seorang arkeolog
akan memusatkan perhatiannya pada benda-benda buatan manusia dalam usahanya
merekonstruksi cara hidup manusia masa lampau (Braidwood,
1960, cf. Clark. 1960).
Dari dua rumusan ini saja telah dapat dilihat adanya perbedaan titik pandang
(perhatian) terhadap tujuan penelitian arkeologi yang tentunya membawa akibat
perbedaan cara pendekatannya.
Terlepas
dari perbedaan tersebut di atas dapatlah kiranya diusulkan bahwa secara umum
arkeologi berarti ilmu yang berhubungan dengan kekunoan (archaios =
kuno, tua, lama, masa lampau; logos = ilmu diskusi, discourse). “Kekunoan” ini mempunyai pengertian yang sangat luas
dapat berhubungan dengan manusianya, hasil-hasil karyanya, dan lingkungan
hidupnya. Kekunoan berhubungan dengan manusia dan kebudayaan yang sudah
berlalu. Karenanya arkeologi dapat diartikan ilmu yang mempelajari
peninggalan-peninggalan manusia masa lalu dengan tujuan untuk merekonstruksi
kehidupan manusianya (Willey dan Sabloff, 1974:
11-12). Rekonstruksi kehidupan manusia masa lalu
tersebut dapat diarahkan pada usaha untuk mengetahui kronologinya, menerangkan
peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau mengetahui proses perubahan
kebudayaannya. Dengan
pengertian seperti tersebut di atas maka arkeologi sebagai suatu disiplin yang
disebutkan terakhir juga berhubungan dengan masa lampau. Baik sejarah maupun
antropologi, keduanya memusatkan perhatiannya pada usaha merunut
peristiwa-peristiwa masa lalu berserta eksplanasinya demikian pula halnya
dengan arekologi.
Meskipun arkeologi berhubungan erat dengan sejarah tetapi
tidak berarti bahwa ilmu ini sama dengan atau cabang dari sejarah. Antara
arkeologi dan sejarah terdapat perbedaan yang mendasar bukan karena perbedaan
filosofisnya tetapi terutama perbedaan di dalam metode yang digunakannya.
Perbedaan di dalam metode ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan di dalam
hal data yang digunakan. Di dalam menyusun dan menyajikan masa lampau tersebut
sejarah lebih mengandalkan pada tekstual sebagai bahan referensinya sedangkan
arkeologi lebih menggantungkan pada peninggalan-peninggalan material. Karenanya
metode dan teknik perolehan dan pengolahan data untuk kedua ilmu tersebut jelas
berbeda.
Arkeologi juga berhubungan dengan antropologi karena
antropologi pada dasarnya merupakan suatu ilmu yang komparatif dan
generalisasi. Dalam tata kerjanya antropologi memulai dengan masyarakat
partikular dengan kebudayaannya. Lewat generalisasi seorang antropolog akan
dapat menjelaskan (eksplanasi) tentang terjadinya suatu kebudayaan,
bentuk-bentuk masyarakat, dan perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu
kebudayaan.
2.
Sejarah disiplin ilmu
arkeologi
Ilmu
ini sebenarnya dimulai dari adanya rasa/keinginan dari sekelompok benda-benda
kuno (antik) yang dianggap memiliki nilai seni tinggi. Awalnya benda-benda tersebut
diperoleh dari tangan ke tangan saja, karena permintaan yang tinggi maka muncul
upaya pencarian benda secara lebih ke sumber/tempat-tempat benda antik tersebut
banyak didapatkan. Dari sinilah muncul penggalian-penggalian (ekskavasi) pada
situs-situs arkeologi. Ini sudah dilakukan sejak abad VI SM oleh Delshalti
Namer, puteri mahkota Nabonidus (Raja Babilonia akhir) di kota
Ur.
Sejalan
dengan kesenangan mengumpulkan barang ini muncul pula kelompok-kelompok yang
tertarik untuk mengetahui kehidupan masyarakat bangsa lain yang memiliki adat
dan tatacara yang dianggap sangat karakteristik berbeda dengan adat yang mereka
punyai. Dalam hal ini Herodotus dari Yunani merupakan satu tokoh yang
memelopori dengan observasinya pada suku-suku bangsa (etnografis) dan data adat
kebiasaan bangsa Mesir Kuno, Scythia, Yunani, dan Persia. Dari data yang diperolehnya
disusunlah kategori barbarian, savagery, dan civilized. Karena itu pula Herodotus disebut sebagai bapak ilmu
antropologi dan sejarah.
Usaha serupa juga dilakukan oleh Megasthenes pada abad II
SM. Penelitian yang dilakukannya terhadap suku bangsa India menghasilkan
kumpulan data tentang adat istiadat, kepercayaan, juga kondisi geografis, flora
dan faunanya. Herodotus maupun Megasthenes merupakan
penulis-penulis klasik yang karya-karyanya lebih bersifat antropologis dan
etnografis.
Dari
pengalaman dan penelitian semacam ini kemudian memunculkan kesadaran akan adana perbedaan kebudayaan
dan agama di antara suku-suku bangsa di dunia dilihat dari dimensi waktu dan ruangnya.
Selanjutnya menimbuilkan kecenderungan cendekiawan Eropa untuk mengamati
faktor-faktor penyebab munculnya perbedaan tersebut. Abad V – XII M,
cendekiawan Eropa memusatkan perhatiannya pada perbedaan agama dibandingkan
perbedaan kebudayaan secara umum. Baru pada abad XII M perhatian orang-orang
Eropa mulai menaruh perhatiannya untuk mengumpulkan informasi etnografis beberapa suku bangsa
dari luar Eropa.
Giovanni,
Willem van Rubrock dan Piandel Carpini adalah orang-orang yang mengawali
mengumpulkan data etnografis suku bangsa Mongolia Kuno. Marcopolo berhasil
mengumpulkan informasi penting tentang Kublai Khan. Dari kumpulan data tersebut
Roger Bacon (±
1214-1292) telah menyimpulkan bahwa adanya perbedaan adat istiadat di antara
suku-suku bangsa di dunia ini disebabkan oleh faktor astrologis yaitu pengaruh
planet-planet di ruang angkasa (Rowe, 1965: 6-8). Dengan
demikian sampai abad XIII M, arkeologi belum dapat diformulasikan sebagai satu
disiplin ilmu.
Baru seudah abad XIII (masa Renaisance) disiplin
arkeologi mulai menunjukkan identitasnya. Pada masa ini para cendekiawan mulai
melihat adanya wacana yang lebih luas dibandingkan masa-masa sebelumnya. Mereka
tidak lagi hanya sensitif terhadap perbedaan-perbedaan kebudayaan yang
disebabkan oleh perbedaan ruang, tetapi sudah mulai menekankan pada perbedaan
yang disebabkan oleh karena faktor waktu. Mereka tidak hanya mempelajari adat
istiadat dan institusi bangsa Romawi, Latin, dan Yunani, tetapi juga
mempelajari monumen-monumen kuno yang ada di kota-kota tersebut.
Tokoh pertama yang dapat disebutkan yaitu Francesco
Petrarca (1304-1374). Dia melihat kebudayaan kuno bangsa Romawi lewat
penelitian naskah-naskah kuno. Usaha ini didukung oleh Giovanni Baccaccio yang memberikan gambaran
lebih lengkap mengenai kebudayaan Romawi tersebut dan kemudian lebih
disempurnakan oleh Giovanni Dondi (1318-1389), seorang dokter dan insinyur
mesin, dengan observasi sistematis terhadap peninggalan-peninggalan arkeologis
yang berupa monumen.
Seiring
dengan pertambahan data-data baru, kemudian Ciriaco de Pizzicolli (1392-1462)
dan Brando Flavio (1392-1462) meletakan dasar-dasar yang lebih kuat terhadap
munculnya disiplin arkeologi. Pizzicolli melakukan penelitian terhadap
prasasti-prasasti Latin dan monumen-monumen di Ancona Italia Tengah dan
ternyata dapat diketahui bahwa kedua jenis sumber data tersebut saling
melengkapi, sehingga harus digunakan bersama-sama dan tak dapat dipisahkan.
Sisa hidupnya dihabiskan untuk mempelajari monumen-monumen kuno, parasasti, dan
seni pahat di Italia, Yunani, Turki, dan Mesir.
Flavio juga melakukan studi kebudayaan Romawi Kuno secara
sistematis. Tulisan yang berjudul Rome Restored and Rome Triumphant merupakan
karya besarnya. Tulisan ini selain bersifat monografi arkeologis, juga memuat
hasil studinya tentang agama, pemerintahan, organisasi militer, dan adat
istiadat bangsa Romawi Kuno (Rowe,
1965:11). Meski belum jelas perbedaan arkeologi dengan
ilmu sejarah dan antropologi, akan tetapi pandangan yang muncul pada masa ini
sudah dapat dianggap sebagai benih dari disiplin arkeologi. Konsepsi tentang
perbedaan kebudayaan dalam waktu telah diperluas dengan perbedaan kebudayaan
dalam geografi (Willey dan Sabloff, 1974:
12).
Menjelang abad XVI M (pasca Renaisance) telah terjadi
perkembangan yang sangat berarti di dalam bidang arkeologi. Dua aliran dapat
dilihat pada masa ini, di mana satu aliran melakukan kegiatannya dengan
menggunakan benda-benda arkeologis setempat (local antiquaries), dan
aliran yang lainnya memanfaatkan temuan-temuan arkeologis yang berasal dari
luar (broad antiquaries). Aliran pertama berkembang di Eropa Utara,
terutama di Inggris, Perancis, dan Skandinavia dengan penganut-penganutnya
antara lain William Camden, John Aubrey, Edward Leuwyd, dan William Stukeley (Daniel, 1967: 24-35). Aliran kedua berkembang di Eropa Tengah dan Selatan,
dan mempunyai pengikut antara lain Givanni Belzoni, Edward Daniel Clarke,
Denon, dan Champollion.
Di
dalam karyanya yang berjudul Britannica, William Camden (1551-1623)
telah berhasil menyusun suatu petunjuk umum tentang arti dan maksud benda-benda
arkeologi dilengkapi dengan ilustrasi tentang mata uang Romawi Kuno dan Stonehenge. Penjelasan mengenai Stonehenge ini kemudian dilengkapi oleh John Aubrey dalam
bukunya Monuments Britannica. Dalam hal ini sebagai objek arkeologi,
peninggalan Stonehenge sudah dilihat secara
kontekstual dengan objek-objek lainnya. Sangat disayangkan, buah karya ini
belum sempat diterbitkan dan sampai sekarang masih disimpan di perpustakaan
Bodlein di Oxford.
Edward
Leuwyd (1660-1708) telah melakukan studi tentang sejarah alam, bahasa, adat
kebiasaan, dan semua temuan arkeologis. Dialah orang yang pertama kali
melakukan katalogisasi fosil-fosil. Berbeda dengan Camden, Aubrey dan Leuwyd, William Stukeley
(1687-1765) lebih memusatkan perhatiannya pada sumber-sumber tertulis untuk
interpretasi masa lampau.
Giovanni
Belzoni salah seorang pengikut aliran broad antiquaries dalam
pengembaraannya ke luar Eropa telah menghasilkan sebuah karya tulis yang
berhubungan atau berisi tentang bangunan piramida, nisan-nisan kuno, dan
temuan-temuan arkeologis lainnya dari hasil penggalian yang dilakukan di Mesir
dan Nubia.
Pengembaraan yang lain juga dilakukan oleh Clarke, antara
lain ke negara-negara Timur Dekat. Dari perjalanan tersebut Clarke berhasil
mengumpulkan dan membawa pulang sekumpulan benda-benda arkeologis termasuk
sebuah arca yang cukup terkenal dari Elensis barat laut Athena (Daniel: 42-43).
Pada waktu Napoleon I mengadakan invasi ke Mesir pada
tahun 1789, selain bala tentara ekspedisi, dia juga membawa anggota-anggota
lain terdiri dari para sarjana, ilmuwan, artis, dan para pecinta barang-barang
antik. Pada saat inilah Denon dan Champollion mendapat kesempatan untuk
melakukan penelitian-penelitian benda-benda arkeologis dan belajar membaca
huruf hieroglyph. Dari pengalaman para pecinta barang-barang antik dan para diletanti
itulah kemudian membuka jalan ke arah menyimpulkan bahwa artefak-artefak
tersebut milik bangsa Briton Kuno (Inggris Kuna), tetapi dia tidak berani
mengatakan bahwa umurnya lebih tua dari 6000 tahun. Dia hanya mengatakan bahwa
tulang-tulang binatang yang ditemukan menunjukkan jenis binatang yang telah
punah.
Temuan-temuan baru berupa alat-alat dari batu, fosil
manusia purba dan jenis binatang yang telah punah memberikan jalan baru bagi
pengembangan arkeologi prehistori. Berbeda dengan sifat arkeologi sebelumnya
yang memusatkan perhatiannya kepada studi sejarah dan atau kebudayaan kuna
dengan teknik-teknik arkeologi, arekologi prehistori menggunakan sumber-sumber
yang berasal dari masa pra tulisan.
Dengan makin bertambahnya jumlah koleksi dan temuan
benda-benda arkeologis manimbulkan masalah baru yang berhubungan dengan
penyusunan dan pengklasifikasiannya. Problem ini menghendaki suatu pemecahan
arkeologis yang sistematis. Sistem penjamanan menjadi tiga (three age system)
mulai diperkenalkan pada tahun 1819 oleh J.C. thomsen dari Museum Nasional di
Copenhagen. Sistem ini mendasarkan pada kepercayaan bahwa kehidupan manusia
dapat dibedakan menjadi tiga jaman sesuai dengan jenis alat yang dipergunakan
yaitu alat dari batu, alat dari perunggu, dan besi. Three age system ini
kemudian dikembangkan oleh J.J.A Worsaae (1821-1885) yang mendasarkan cara
seriasi dari temuan-temuan pada situs-situs makam (Willey dan Sobllof, 1974: 13).
Sensasi besar telah terjadi pada waktu Boucher de Perthes
menemukan artefak-artefak dari batu api dalam asosiasi dengan tulang di Somme
Cannal. Artefak-artefak tersebut ditemukan pada strata geologis sangat dalam
dan diperkirakan umurnya sangat tua.
Meskipun penemuan-penemuan tersebut banyak mendapat
tantangan baik dari golongan agama maupun ilmuwan, tetapi jelas bahwa arkeologi
prehistori benar-benar telah mulai. Istilah prehistori pertama kali dicanagkan
oleh seorang sarjana Perancis bernama Tournal pada tahun 1833 dengan pengertian
arkeologi dari masa sebelum adanya tulisan. Sejak saat inilah bidang arkeologi
mulai menyangkut banyak masalah baik yang berhubungan dengan antropologi,
sejarah, filsafat, maupun ilmu pengetahuan alam.
Meskipun arkeologi mempelajari peninggalan-peninggalan
manusia masa lampau di dalam kerangka kerja antropologi, sejarah dan
disiplin-disiplin lainnya, tetapi arkeologi itu sendiri telah menunjukkan suatu
disiplin tersendiri. Sebagai suatu disiplin, akeologi di dalam operasinya memerlukan
suatu metode riset yang ilmiah, analisa laboratorium dan teknik interpretasi
serta konsep-konsep teori yang khusus (Cf.
Fagan, 1975; 6-7).