Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Monday 24 September 2018

Wisata Ziarah Islam; Renungan Seorang Arkeolog



Secara umum dapat disimpulkan bahwa peninggalan sejarah dan purbakala sebagai warisan budaya dapat berfungsi sebagai: (1) bukti-bukti sejarah dan budaya, (2) sumber-sumber sejarah dan budaya, (3) objek kajian keilmuan sejarah dan budaya, (4) cermin sejarah dan budaya, (5) media untuk pembinaan dan pengembangan nilai-nilai budaya, (6) media pendidikan sepanjang masa, (7) media memupuk kepribadian bangsa bidang kebudayaan dan ketahanan nasional, dan (8) objek wisata budaya (Uka Tjandrasasmita, 1982:4-5). Selain itu pelestarian warisan budaya, seperti dikemukakan Wendy dan Shmore (1979: 554-555) juga akan menumbuhkan penghayatan terhadap pengetahuan masa lampau akan memumbuhkan sikap menghargai produk bangsa sejaligus akan memeberikan sumbangan terhadap kesatuan dan persatuan bangsa. ......
Objek-objek wisata ziarah Islam secara sempit dihubungkan dengan benda-benda berupa makam, masjid, atau relik-relik para tokoh keagamaan dan politik, yani ulama dan raja khususnya mereka yang dianggap memiliki kharisma tertentu. ... peradaban atau tamaddun Islam lebih dapat dimengerti dalam wujudnya sebagai kota (urban), dan karenanya seperti yang dikemukakan Stern (1970: 25) – harus diartikan sebagai kota peradaban Islam (Islamic Urban civilizaation). ... objek-objek wisata ziarah Islam tidak hanya makam dengan segala ekspresinya, ... harus pula memperhitungkan dan memasukkan objek lain, seperti istana, benteng, perpustakaa, masjid, serta benda-benda relik. .... tuntutan profesionalisme manajemen wisata tidak bisa lagi dihindari.

Paradigma dalam Arkeologi




Seorang arkeolog bekerja dengan bukti-bukti arkeologis yang berupa peninggalan material. Tidak semua peninggalan material tersebut dapat  bertahan lama, sehingga objek penelitian arkeologi terbatas pada materi-materi yang tahan lama. Objek-objek yang dibuat dari bahan batu, tanah liat, dan logam, pada umumnya mempunyai daya tahan lebih lama jika dibandingkan dengan objek-objek yang eterbuat dari bahan kayu, kulit, dan tulang. Dengan objek yang terbatas tersebut seorang arkeolog dituntut untuk dapat menjelaskan dan memebrikan gambaran umum tentang kehidupan masyarakat masa lampau dan kebudayaannya. Gambaran mengenai masa lampau ini tidak hanya disajikan secara deskriptif, tetapi dengan menggunakan metode dan pendekatan ilmiah dapat disuguhkan hal-hal yang berhubungan dengan organisasi social, pola permukiman, aspek kehidupan ekonomi, dan bahkan tingkat-tingkat kehidupan masyarakat yang berbeda-beda serta proses perubahannya. Terdapat perbedaan pendekatan yang digunakan antara arkeolog Amerika dengan arkeolog Eropa. Amerika menggunakan pendekatan yang lebih antropologis, sedang Eropa lebih berorientasi pada pendekatan historis. Makin seringnya penelitian dan diskusi bersama, maka ide-ide yang dianggap paling menguntungkan dari kedua aliran ini kemudian dikombinasikan untuk mencari eksplanasi-eksplanasi tentang perubahan kebudayaan. Akibatnya pengelompokan perbedaan di antara kedua aliran tersebut semakin sempit bahkan saling melengkapi.
Lepas dari perbedaan pandangan antara kedua aliran tersebut, dapatlah diajukan beberapa paradigma yang sampai sekarang masih berlaku dalam penelitian-penelitian arkeologi. Ada tiga hal yang pokok yang perlu diperhatikan dalam penelitian arkeologi, yaitu:
1.                     Rekonstruksi sejarah kebudayaan
2.                     Rekonstruksi cara-cara hidup manusia pada masa lampau
3.                     Rekonstruksi proses perubahan kebudayaan dan faktor-faktor penyebabnya.
Ketiga hal tersebut di atas menuntut penentuan prioritas dalam penelitiannya. Karena masing-masing ahli memiliki prioritas sendiri-sendiri, maka teori-teori yang berhubungan dengan jenis-jenis fenomenanya juga akan berbeda juga asumsi-asumsi yang diajukannya.
Para penganut paradigma pertama akan memusatkan perhatiannya pada perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat yang terjadi sebagai akibat pengaruh kebudayaan dari masyarakat lainnya. Dengan demikian para penganut paradigma ini akan berusaha mengetahui kebudayaan suatu masyarakat masa lalu di dalam perkembangannya dari waktu ke waktu. Pada umumnya para penganut aliran ini berpegang pada asumsi sebagai berikut.
a.     Perbedaan dan persamaan himpunan artefak pada suatu masyarakat dengan masyarakat lain, dapat menjadi petunjuk jauh dekatnya hubungan atau kontak kebudayaan pada kedua kelompok masyarakat tersebut.
b.    Pada dasarnya himpunan artefak dapat mencerminkan sifat-sifat kebudayaan masyarakatnya. Dengan kata lain himpunan artefak merupakan gambaran kesatuan kebudayaan dan dengan melihat perbedaan dan persamaan kesatuan-kesatuan kebudayaan akan dapat ditentukan pertukaran unsure-unsur kebudayaan yang pernah terjadi.
Kelemahan dari paradigma ini yaitu bahwa kesamaan sifat-sifat kebudayaan yang ditunjukkan oleh himpunan artefak tersebut belum menjamin adanya hubungan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, atau kesamaan sifat-sifat kebudayaan antar kelompok masyarakat belum tentu menunjukkan adanya difusi, tetapi merupakan penemuan pada masing-masing kelompok secara terpisah dan bukan karena pengaruh dari satu kelompok budaya kepada kelompok budaya yang lainnya.
Para penganut paradigma kedua, memusatkan perhatiannya pada usaha merekonstruksi cara hidup manusia masa lampau. Cara hidup manusia itu antara lain ditunjukkan oleh tingkatan teknologinya, cara-cara yang dilakukan di dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani ataupun rohaninya. Teknologi menyangkut cara-cara pembuatan dan fungsi alat-alat yang diperlukan. Cara-cara yang dilakukan di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya antara lain meliputi cara untuk memperoleh bahan makanan (berburu, bertani, berternak), sistem perdagangannya, dan yang lainnya. Keterbatasan informasi yang ada pada data arkeologi seringkali menuntut seorang arkeolog untuk melakukan pendekatan etnoarkeologi. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan data arkeologi yang ada dengan data etnografi pada masyarakat tradisional yang masih berlangsung. Analogi merupakan dasar dalam melakukan pendekatan antara data arkeologi dengan kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku pada masyarakat tradisional. Hambatannya yaitu bahwa tidak semua data arkeologi dapat diabndingkan dengan kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku sampai sekarang. Dalam keadaan yang demikian maka interpretasi terhadap data arkeologi dapat dilakukan dengan berdasarkan pada analisis artefaktual (fisik), kontekstual (insitu/lingkungan), dan analisis laboratorium.
Proses perubahan kebudayaan dan faktor-faktor penyebabnya merupakan pusat perhatian para penganut paradigma yang ke tiga. Meski para penganut paradigma pertama dan ke dua meragukan kebenaran paradigma yang ke tiga ini karena keterbatasan dan ketidaklengkapan data arkeologi, tetapi penganut paradigma ke tiga tetap yakin dapat merekonstruksi proses perubahan kebudayaan pada masa lampau. Untuk mendapatkan gambaran tentang proses perubahan kebudayaan dan faktor-faktor penyebabnya, terhadap data arkeologi yang ada tindakan pertama yang yang harus dilakukan adalah membuat klasifikasi data. Klasifikasi ini dimulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks atau rumit. Hasil pengkalisfikasian ini akan dapat memberikan gambaran tingkatan-tingkatan perubahan kebudayaannya, barulah kemudian dicari data yang berhubungan dengan faktor-faktor penyebab perubahan tersebut. Untuk ini perlu dilakukan studi perbandingan antara satu situs dengan situs yang lain. Dengan perbandingan tersebut selain akan diketahui perubahan kebudayaan karena waktu, juga perubahan kebudayaan yang disebabkan oleh faktor ruang.

Objek Studi Arkeologi



Sesuai dengan tujuan ilmu arkeologi yaitu merekonstruksi kehidupan manusia masa lampau, maka sebenarnya yang menjadi objek studinya adalah manusianya. Namun demikian, kehidupan manusia masa lampau tersebut sudah tidak dapat diamati lagi secara langsung, maka untuk merekonstruksinya dapat dilakukan dengan cara mengamati hasil peninggalan-peninggalannya. Tinggalan tersebut dapat berupa artefak, ekofak, dan fetur. Ketiganya merupakan jenis data dalam arkeologi yang sangat penting untuk merekonstruksi kehidupan manusia di masa lampau. Artefak adalah semua benda yang telah diubah bentuknya oleh tangan manusia dengan tujuan untuk digunakan sebagai sarana dalam usahanya memenuhi kebutuhannya. Dilihat dari jenis bahannya, artefak dapat dibuat dari bahan kayu, bambu, batu, tulang binatang, tanah liat, kulit kerang, dan logam. Secara fungsional setiap artefak dapat dibedakan menjadi artefak yang berfungsi teknomik (teknofak), sosioteknik (sosiofak), dan ideoteknik (ideofak). Termasuk jenis teknofak adalah artefak yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan praktis sehari-hari. Sosiofak berhubungan fungsi dengan kebutuhan masyarakat, dan ideofak berhubungan dengan fungsi keagamaan/kepercayaan.
Sebagai data arkeologi, artefak dapat dibedakan menjadi 4 (empat) tingkatan, yaitu artefak (artifact), sub himpunan (sub assemblage), himpunan (assemblage), dan kumpulan himpunan (assemblage aggregate). Bila artefak dianggap sebagai suatu data yang berdiri sendiri, maka sub himpunan artefak merupakan data yang terdiri dari beberapa artefak yang berasal dari satu situs. Masing-masing artefak mempunyai hubungan yang menunjukkan satu fungsi. Setiap artefak dapat dibedakan  dengan artefak yang lain berdasarkan ciri-ciri atau atribut yag dimiliki, misalnya; bahan, bentuk, warna, ukurean, hiasan, dan tanda-tandalain yang dapat diamati secara langsung. Artefak secara berdiri sendiri sulit untuk digunakan sebagai data arkeologi untuk sampai pada suatu kesimpulan karena terbatasnya informasi yang dapat disampaikan.
Berbeda dengan artefak, sub himpunan artefak dapat memberikan informasi lebih lengkap tentang sifat-sifat atau gaya yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat. Adanya hubungan fungsi di antara artefak-artefak sub himpunan tersebut menunjukkan bahwa di dalam kelompok masyarakat tersebut masing-masing individu memiliki sifat-sifat yang berbeda tetapi perbedaan tersebut ditentukan oleh masyarakatnya.
Himpunan artefak adalah semua jenis artefak yang berasal dari satu situs saja. Artefak himpunan ini biasanya terdiri dari beberapa sub himpunan, masing-masing sub himpunan akan menunjukkan pola sebarannya di dalam situs tersebut. Dari pola sebaran sub himpunan dan populasi artefaknya akan dapat diketahui struktur masyarakatnya.
Data arkeologi yang memiliki informasi paling lengkap yaitu kumpulan himpunan artefak. Data ini terdiri dari beberapa jenis artefak yang berasal dari beberapa situs. Dengan membandingkan himpunan artefak yang berasal dari beberapa situs. Dengan membandingkan himpunan artefak yang satu dengan himpunan artefak yang lainnya akan dapat ditentukan sifat-sifat yang umum dan sifat-sifat yang khusus sebagai akibat dari keadaan setempat. Data semacam ini dapat digunakan untuk menyusun keadaan social ekonomi, keadaan politik, kebudayaan, dan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat tertentu.
Dari uraian tersebut di atas, maka secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut.
1.         Artefak merupakan gambaran dari masing-masing individu dan dengan melihat pola atributnya dapat diketahui pola tingkah lakunya.
2.         Sub himpunan artefak menunjukkan pemilikannya adalah sekelompok manusia. Pola artefak-artefaknya merupakan refleksi dari pola-pola tingkah laku kelompok manusia tersebut.
3.         Himpunan artefak menunjukkan tingkat pemilikannya adalah sekelompok masyarakat (komunitas). Pola-pola dari sub-sub himpunannya merupakan refleksi dari pola-pola tingkah laku masyarakatnya.
4.         Kumpulan himpunan artefak menunjukkan tingkat pemilikannya adalah golongan masyarakat dalampengertian yang luas. Pola-pola himpunan artefaknya merupakan refleksi dari pola-pola tingkah laku golongan masyarakatnya (Joukowsky, 1980;279-280).
Selain artefak, ekofak juga merupakan data arkeologi yang penting untuk merekonstruksi kehidupan masa lalu. Ekofak adalah data arkeologi non artefak yang berhubungan dengan kehidupan manusia masa lampau, meliputi data tulang-tulang binatang dan jenis-jenis tanaman. Jenis data ini akan banyak memberikan informasi tentang kehidupan masa lampau, terutama yang berhubungan dengan lingkungan dan subsistensi. Bahwa jenis-jenis binatang dan tanaman merupakan sumber informasi tentang lingkungan sudah tidak dapat dibantah lagi. Demikian pula dalam hubungannnya dengan manusia, biantang dan tanaman merupakan sumber makanan (diet) urtama mereka. Manusia akan mengkesploitasi jenis-jenis binatang dan tanaman tertentu untuk mencukupi kebutuhan pangannya.
Data lain yang biasa digunakan di dalam arkeologi yaitu fetur. Fetur adalah gejala pada tanah yang diakibatkan oleh kegiatan manusia sehingga menimbulkan perbedaan dengan tanah sekitarnya. Contohnya bekas lantai, bekas didnding, parit, bekas tempat tiang, bekas lubang sampah, liang kubur. Kadang-kadang fetur tersebut terbentuk oleh sisa-sisa akar tanaman, batang pohon yang roboh, vegetasi tertimbun lahar, dan lain-lain. Fetur bekas lantai, bekas dinding, bekas saluran air, dan bekas tempat tiang sangat penting untuk merekonstruksi hal-hal yang berhubungan dengan bangunan. Fetur lubang galian dapat memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatan manusia masa lalu, termasuk di sini misalnya lubang-lubang penambangan. Fetur lubang sampah dapat memberikan informasi tentang intensitas tingkat huniannya, tingkat atau golongan orang yang menggunakannya, tingkat kemakmuran, dan lain-lain. Fetur kuburan dapat memberikan informasi tentang kepercayaan masyarakatnya, sistem penguburan mayat, tata letak/konsep, dan lain-lain.

Dasar Pengertian Arkeologi





A.     Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar: Mahasiswa mampu memahami ruang lingkup dan perlunya arkeologi

B.     Peta Konsep
ARKEOLOGI

Mempelajari tentang

ARTEFAK

Jenis Fungsional

TEKNOFAK             SOSIOFAK                IDEOFAK

Sumber data dari

MENTIFAK


 
merekonstruksi

PERADABAN ISLAM

mengetahui 

KEBERAGAMAAN

C.     Serambi/Senarai/Current Issues
w  QS Yusuf 111,
لقد كان فى قصصهم عبرة لأولى الألباب
Sungguh dalam kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berpikir”
w  Bukti-bukti akan kebesaran dan kemajuan peradaban Islam di muka dunia ini semua orang tidak meragukannya. Berratus bahkan berribu buku-buku Sejarah Peradaban Islam telah banyak ditulis dan silih berganti menceritakanya. Seringkali kita tidak atau mungkin belum menyadari bahwa kebesaran Sejarah Islam tersebut seolah seperti sebuah dogeng. Maka akan lebih lengkap lagi jika “cerita” sejarah tersebut diuraikan dengan menggunakan keberadaan bukti-bukti fisik historis peradaban tersebut sebagai bukti nyata adanya peradaban itu. Untuk itulah maka perlunya Arkeologi untuk mengungkapkan Peradaban Islam dengan menggunakan benda-benda materialistik sebagai objek dan sumbernya.
w  Kasus “penghancuran” gedung-gedung IAIN bisa dilihat sebagai penghilangan secara sistematis terhadap fakta-fakta artefaktual tentang keberadaan IAIN Sunan Kalijaga berkaitan dengan proses perubahan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Kasus ini bisa menjadi satu contoh “ketidakpedulian” pada bukti-bukti fisik peradaban Islam di kampus kita dan hancurnya bukti fisik sejarah UIN Sunan Kalijaga pada waktu lampau.

D.    Materi Pokok

1.         Definisi Arkeologi

Sebagai suatu disiplin ilmu, arkeologi dapat didefinisikan dengan cara dan dalam pengertian yang bermacam-macam. Cara pandang dan titik penekanan permasalahan yang berbeda-beda terhadap ilmu ini pada akhirnya menghasilkan pengertian yang berbeda pula. Perbedaan cara pandang dan titik tekan ini sejalan dengan sejarah perkembangan arkeologi dari awal sampai menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Kata arkeologi mulanya digunakan untuk sesuatu pengertian yang berhubungan dengan sejarah kuno pada umumnya. Dalam definisi ini berarti  bahwa arkeologi memiliki isi yang berhubungan dengan kumpulan naskah-naskah kuno. Definisi inilah yang tampaknya mendasari pandangan Stuart Piggot di dalam bukunya yang berjudul Approach to Archaeology yang mengatakan bahwa arkeologi adalah cabang ilmu sejarah.
Dalam bukunya The Origins and Growth of Archaeology, Glyn Daniel (Glyn Daniel, 1976:5) memberikan definisi arkeologi sebagai … the study of the things man made and did, in order that their whole way of life may be understood. Apa yang dikemukakan Daniel ini didukung pula oleh Robert J. Braidwood dalam bukunya Archaeologist and What They Do. Dikatakan oleh Braidwood arkeologi adalah ilmu yang mempelajari artefak-artefak dan tingkah laku manusia dengan tujuan untuk mengetahui seluruh cara hidupnya. Dengan definisi ini maka seorang arkeolog akan memusatkan perhatiannya pada benda-benda buatan manusia dalam usahanya merekonstruksi cara hidup manusia masa lampau (Braidwood, 1960, cf. Clark. 1960). Dari dua rumusan ini saja telah dapat dilihat adanya perbedaan titik pandang (perhatian) terhadap tujuan penelitian arkeologi yang tentunya membawa akibat perbedaan cara pendekatannya.
Terlepas dari perbedaan tersebut di atas dapatlah kiranya diusulkan bahwa secara umum arkeologi berarti ilmu yang berhubungan dengan kekunoan (archaios = kuno, tua, lama, masa lampau; logos = ilmu diskusi, discourse). “Kekunoan” ini mempunyai pengertian yang sangat luas dapat berhubungan dengan manusianya, hasil-hasil karyanya, dan lingkungan hidupnya. Kekunoan berhubungan dengan manusia dan kebudayaan yang sudah berlalu. Karenanya arkeologi dapat diartikan ilmu yang mempelajari peninggalan-peninggalan manusia masa lalu dengan tujuan untuk merekonstruksi kehidupan manusianya (Willey dan Sabloff, 1974: 11-12). Rekonstruksi kehidupan manusia masa lalu tersebut dapat diarahkan pada usaha untuk mengetahui kronologinya, menerangkan peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau mengetahui proses perubahan kebudayaannya. Dengan pengertian seperti tersebut di atas maka arkeologi sebagai suatu disiplin yang disebutkan terakhir juga berhubungan dengan masa lampau. Baik sejarah maupun antropologi, keduanya memusatkan perhatiannya pada usaha merunut peristiwa-peristiwa masa lalu berserta eksplanasinya demikian pula halnya dengan arekologi.
Meskipun arkeologi berhubungan erat dengan sejarah tetapi tidak berarti bahwa ilmu ini sama dengan atau cabang dari sejarah. Antara arkeologi dan sejarah terdapat perbedaan yang mendasar bukan karena perbedaan filosofisnya tetapi terutama perbedaan di dalam metode yang digunakannya. Perbedaan di dalam metode ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan di dalam hal data yang digunakan. Di dalam menyusun dan menyajikan masa lampau tersebut sejarah lebih mengandalkan pada tekstual sebagai bahan referensinya sedangkan arkeologi lebih menggantungkan pada peninggalan-peninggalan material. Karenanya metode dan teknik perolehan dan pengolahan data untuk kedua ilmu tersebut jelas berbeda.
Arkeologi juga berhubungan dengan antropologi karena antropologi pada dasarnya merupakan suatu ilmu yang komparatif dan generalisasi. Dalam tata kerjanya antropologi memulai dengan masyarakat partikular dengan kebudayaannya. Lewat generalisasi seorang antropolog akan dapat menjelaskan (eksplanasi) tentang terjadinya suatu kebudayaan, bentuk-bentuk masyarakat, dan perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu kebudayaan.

2.        Sejarah disiplin ilmu arkeologi
Ilmu ini sebenarnya dimulai dari adanya rasa/keinginan dari sekelompok benda-benda kuno (antik) yang dianggap memiliki nilai seni tinggi. Awalnya benda-benda tersebut diperoleh dari tangan ke tangan saja, karena permintaan yang tinggi maka muncul upaya pencarian benda secara lebih ke sumber/tempat-tempat benda antik tersebut banyak didapatkan. Dari sinilah muncul penggalian-penggalian (ekskavasi) pada situs-situs arkeologi. Ini sudah dilakukan sejak abad VI SM oleh Delshalti Namer, puteri mahkota Nabonidus (Raja Babilonia akhir) di kota Ur.
Sejalan dengan kesenangan mengumpulkan barang ini muncul pula kelompok-kelompok yang tertarik untuk mengetahui kehidupan masyarakat bangsa lain yang memiliki adat dan tatacara yang dianggap sangat karakteristik berbeda dengan adat yang mereka punyai. Dalam hal ini Herodotus dari Yunani merupakan satu tokoh yang memelopori dengan observasinya pada suku-suku bangsa (etnografis) dan data adat kebiasaan bangsa Mesir Kuno, Scythia, Yunani, dan Persia. Dari data yang diperolehnya disusunlah kategori barbarian, savagery, dan civilized. Karena itu pula Herodotus disebut sebagai bapak ilmu antropologi dan sejarah.
Usaha serupa juga dilakukan oleh Megasthenes pada abad II SM. Penelitian yang dilakukannya terhadap suku bangsa India menghasilkan kumpulan data tentang adat istiadat, kepercayaan, juga kondisi geografis, flora dan faunanya. Herodotus maupun Megasthenes merupakan penulis-penulis klasik yang karya-karyanya lebih bersifat antropologis dan etnografis.
Dari pengalaman dan penelitian semacam ini kemudian memunculkan kesadaran akan adana perbedaan kebudayaan dan agama di antara suku-suku bangsa di dunia dilihat dari dimensi waktu dan ruangnya. Selanjutnya menimbuilkan kecenderungan cendekiawan Eropa untuk mengamati faktor-faktor penyebab munculnya perbedaan tersebut. Abad V – XII M, cendekiawan Eropa memusatkan perhatiannya pada perbedaan agama dibandingkan perbedaan kebudayaan secara umum. Baru pada abad XII M perhatian orang-orang Eropa mulai menaruh perhatiannya untuk mengumpulkan  informasi etnografis beberapa suku bangsa dari luar Eropa.
Giovanni, Willem van Rubrock dan Piandel Carpini adalah orang-orang yang mengawali mengumpulkan data etnografis suku bangsa Mongolia Kuno. Marcopolo berhasil mengumpulkan informasi penting tentang Kublai Khan. Dari kumpulan data tersebut Roger Bacon (± 1214-1292) telah menyimpulkan bahwa adanya perbedaan adat istiadat di antara suku-suku bangsa di dunia ini disebabkan oleh faktor astrologis yaitu pengaruh planet-planet di ruang angkasa (Rowe, 1965: 6-8).  Dengan demikian sampai abad XIII M, arkeologi belum dapat diformulasikan sebagai satu disiplin ilmu.
Baru seudah abad XIII (masa Renaisance) disiplin arkeologi mulai menunjukkan identitasnya. Pada masa ini para cendekiawan mulai melihat adanya wacana yang lebih luas dibandingkan masa-masa sebelumnya. Mereka tidak lagi hanya sensitif terhadap perbedaan-perbedaan kebudayaan yang disebabkan oleh perbedaan ruang, tetapi sudah mulai menekankan pada perbedaan yang disebabkan oleh karena faktor waktu. Mereka tidak hanya mempelajari adat istiadat dan institusi bangsa Romawi, Latin, dan Yunani, tetapi juga mempelajari monumen-monumen kuno yang ada di kota-kota tersebut.
Tokoh pertama yang dapat disebutkan yaitu Francesco Petrarca (1304-1374). Dia melihat kebudayaan kuno bangsa Romawi lewat penelitian naskah-naskah kuno. Usaha ini didukung  oleh Giovanni Baccaccio yang memberikan gambaran lebih lengkap mengenai kebudayaan Romawi tersebut dan kemudian lebih disempurnakan oleh Giovanni Dondi (1318-1389), seorang dokter dan insinyur mesin, dengan observasi sistematis terhadap peninggalan-peninggalan arkeologis yang berupa monumen.
Seiring dengan pertambahan data-data baru, kemudian Ciriaco de Pizzicolli (1392-1462) dan Brando Flavio (1392-1462) meletakan dasar-dasar yang lebih kuat terhadap munculnya disiplin arkeologi. Pizzicolli melakukan penelitian terhadap prasasti-prasasti Latin dan monumen-monumen di Ancona Italia Tengah dan ternyata dapat diketahui bahwa kedua jenis sumber data tersebut saling melengkapi, sehingga harus digunakan bersama-sama dan tak dapat dipisahkan. Sisa hidupnya dihabiskan untuk mempelajari monumen-monumen kuno, parasasti, dan seni pahat di Italia, Yunani, Turki, dan Mesir.
Flavio juga melakukan studi kebudayaan Romawi Kuno secara sistematis. Tulisan yang berjudul Rome Restored and Rome Triumphant merupakan karya besarnya. Tulisan ini selain bersifat monografi arkeologis, juga memuat hasil studinya tentang agama, pemerintahan, organisasi militer, dan adat istiadat bangsa Romawi Kuno (Rowe, 1965:11).  Meski belum jelas perbedaan arkeologi dengan ilmu sejarah dan antropologi, akan tetapi pandangan yang muncul pada masa ini sudah dapat dianggap sebagai benih dari disiplin arkeologi. Konsepsi tentang perbedaan kebudayaan dalam waktu telah diperluas dengan perbedaan kebudayaan dalam geografi (Willey dan Sabloff, 1974: 12).
Menjelang abad XVI M (pasca Renaisance) telah terjadi perkembangan yang sangat berarti di dalam bidang arkeologi. Dua aliran dapat dilihat pada masa ini, di mana satu aliran melakukan kegiatannya dengan menggunakan benda-benda arkeologis setempat (local antiquaries), dan aliran yang lainnya memanfaatkan temuan-temuan arkeologis yang berasal dari luar (broad antiquaries). Aliran pertama berkembang di Eropa Utara, terutama di Inggris, Perancis, dan Skandinavia dengan penganut-penganutnya antara lain William Camden, John Aubrey, Edward Leuwyd, dan William Stukeley (Daniel, 1967: 24-35). Aliran kedua berkembang di Eropa Tengah dan Selatan, dan mempunyai pengikut antara lain Givanni Belzoni, Edward Daniel Clarke, Denon, dan Champollion.
Di dalam karyanya yang berjudul Britannica, William Camden (1551-1623) telah berhasil menyusun suatu petunjuk umum tentang arti dan maksud benda-benda arkeologi dilengkapi dengan ilustrasi tentang mata uang Romawi Kuno dan Stonehenge. Penjelasan mengenai Stonehenge ini kemudian dilengkapi oleh John Aubrey dalam bukunya Monuments Britannica. Dalam hal ini sebagai objek arkeologi, peninggalan Stonehenge sudah dilihat secara kontekstual dengan objek-objek lainnya. Sangat disayangkan, buah karya ini belum sempat diterbitkan dan sampai sekarang masih disimpan di perpustakaan Bodlein di Oxford.
Edward Leuwyd (1660-1708) telah melakukan studi tentang sejarah alam, bahasa, adat kebiasaan, dan semua temuan arkeologis. Dialah orang yang pertama kali melakukan katalogisasi fosil-fosil. Berbeda dengan Camden, Aubrey dan Leuwyd, William Stukeley (1687-1765) lebih memusatkan perhatiannya pada sumber-sumber tertulis untuk interpretasi masa lampau.
Giovanni Belzoni salah seorang pengikut aliran broad antiquaries dalam pengembaraannya ke luar Eropa telah menghasilkan sebuah karya tulis yang berhubungan atau berisi tentang bangunan piramida, nisan-nisan kuno, dan temuan-temuan arkeologis lainnya dari hasil penggalian yang dilakukan di Mesir dan Nubia. Pengembaraan yang lain juga dilakukan oleh Clarke, antara lain ke negara-negara Timur Dekat. Dari perjalanan tersebut Clarke berhasil mengumpulkan dan membawa pulang sekumpulan benda-benda arkeologis termasuk sebuah arca yang cukup terkenal dari Elensis barat laut Athena (Daniel: 42-43).
Pada waktu Napoleon I mengadakan invasi ke Mesir pada tahun 1789, selain bala tentara ekspedisi, dia juga membawa anggota-anggota lain terdiri dari para sarjana, ilmuwan, artis, dan para pecinta barang-barang antik. Pada saat inilah Denon dan Champollion mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian-penelitian benda-benda arkeologis dan belajar membaca huruf hieroglyph. Dari pengalaman para pecinta barang-barang antik dan para diletanti itulah kemudian membuka jalan ke arah menyimpulkan bahwa artefak-artefak tersebut milik bangsa Briton Kuno (Inggris Kuna), tetapi dia tidak berani mengatakan bahwa umurnya lebih tua dari 6000 tahun. Dia hanya mengatakan bahwa tulang-tulang binatang yang ditemukan menunjukkan jenis binatang yang telah punah.
Temuan-temuan baru berupa alat-alat dari batu, fosil manusia purba dan jenis binatang yang telah punah memberikan jalan baru bagi pengembangan arkeologi prehistori. Berbeda dengan sifat arkeologi sebelumnya yang memusatkan perhatiannya kepada studi sejarah dan atau kebudayaan kuna dengan teknik-teknik arkeologi, arekologi prehistori menggunakan sumber-sumber yang berasal dari masa pra tulisan.
Dengan makin bertambahnya jumlah koleksi dan temuan benda-benda arkeologis manimbulkan masalah baru yang berhubungan dengan penyusunan dan pengklasifikasiannya. Problem ini menghendaki suatu pemecahan arkeologis yang sistematis. Sistem penjamanan menjadi tiga (three age system) mulai diperkenalkan pada tahun 1819 oleh J.C. thomsen dari Museum Nasional di Copenhagen. Sistem ini mendasarkan pada kepercayaan bahwa kehidupan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jaman sesuai dengan jenis alat yang dipergunakan yaitu alat dari batu, alat dari perunggu, dan besi. Three age system ini kemudian dikembangkan oleh J.J.A Worsaae (1821-1885) yang mendasarkan cara seriasi dari temuan-temuan pada situs-situs makam (Willey dan Sobllof, 1974: 13).
Sensasi besar telah terjadi pada waktu Boucher de Perthes menemukan artefak-artefak dari batu api dalam asosiasi dengan tulang di Somme Cannal. Artefak-artefak tersebut ditemukan pada strata geologis sangat dalam dan diperkirakan umurnya sangat tua.
Meskipun penemuan-penemuan tersebut banyak mendapat tantangan baik dari golongan agama maupun ilmuwan, tetapi jelas bahwa arkeologi prehistori benar-benar telah mulai. Istilah prehistori pertama kali dicanagkan oleh seorang sarjana Perancis bernama Tournal pada tahun 1833 dengan pengertian arkeologi dari masa sebelum adanya tulisan. Sejak saat inilah bidang arkeologi mulai menyangkut banyak masalah baik yang berhubungan dengan antropologi, sejarah, filsafat, maupun ilmu pengetahuan alam.
Meskipun arkeologi mempelajari peninggalan-peninggalan manusia masa lampau di dalam kerangka kerja antropologi, sejarah dan disiplin-disiplin lainnya, tetapi arkeologi itu sendiri telah menunjukkan suatu disiplin tersendiri. Sebagai suatu disiplin, akeologi di dalam operasinya memerlukan suatu metode riset yang ilmiah, analisa laboratorium dan teknik interpretasi serta konsep-konsep teori yang khusus (Cf. Fagan, 1975; 6-7).