Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Tuesday 16 October 2012

GERAKAN-GERAKAN SOSIALTRADISIONAL ISLAM DI INDONESIA



GERAKAN-GERAKAN SOSIAL TRADISIONAL
ISLAM DI INDONESIA
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas
Matakuliah Sejarah sosial islam di Indonesia
Dosen Pengampu : DRA. Himayatul Ittihadiyah

Oleh
                                                    Alfa Farkhoni          : 09120028
Nur Abdur Razaq  : 09120030

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Gerakan Tradisional Ini Telah Muncul Sebelum Kemerdekaan Indonesia Pada Tanggal 17 Agustus 1945, Yaitu Pada Periode Waktu Sekitar 1900-1940an, meskipun demikian akar-akar gerakannya khususnya islam tradisional, telah tumbuh jauh sebelum periode tersebut.akar-akar gerakan islam tradisional mulai bersemi sekurang-kurangnya bersamaan dengan masuk dan semakin meluasnya pemelukan islam di pedalaman jawa pada saat mana islam mulai mengalami proses menyerap dan diserap oleh unsur-unsur budaya lokal,











BAB II
PEMBAHASAN
A.    LATAR BELAKANG
Selama zaman VOC kepentingan perdagangan sangat diutamakan sehingga keterlibatan nya dalam perang-perang intern atau konflik-konflik politik dapat dibatasi, maka peranannya lebih bersifat reaktif dan oleh karenanya tidak terlalu agresif. Pada umumnya kedatangan orang asing dalam masyarakat menimbulkan situasi konflik. Dalam menyikapi kedatangan dari bangsa asing tersebut berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah yang lain, ada yang sangat menerima karena berpikiran akan membawa perubahan dalam kondisi saat itu, ada juga yang setengah hati dalam menerima bahkan gigih dalam melawan bangsa asing tersebut, dengan demikian dapat diartikan kedatangan bangsa belanda saat itu mengakibatkan terpecah-pecahnya masyarakat menjadi golongan-golongan.
Semangat loyalitas dan pengabdian yang kuat membuat para pemuka-pemuka ajaran agama dan juga golongan yang membelot kepada belanda berani dan tegas dalam menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah, ideoloi agama atau tradisional tidak hanya menentukan identitas diri sendiri dan kelompoknya tetapi juga dari orang luar dan orang asing. Ditambah lagi dengan faktor ideology dan religiusitas dan kepentingan materil saling memperkuat dan serta mempertajam pertentangan dan konflik dengan belanda.
Banyak sekali konflik-konflik yang terjadi pada bangsa kita ini, dari peristiwa Saparua sampai dengan paling ujung wilayah bangsa kita dengan perang Acehnya, semua reaksi-reaksi yang penuh dengan kekerasan yang sedemikian rupa mempunyai akar permasalahn yang sama yaitu mempunyai nada religious mulai dari keluhan bahwa belanda mempersulit kehidupan beragama sampai proklamasi perang sabil.
Seperti banyak yang terjadi pada gerakan-gerakan kecil, gejala nativisme mulai bermunculan di kalangan masyarakat pribumi sendiri, yaitu dengan menegakkan kembali orde pribumi yang lama. Dengan dampak dan pengaruh daripada belanda yang terus meneus dan sangat intensif kepada masyarakat pribumi serta perubahan social-ekonomi yang menyertainya terciptalah suasana yang tak menentu di antara rakyat pribumi, penuh dengan keguncangan dan kegelisahan melanda. Sehingga rakyat mulai mengalami krisis identitas dari masyarakat maupun dari pribadinya.
Faktor religiusitas sangat diperlukan dalam hal ini akan memperkuat keyakinan mereka untuk terus melawan belanda serta untuk mempertegas sikap dan tindakan, sokongan dan dorongan yang diberikan ideology religious mengenai belanda akan semakin jelas, dengan seruan-seruan yang di kobarkan oleh para pemukanislam menjadi spirit yang menjadikan api semangat bagi pribumi. Belanda adalah kafir yang mengancam kedudukan dar-al-islam. Wajarlah kalau kedatangan mereka pasti dilawan perang sabil , seperti apa yang terjadi di Minangkabau.









B.     CIRI DAN MODEL GERAKAN TRADISIONAL ISLAM
a.      Perang Diponegoro (1825-1830)
              Perang Diponegoro adalah perang pergolakan terbesar yang terakhir dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro sendiri merasa mendapat panggilan untuk menyelamatkan tanah Jawa, suatu tugas yang diterimanya secara mistis oleh Ratu Adil. Gambaran pribadi Pangeran Diponegoro sebagai panatagama (pengatur agama) atau pimpinan sampai saatbterakhir perjuangannya menjadi tuntutannya.
Sebab yang meledakkan perang ialah provokasi yang dilakukan oleh penguasa Belanda seperti merencanakan pembuatan jalan menerobos tanak Pangeran Diponegoro dan membongkar makam keramat dari leluhur Pangeran Diponegoro. Sebagai protes patok-patok untuk pembuatan jalan dicabut dan diganti dengan tombak-tombak. Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, namun usaha tersebut digagalkan oleh barisan rakyat di Tegalrejo. Sementara itu, Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, mereka membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong sebagai basisnya. Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang berlangsung 5 tahun lamanya.
Perang dengan taktik gerilya menyebar luas kemana-mana, di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan dan Sentot Prawirodirdjo. Dengan kewibawaan Kyai Mojo dapat mengerahkan banyak pengikut, terutama dari daerah pajang. Tambahan pula dengan didengungkannya ideologi perang sabil melawan kafir, loyalitas dan semangat berperang semakin hebat.  Perang ini ialah suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat, taktik dan strategi perang yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan, Karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat, karena terserang penyakit malaria, disentri, dan sebagainya yang merupakan musuh yang tak tampak menjadikan lemahnya moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Pada puncak peperangan. Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo pemimpin spiritual pemberontakan ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
b.      Perang Padri (1819-1832)
            Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya,  yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum padri, yang belakangan bersatu.
            Daerah kekuasaan kaum padri meliputi daerah yang sebelumnya adalah wilayah kerajaan Minangkabau. Perang Padri dipimpin oleh Imam Bonjol yang dibantu oleh Tuanku Mudik Padang dan mansiangan. Para penguasa daerah menggabungkan diri dan mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pusat gerakan adalah Bonjol atau Alam Panjang. Dalam menghadapi perjuangan kaum padri, Belanda lama-kelamaan sadar bahwa pada hakikatnya gerakan itu tidak hanya mempertahankan kepentingan agama akan tetapi juga melakukan perlawanan terhadap penetrasi kolonial, sebagai ancaman terhadap kemerdekaan mereka.
            Sejak ditandatangani perjanjian Bonjol 1824, semangat perlawanan tidak mereda melainkan semakin dasyat, karena muncul kelompok yang tidak setuju dengan kaum padri, ialah mereka yang menganggap dirinya keturunan raja-raja Minangkabau atau penghulu-penghulu. Tuntutan kaum padri ialah agar belanda menarik diri dari daerah pedalaman sehingga mereka dapat secara leluasa menyebarluaskan agama dan menegakkan kehidupan beragama didaerah yang sudah Islam. Pos-pos yang didirikan belanda menghadapi ancaman terus-menerus dari kaum padri yang terus melakukan serangan-serangan. Meninggalnya Tuanku nan Gapok pada bulan Februari 1924 karena terbunuh oleh seorang pengikutnya, menimbulkan perpecahan dikalangan kaum padri.
            Pada tanggal 15 November 1925 dapat dilangsungkan perundingan, yang mengkasilkan suatu traktat. Semua permusuhan dihentikan dan kekuasaan Belanda diakui dari pihak kaum padri. Taktik memperluas medan juga ditanggapi oleh Belanda, tetapi serangan-serangan tetap dipusatkan di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Muda terpaksa menyelamatkan diri dan lolos sebelum Bonjol diduduki Belanda pada 21 september 1932.  Akhirnya pada 30 Oktober 1932 menyerahlah Tuanku nan Alahan dan dengan demikian berakhirlah perang padri. Tuanku nan Alahan diangkat menjadi penghulu di Alahan dan pemerintah belanda akan turut menjaga bahwa di Sumatra Barat semua perjudian, adu ayam, dan pemadatan tidak lagi dilakukan oleh rakyat.
c.       Perang Aceh (1873-1912)
            Perang aceh terjadi empat kali. Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan dari berbgai wilayah.
Perang Aceh Kedua (1874-1880), 26 Januari 1874 di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Penyebab Perang Aceh
ü  Belanda menduduki daerah Siak. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
ü  Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824.
ü  Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
ü  Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
ü  Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
ü  Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904). Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).
C.       AKHIR DARI GERAKAN
Bersamaan dengan menurunnya penguasa tradisional dimata publik, di karenakan banyak nya pembunuhan-pembunuhan kepada ulama yang dilakukan oleh belanda, dan pengaruh dari belanda yang semakin bervariasi, berganti-ganti taktik perang agar perlawanan dari pribumi dapat dia atasi, selain itu juga Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik maka pergerakan tradisional islam di Indonesia semakin berkurang dan berakhir dan digantikan dengan kelompok-kelompok pergerakan yang lebih terorganisir  suatu kelompok elit baru muncul dengan menonjol, yaitu para haji dan kyai". Hasyim Asyhari adalah salah satu dari haji dan kyai itu. Perannya dalam kemunculan organisasi Islam modern, Nahdatul Ulama terus dikenang hingga kini.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Perang Diponegoro adalah perang pergolakan terbesar yang terakhir dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro.
Sedangkan Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.
Sedangkan Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.



DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, sartono. Pengantar sejarah Indonesia baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Alfian, Ibrahim. Perang dijalan Allah, perang aceh 1873-1912. Jakarta: pustaka sinar harapan,1987.