Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Friday 26 October 2018

ARKEOLOGI ISLAM; RUMAH TRADISIONAL BATAK


Rumah Tradisional Batak

        Masyarakat Batak terdiri dari sub suku: Karo yang mendiami sebagian besar tanah tinggi Karo dan sebagian besar Dairi, Simalungun dengan daerah induk Simalungun, Pakpak yang mendiami daerah-daerah induk Dairi, Toba yang mendiami sekitar danau toba dan pulau samosir, angkela daerah induk Angkela dan Sipirok dan Mandailing yang mendiami daerah induk Mandailing dan sekitar Padang Lawas. Sebagian besar mereka tinggal didesa-desa. Untuk kesatuan territorial setingkat desa ini bagi orang-orang Batak terdapat berbagai sebutan yakni: huta, kuta, keailumban, sosor, pertahian, urung, pertumpukan.
        Huta didiami oleh kelompok masyarakat yang berasal dari satu klen (Toba), orang Karo menyebutnya kasain. Kuta dalam pengertian Karo lebih besar lingkungan dari Huta (Toba). Mungkin nama huta ini timbul karena desa tersebut dikelilingi parit dan tembok keliling baik dari tanah ataupun dari pohon-pohonan (bambu). Tujuan pembuatan tembok desa berhubungan dengan hal keamanan. Dalam sebuah huta rumah disusun berderet dengan masing-masing memiliki halaman cukup luas dan dapat dimanfaatkan pada pesta-pesta keluarga seperti perkawinan. Di halaman rumah terdapat lumbung padi dan lesung untuk menumbuk padi. Tiap-tiap desa memiliki sebuah balai desa yang dipergunakan untuk siding-sidang pengadilan desa (balai kerapatan). Orang Toba menyebut balai desa ini Partukhoan.
Dalam bahasa batak rumah disebut ruma atau jabu (Toba), rumah (Karo). Orang karo menyebutkan bagian dari rumah ialah jabu. Rumah Batak biasanya didirikan di atas tiang kayu berdinding miring beratap ijuk. Letaknya memanjang dan panjangnya kira-kira 10 samapi 20 meter. Arahnya ialah timur barat. Pintu ditempatkan disisi barat dan timur (Karo dan Simalungun) sedangkan rumah Toba pintunya ditempatkan dibawah (dari kolong). Pada puncak rumah pada deretan yang memanjang ini masing-masing sudut puncak atap dipasang tanda berupa tanduk kerbau atau arca manusia, bentuknya melengkung hampir setengah lingkaran.
Pada rumah Karo ada sedikit keistimewaan yakni mereka membuat serambi semacam teras dari bambu yang tidak kita temukan pada rumah-rumah adat suku lain dari Batak ini. Teras ini disebut ture yang sering dipergunakan untuk pertemuan gadis selaku tuan rumah dengan pemuda yang bertemu ke rumahnya. Rumah ini didiami oleh keluarga batih secara patrialineal. (Pajung Bangun, 1971, 100 – 102).

ARKEOLOGI ISLAM RUMAH TRADISIONAL

Bangunan Rumah Tradisional
        Struktur masyarakat Indonesia jika dilihat dari segi sosial ekonominya dapat dibagi dalam dua kelompok yakni masyarakat agraris ialah pertanian sedang masyarakat maritim pada pelayaran dan perdagangan. Masyarakat agraris yang mencakup sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di desa-desa sedang masyarakat maritim hidup di tepi-tepi pantai. Timbulnya kota-kota di Indonesia pada umumnya terjadi sepanjang pantai dengan beberapa kekecualian kota-kota di pedalaman yang menjadi ibukota kerajaan seperti Mataram dan Majapahit. Tumbuhnya sistem masyarakat kota terjadi sesudah tumbuhnya kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Di pedesaan kelompok masyarakat Indonesia yang terbesar diberbagai pulau kalau kita perhatikan mempunyai beberapa pola persamaan yakni tumbuhnya institusi lembaga desa dengan berbagai nama lokal. Masyarakat desa dipimpin oleh seorang kepala desa atau kepala suku yang dipilih dari antara penduduk yang memiliki pengaruh dan karisma dari lainnya. Mereka biasanya memiliki balai pertemuan umum untuk musyawarahkan segala persoalan yang menyangkut desanya. Bangunan-bangunan rumah dari penduduk pada umumnya berasal dari type yang sama bahkan beberapa keluarga biasanya bergabung dalam satu unit rumah. Berikut ini akan diuraikan secara singkat bangunan-bangunan tradisionil rumah-rumah rakyat dan balai pertemuan umumnya.

A. Bentuk rumah tradisionil Aceh
              Setiap rumah tradisionil di Aceh mempunyai bentuk yang sama. Rumah tersebut berdiri di atas dengan ketinggian sekitar 2,5 M sampai 3 M. Denah bangunan biasanya berebentuk bujursangkar memanjang dengan arah timur barat. Pintu tangga rumah pada umumnya menghadap ke utara atau ke selatan. Atap bangunan terbuat dari rumbia yang dianyam. Tiang terbuat dari batang kayu yang memiliki kwalitas kuat hingga tahan berpuluh-puluh tahun. Dengan demikian karena rumah adat ini berdaya tahan puluhan tahun dapat dipakai oleh beberapa generasi. Lantai terbuat dari papan dan untuk menrangkai susunan bangunan rumah pada rumah-rumah adat tidak dipergunakan paku sama sekali tapi dipergunakan pengikat atau paku dari kayu atau rotan untuk tali pengikat. Di bagian dalam rumah dibagi dalam beberapa ruangan yakni ruang depan, tengan dan belakang. Ruang depan dan belakang dibuat terbuka tanpa sekat. Ruang ini dipergunakan untuk tidur anak-anak baik laki-laki ataupun perempuan yang belum dewasa atau masih bujangan. Ruangan ini juga dapat dimanfaatkan untuk tidur para tetamu yang biasanya dating pada perhelatan perkawinan.
        Ruang tengah letaknya lebih tinggi dari bagian lainnya yang merupakan bagian pokok dari rumah. Di ruang ini yang terbagi atas kamar-kamar terdapat ruang tidur (rumah inong), sedang kalau ada kamar tambahan disebut anjong untuk ayah dan ibu dari keluarga yang bersangkutan. Dapur ditempatkan di bagian belakang rumah.
Untuk para tetamu atau penghuni, rumah yang tradisionil tidak disediakan meja atau kursi melainkan mereka semua duduk di lantai yang telah diberi alas tikar. (Tengku Syamsudin, 1971, 232-233). Struktur masyarakat Aceh terdiri dari kesatuan teritorial mulai dari yang terkecil yakni gampong (kira-kira sama dengan desa di Jawa), mukim (kelompok beberapa desa), dan daerah ulue baling, kemudian sago.
Gampong dikepalai oleh seorang keucik (kepala desa), mukim dipimpin oleh iman mukim yang menjadi koordinator beberapa gampong yang dahulu ada ikatan teritorial berdasarkan keagamaan. Sedang ulue balang mengepalai satu distrik yang pada masa pemerintahan kerajaan Aceh memiliki status otomoni. Struktur ini pada masa sekarang sudah agak berbeda. Status gampong dan keucik masih ada dengan wewenang sama dengan desa di Jawa. Mukim juga masih ada tetapi tinggal status simbul saja karena tidak memiliki fungsi administratif.
Ulue balang juga kini secara administratif tidak ada lagi karena sekarang pemerintahan di Aceh disamakan dengan daerah lainnya yakni kecamatan yang dipimpin oleh seorang camat (kadang-kadang masyarakat Aceh masih sering memakai istilah Asisten Wedana). Untuk balai pertemuan umum yang bersifat terbatas di tiap kampung paling sedikit ada sebuah meunasah yang fungsi sebenarnya dipergunakan untuk sembahyang atau pengajian.