
Rumah Tradisional Batak
Masyarakat Batak
terdiri dari sub suku: Karo yang mendiami sebagian besar tanah tinggi Karo dan
sebagian besar Dairi, Simalungun dengan daerah induk Simalungun, Pakpak yang
mendiami daerah-daerah induk Dairi, Toba yang mendiami sekitar danau toba dan
pulau samosir, angkela daerah induk Angkela dan Sipirok dan Mandailing yang
mendiami daerah induk Mandailing dan sekitar Padang Lawas. Sebagian besar
mereka tinggal didesa-desa. Untuk kesatuan territorial setingkat desa ini bagi
orang-orang Batak terdapat berbagai sebutan yakni: huta, kuta, keailumban,
sosor, pertahian, urung, pertumpukan.
Huta didiami
oleh kelompok masyarakat yang berasal dari satu klen (Toba), orang Karo
menyebutnya kasain. Kuta dalam pengertian Karo lebih besar lingkungan dari Huta
(Toba). Mungkin nama huta ini timbul karena desa tersebut dikelilingi parit dan
tembok keliling baik dari tanah ataupun dari pohon-pohonan (bambu). Tujuan
pembuatan tembok desa berhubungan dengan hal keamanan. Dalam sebuah huta rumah
disusun berderet dengan masing-masing memiliki halaman cukup luas dan dapat
dimanfaatkan pada pesta-pesta keluarga seperti perkawinan. Di halaman rumah
terdapat lumbung padi dan lesung untuk menumbuk padi. Tiap-tiap desa memiliki
sebuah balai desa yang dipergunakan untuk siding-sidang pengadilan desa (balai
kerapatan). Orang Toba menyebut balai desa ini Partukhoan.
Dalam bahasa batak rumah disebut ruma atau jabu (Toba),
rumah (Karo). Orang karo menyebutkan bagian dari rumah ialah jabu. Rumah Batak
biasanya didirikan di atas tiang kayu berdinding miring beratap ijuk. Letaknya
memanjang dan panjangnya kira-kira 10 samapi 20 meter. Arahnya ialah timur
barat. Pintu ditempatkan disisi barat dan timur (Karo dan Simalungun) sedangkan
rumah Toba pintunya ditempatkan dibawah (dari kolong). Pada puncak rumah pada
deretan yang memanjang ini masing-masing sudut puncak atap dipasang tanda
berupa tanduk kerbau atau arca manusia, bentuknya melengkung hampir setengah
lingkaran.
Pada rumah Karo ada sedikit keistimewaan yakni mereka
membuat serambi semacam teras dari bambu yang tidak kita temukan pada
rumah-rumah adat suku lain dari Batak ini. Teras ini disebut ture yang sering
dipergunakan untuk pertemuan gadis selaku tuan rumah dengan pemuda yang bertemu
ke rumahnya. Rumah ini didiami oleh keluarga batih secara patrialineal. (Pajung
Bangun, 1971, 100 – 102).