Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Monday 8 October 2018

Usaha-Usaha Konservasi di Indonesia



Di Indonesia, usaha konservasi terhadap peninggalan-peninggalan warisan budaya diwujudkan dalam bentuk peraturan perundangan yang dikenal dengan nama Monumenten Ordonansi Staatsblad No. 238, tahun 1931. Monumenten Ordonansi ini berisi peraturan-peraturan yang berhubungan dengan benda-benda cagar budaya. Secara garis besar monumen ordonansi tersebut mengatur :
a.    Benda-benda yang memiliki nilai-nilai penting dilihat dari segi budaya, historis dan arkeologis akan dilakukan pendaftaran.
b.    Apabila benda-benda yang sudah terdaftar tersebut akan dipindahtangankan, maka pihak kantor yang berwenang mengurusi peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala, dalam hal ini adalah Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) harus diberi tahu.
c.    Apabila seseorang menemukan benda-benda sejarah dan purbakala supaya melaporkan kepada aparat pemerintah setempat, untuk kemudian diteruskan ke SPSP.
d.    Larangan eksport benda-benda sejarah dan purbakala tanpa izin dari instansi yang berwenang.
e.    Larangan untuk melakukan penggalian terhadap benda-benda sejarah dan purbakala tanpa izin dari pihak yang berwenang.
Untuk lebih memperkuat peraturan-peraturan yang dituangkan di dalam Monumenten Ordonansi tersebut, maka oleh pemerintah kemudian dikeluarkan beberapa instruksi dan keputusan baik setingkat Menteri maupun Presiden. Instruksi pertama dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Jakarta pada tahun 1960 (dengan nomor instruksi) : Per 65/1/7, 6 Februari 1960. Instruksi ditujukan kepada para Gubernur, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Biro Pemerintah Umum Pusat Kota Praja Jakarta Raya. Instruksi berisi tentang himbauan agar aparat pemerintahan di jajaran Departemen Dal;am Negeri mau membantu instansi kepurbakalaan di dalam mengamankan situs-situs kepurbakalaan yang banyak mengalami kerusakan sebagai akibat adanya penggalian liar. Instruksi tersebut kemudian mendapatkan dukungan dari Keputusan Presiden nomor 372 tahun 1962. Keputusan Presiden ini terutama menyangkut peningkatan tugas-tugas kepolisian khusus dari instansi atau jawatan sipil.
Mengenai larangan eksport benda-benda sejarah dan purbakala ke luar negeri, pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan bersama Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (No. 27 A/Kpb/II/1970, No. Kep-62/MK/III/2/1970; No. Kep. 3GBI/1970) telah mengeluarkan Surat keputusan Bersama yang berisi larangan mengeksport barang-barang sejarah dan purbakala dari daerah pabean Indonesia tanpa izin dari departemen Perdagangan atas rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, cq. Direktorat benda-benda purbakala.
Instruksi lain yang berhubungan dengan pengamanan benda-benda purbakala juga telah dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 8/M/1972 dan No. 01/A.1/1973; Instruksi komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban No. Ins.002/KOPKAM/I/1973. Terakhir adalah disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Undang-undang ini kemudian diperkuat dan diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

KONSERVASI ARKEOLOGI

 
A.     Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu memahami pentingnya pelestarian dan konservasi benda-benda purnakala, dan mempunyai sikap untuk selalu melakukan pelestarian dan konservasi terhadap benda-benda tersebut.

B.     Peta Konsep
Data Arkeologi
termasuk

Unrenewable Resources
maka harus

Konservasi/Pelestarian
melalui

Tata-cara & Perundangan

C.     Serambi/Senarai/Current Issues
ياأيها الذين أمنوا اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد
Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang melihat ke masa lampau untuk hari esok.”

D.    Materi Pokok
1.         Pengertian Pelestarian atau Konservasi
Pengertian konservasi pada mulanya berhubungan dengan penggunaan atau pemanfaatan tanah dan sumber-sumber alam, seperti misalnya air, tanaman, binatang dan mineral. Dalam hal ini konservasi dimaksudkan sebagai usaha di dalam memanfaatkan tanah dan sumber-sumber alam secara bijaksana, agar tanah dan sumber-sumber tersebut dapat terpelihara secara baik dan terlindungi, sehingga dapat dimanfaatkan lebih lama. Ide mengenai konservasi ini timbul karena adanya kesadaran bahwa tanah dan sumber-sumber alam di setiap area memiliki ketahanan yang terbatas, sedang tanah dan sumber-sumber alam tersebut merupakan modal dasar bagi kehidupan manusia.
Berdasarkan sifat-sifatnya, tanah dan sumber-sumber alam dapat dibedakan menjadi 2 tipe yaitu renewable dan unrenewable resources. Termasuk tipe pertama, yaitu jenis-jenis vegetasi dan margasatwa. Tanah juga dapat dimasukkan ke dalam tipe pertama, meskipun kadang-kadang karena terjadinya kerusakan yang sangat lambat, dapat diperbaiki atau diperbaharui. Sebaliknya tipe kedua (unrenewable resources) merupakan tipe yang tidak dapat diperbaharui atau digantikan kecuali dalam waktu yang sangat lama. Contoh dari tipe ini antara lain batubara, minyak, gas alam dan biji-biji logam. Meskipun kedua tipe ini mempunyai sifat yang berbeda, akan tetapi keduanya memiliki keterbatasan di dalam pemanfaataannya. Untuk dapat memanfaatkan lebih lama, maka perlu dilakukan usaha-usaha konservasi (World Scope Encyclopedia, Vol. III, 1963 : Funk & Wagnalls New Encyclopedia, Vol. 6, 1972).
Dari titik pandang yang aestetik inilah pengertian konservasi kemudian berkembang menjadi suatu usaha yang ditujukan pada pemeliharaan tanah, hutan, margasatwa dan situs-situs arkeologi dan sejarah. Di Amerika Serikat, usaha ke arah konservasi mulai dicanangkan pada tahun 1872, yang pada waktu itu sedang mengembangkan sistem pertamanan Yellowstone National Park. Perhatian terhadap usaha konservasi ini semakin besar setelah The American Association for the Advancement of Science pada tahun 1873 mengeluarkan sebuah petisi yang ditujukan kepada Congress, yang mencela penggunaan natural resources yang tidak bijaksana. Sejak saat itulah kemudian pemerintah Amerika Serikat mulai menyusun banyak perundangan yang berhubungan dengan konservasi.
             Pada tahun 1891 dikeluarkan undang-undang yang mengatur penggunaan hutan, yang disebut Forest Reserve Act. Berikutnya undang-undang yang mengatur pemanfaatan air, The Reclamation Act dikeluarkan pada tahun 1902. Salah satu bentuk perundangan yang berhubungan dengan peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala baru dikeluarkan pada tahun 1908, disebut The Antiquities Act. Perundangan ini mengatur tentang perlindungan monumen-monumen nasional dan objek-objek benda antik (periksa : Sidharta dan Eko Budihardjo, 1989 : 9, khususnya mengenai Society for the Protection of Ancient Buildings, dan Ancient Monuments Act).
Dari uraian tersebut di atas, maka jelas bahwa di Amerika Serikat usaha-usaha konservasi terhadap berbagai objek sudah dilaksanakan sejak abad 19, sedang untuk objek peninggalan budaya, perhatian terhadap usaha-usaha konservasi secara efektif baru dimulai pada tahun 1906.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan konservasi adalah untuk melindungi objek dari kerusakan atau kemusnahan yang diakibatkan oleh ulah manusia maupun oleh aktivitas alam.

TATA RUANG ETNIS DAN PROFESI DALAM KOTA BATAVIA (ABAD XVII-XVIII)



Sejak jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC (1619), wilayah ini tumbuh menjadi kota pelabuhan yang dirancang dengan konsep modern (Eropa), dan diberi nama Batavia. Par penguasa VOC secara bertahap membangun kota Batavia dengan lay out mengikuti model Eropa yang berbenteng. Ciri kota Batavia yang menonjol meniru kota Amsterdam abad pertengahan, kota-kotanya dikelilingi kanal-kanal dan tekbok kota (Soekmono, 1992/1993).
Sumber sejarah dan diperkuat dengan peta kolonial, memperlihatkan adanya pengelompokan etnis dalam tata ruang kota Batavia. Sampai sekarang nama-nama etnis masih mejadi monumen monologis kota Jakarta, seperti kampung Ambon, Kampung Bugis, Pecinan, dan sebagainya. Pengelompokkan etnis ini juga ditentukan berdasarkan lingkungan yang mendukung profesi, ras dan agama serta efektifitas dan mobilitas. Seperti kelompok etnis yang berprofesi sebagai pedagang ditempatkan atau bermukim di dekat kawasan niaga. Kelompok-kelompok yang berprofesi sebagai pegawai administrasi ditempatkan di wilayah pusat kota yang merupakan kawasan pusat pemerintahan. Dan kelompok yang berprofesi sebagai di bidang pertanian dan perkebunan serta kelompok yang dianggap berpotensi untuk menimbulkan ancaman keamanan di tempatkan di wilayah pinggiran kota.
Akan tetapi karena suatu ras dan agama umumnya merupakan stereotype profesi tertentu, maka profesi dapat dianggap sebagai factor signifikan. Dengan demikian kota Batavia pada abad XVII-XVIII Masehi masih bisa dianggap berciri kota praindustri, dimana tata ruangnya lebih berkaitan dengan aspek-aspek non-fisik, misalnya kepentingan politik, pekerjaan, agama, dan struktur social.
Pemekaran kota Batavia ke wilayah-wilayah pinggiran terutama ke arah selatan lebih dikarenakan oleh factor ekonomi dan kebutuhan akan lingkungan yang sehat. Adanya pemukiman di wilayah pinggiran kota sebenarnya merupakan pendukung perekonomian kota Batavia, yaitu sebagai produsen kebutuhan pokok. Hal ini menunjukkan kontribusi yang cukup besar  dari pemukiman-pemukiman di wilayah pinggiran terhadap dinamika perekonomian puat kota. Dengan demikian dapat dikatakan warga kota yang menetap di wilayah pinggiran  kota secara secara politis tidak dapat dikatakan sebagai kelompok pinggiran  secara hirarkhis dari pusat, meskipun pada dasarnya lokasi pemukiman mereka secara geografis terletak di wilayah batas kota.