Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Tuesday 23 October 2018

ARKEOLOGI ISLAM ; BANGUNAN KRATON



Bangunan Kraton
            Kraton atau Istana dan kadang-kadang juga disebut puri sebagai bagian dari kota atau pusat kota dalam pembangunannya kadang-kadang tidak bisa lepas dari hubungannya dengan kosmologi dan factor-faktor yang bersifat magis-religius.Robert von Heine Golden (R.von Heine Geldern, 195, 6,2-3), menyebutkan bahwa pendirian pusat kerajaan dengan segala aktivitas sosialnya seperti penobatan raja, penobatan pejabat-pejabat kerajaan, upacara adat, pembuatan barang seni dan sebagainya, dihubungkan dengan factor kosmologi berdasarkan literature Kuno terdapat beberapa daerah Asia Tenggara terutama dibagian daerah Asia. Di Indonesia dapat kita temukan beberapa keraton yang dapat dikaitkan hubungannya dengan faktor kosmologi misalnya keraton-keraton yang dilingkari oleh parit buatan selaiin sungai alamiah misalnya keraton Cirebon, Demak, Banda Aceh, Samudra Pasai yang dapat kita lihat bekas-bekasnya.
Kebiasaan tersebut mungkin dapat dihubungkan dengan pembuatan water kasteel di Eropah yang pembuatannya dimaksudkan untuk pertahanan, namun untuk keraton-keraton Indonesia agaknya ada hubungannya dengan factor kosmologi. Unsur-unsur tradisionil dalam pembuatan keraton masa Islam masih memakai nama-nama atau tradisi sebelum Islam seperti sebutan bagian-bagian keraton:Srimanganti, prabasaksa, pendopo, bangsal witana.
              Tata kota tradisionil mudah dikenal di Jawa dengan susunan letak alun-alun di tengah kota dengan masjid di sebelah timur dan utara alun-alun serta jalan-jalan lurus berpotongan membentuk bujur sangkar (W.F. Wartheim, 1956, 147). Yang lebih menarik perhatian ialah bahwa kraton di Jawa pada umumnya menghadap ke utara misalnya kraton kraton Kesepuhan Cirebon, Kanoman (Cirebon), Sorasowan (Banten), Yogyakarta bahkan mungkin juga kraton Demak. Bahkan kraton-kraton di luar Jawa pun kalau kita perhatikan beberapa rumah kraton Kuno saja menghadap ke Utara misalnya kraton Aceh (Banda Aceh), Samudra Pasai, Ternate, Tidore dan kraton Banjar.
              Kompleks bangunan yang termasuk kraton biasanya dipisahkan dari bangunan-bangunan lain oleh tembok keliling, parit atau sungai buatan. Untuk mencapai bagian utama kraton yang disebut “dalem” juga tidak mudah.
              Berita-berita asing menyebutkan untuk memakai kraton-kraton di Indonesia seperti Somba Apu (Sulawesi Selatan) Samudera Pasai dan seterusnya harus melalui pintu gerbang Utama, yang berpenjaga. (Mark Dion; 151, Dag Dupta, 1962, 85-86). Susunan halaman kraton sejak pintu gerbang luar hingga bagian dalam biasanya dibagi tiga bagian. Susunan semacam ini mengingatkan kita pada tradisi akhir Indonesia – Hindia terutama dalam membuat bangunan Candid an pura di Bali (Uka Tjandrasasmita 1975, 157, 58). Berikut ini diuraikan kraton-kraton yang ada di Cirebon, Kotagede dan Banjar. Uraian ini adalah sebagai salah satu contoh model tentang pola kraton di Indonesia. Beberapa kraton atau Istana di Siak (Inderapura) Istana Maimun di Medan yang merupakan Istana kerajaan Deli, kemudian Istana Langkat dan Istana di Kalimantan Barat seperti Istana Sambas, Istana di Sumbawa merupakan pola-pola yang berbeda dengan yang diuraikan berikut, tetapi seperti telah diuraikan terdahulu diantara kraton-kraton atau istana ada persamaan pola yang bersifat magis religius atau bersifat kosmologis.

Kraton Kesepuhan

            Lokasi Kraton Kesepuhan terletak di desa (lingkungan) Lemah Wungkuk. Jika kita mengunjungi Kesepuhan dari jalan Lemah Wungkuk menuju ke selatan lurus, akan berpapasan dengan alun-alun Kraton Kesepuhan. Dari alun-alun, kraton dan kompleks kraton ada di sebelah selatannya. Tradisi menyebutkan bahwa Kraton Kesepuhan adalah kelanjutan atau perkembangan dari Kraton Pakungwati Cirebon. Kraton Pakungwati sudah dipakai oleh raja-raja Cirebon awal yang dimulai oleh Cakrabuana. Pada masa Cakrabuana, Kraton Pakungwati masih belum luas, kini tempat tersebut Dalem Agung yang terletak dibagian timur laut kompleks Kraton Kesepuhan. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Kraton Pakungwati telah diperluas. Nama Pakungwati terus hingga masa pemerintahan Panembahan Ratoe II (GIrilaya). Setelah itu kerajaan dibagi dua yaitu Kraton kesepuhan dan Kraton Kanoman.
            Kraton Kesepuhan menempati kompleks bekas Pakungwati dan tempat ini berkembang terus kea rah selatan. Luas Kraton Kasepuhan mengambil batas tembok kraton (Kutakosod) adalah 400 x 400 m atau 16 hektar. Daerah yang dibatasi tembok tidak termasuk alun-alun dan masjid Agung.
Bagian-bagian Kraton mulai dari depan ialah:
1.      Pancaniti, sebuah bangunan berbentuk joglo bertiang empat dan terbuka (tanpa dinding). Tradisi menempatkan bangunan ini sebagai tempat jaga para prajurit (pos jaga).
2.      Hingga setiap orang yang hendak masuk kraton terlebih dahulu harus berhadapan dengan petugas jaga di Pancaniti. Pancaniti ini ada dua buah yang merupakan bangunan kembar yang terletak di depan pintu masuk.
3.      Dari Pancaniti untuk masuk kraton harus melalui sebuah parit yang dilewati sebuah jembatan gantung. Jembatan ini bernama Pangrawit.
4.      Sitinggil (Lemah Duwur), disebut demikian karena bangunan Sitinggil memang  dibuat pada tempat yang lebih tinggi dari tanah disekitarnya (siti=tanah, inggil=tinggi). Di dalam sitinggil terdapat bangunan-bangunan seperti:
a.       Semar inandu dengan atap bangunan berbentuk persegi empat serta puncaknya berbentuk limas dan memiliki tiang soko sebanyak empat buah. Bangunan ini juga merupakan bangunan terbuka, tradisi menempatkan bangunan ini sebagai tempat penghulu kraton jika audiensi pada raja di Sitinggil.
b.      Malang Semirang berbentuk segi empat dengan tiang soko sebanyak empat buah. Bangunan pondasi ditinggikan dan pada sisi bangunan terdapat pola hias berbentuk geometris. Atapnya terbuat dari sirap dengan puncak atap berbentuk limas juga. Tradisi menempatkan bangunan ini sebagai tempatduduk Sultan jika upacara keagamaan atau upacara pancung.
c.       Pendawa Lima bangunannya berdenah segi empat dengan tiang soko sebanyak empat buah, atapnya dari sirap. Menurut tradisi bangunan ini digunakan oleh patih sebagai tempat tinggal pada upacara resmi yang diselenggarakan di Sitinggil. Tradisi menyebutkan bahwa Sitinggil dipergunakan sebagai tempat audiensi Raja atau Sultan ketika menerima tamu-tamu negara atau juga untuk menyaksikan melaksanakan upacara keagamaan seperti buka puasa atau kalau ada upacara pengadilan yang dilaksanakan di alun-alun yang letaknya persis tepat di depan Sitinggil.
d.      Gamelan Sekati bangunannya berbentuk denah segi empat dengan tiang soko sebanyak empat buah terletak di sudut-sudut bangunan atapnya terbuat dari sirap, bangunan ini digunakan untuk menempatkan gamelan pada upacara-upacara penting.
e.       Pendoedoekan Sultan, tempat ini digunakan sebagai tempat duduk sultan pada saat-saat upacara khusus. Untuk masuk Sitinggil, ada dua pintu masuk (gerbang) berbentuk bentar yang terletak di sisi utara dan sisi selatan. Pada tangga masuk bentar di sisi selatan, disebelah luar tangga terdapat ukiran dari batu berbentuk Banteng. Tradisi kraton menyebutkan ukiran banteng pada tangga masuk ini merupakan Candra Sengkala, berdirinya kraton Pakungwati karena ukiran itu menggambarkan candra sengkala yang berbunyi Banteng Tinata Bata Kuta, 1 (kuta) 3 (bata) 4 (tinata) 7 (banteng) jadi 1347 caka atau 1425 M.
        Di depan bangunan Sitinggil ada lagi sebuah bangunan yang disebut Paseban Pangdada. Bangunan ini dipergunakan juga sebagai tempat jaga para prajurit. Di depan Pangdada pintu gledek, pintu ini berbentuk paduraksa, terdapat dua buah pintu semacam ini, yang satu memakai daun pintu dan yang stunya lagi terbuka tanpa daun pintu. Dahulu terdapat bingkai pintu yang dapat didorong sehingga disebut dengan pintu gledek.
        Di bagian timur laut kompleks kraton terdapat kelompok bangunan yang disebut Dalem Agung Pakungwati. Mengingat namanya, tampaknya bangunan ini merupakan bagian bangunan yang tertua dari kompleks kraton Kasepuhan. Kerajaan Pakungwati merupakan kerajaan Cirebon yang pertama hingga kalau melihat bangunan yang ada di dalam kelompok bangunan Dalem Agung terdapat beberapa bekas bangunan yang tinggal pondasinya saja serta sebuah bangunan yang disebut Karang Pawitan.
        Kompleks ini dulunya lebih merupakan Padepokan yakni tempat tinggal para pendeta atau guru ngaji mengajarkan ilmu-ilmunya. Disebutkan juga bahwa disini dahulu Raden Pawakan yang kemudian menjadi Raja Cirebon, bersama dengan Cakrabuana Sri Manggana memberikan ajaran Islam kepada murid-muridnya. Bangunan ini dilengkapi dengan dua buah sumur yakni sumur upas dan sumur jaya yang digunakan sebagai sumber penyediaan air bagi kompleks kraton ini, seperti untuk sembahyang, mandi dan lain-lain. Disebelah Dalem Agung terdapat lagi bangunan yang disebut Rara Denok, tampaknya bangunan ini dibuat lebih kemudian dan bentuknya hampir mirip dengan bangunan-bangunan di Sunyaragi. Melihat fungsi Rara Denok, merupakan taman sari untuk para putri kraton.
        Pintu yang lazim dipakai adalah pintu gledek, tetapi masih ada pintu lain yaitu jam. Bagian bangunan yang ada setelah pintu gledek adalah: pertama Gedung Singa yang terletak  di sebelah timur pintu tengah. Disebut Gedung Singa adalah karena bangunan ini dipergunakan untuk menyimpan Kereta Singa, sebuah kereta terbuat dari kayu yang bagian kepala dan sayapnya diukir dengan indah. Kereta ini secara tradisionil dipergunakan oleh Sultan untuk upacara-upacara kerajaan. Kereta ini ditarik oleh kerbau yang berwarna putih (kebo bule) disebelah Gedung Singa  terdapat bangunan yang disebut Sri Manganti yakni bangunan tempat para perwira kerajaan jaga.
Disebelah barat pintu terdapat sebuah bangunan lagi yang disebut Lunjuk fungsinya hampir sama dengan Sri Manganti, Sesudah memasuki pintu gledek kita akan berhadapan dengan lapangan rumput yang tengah-tengahnya terdapat singa kembar yang saling berhadapan sambil memeluk gegunungan bermotifkan awan. Kedua singa itu rupanya melambangkan Kesepuhan.
        Bagian terdepan kraton ini, berupa sebuah ruangan terbuka yang disebut Jinem Pangrawit yakni sebuah tempat untuk menerima tamu kraton. Sesudah Jinem Pangrawit terdapat lagi sebuah tempat berupa serambi yang disebut Blandongan Jinem yang digunakan untuk upacara Panjang Jimat. Bagian terbesar dari ruangan setelah Jinem Blandongan adalah sebuah ruangan terbuka yang disebut Pringgodani di ruangan ini dilaksanakan upacara penerimaan tamu kraton. Di selatan bangunan ini terdapat ruangan lagi tempat menyimpan jenazah Sultan, jika terjadi ada Sultan Kesepuhan yang meninggal.
        Sesudah ruangan Pringgodani di sebelah timurnya namunmsih termasuk dalam kompleks bangunan induk, terdapat ruangan yang disebut Dalem Arum, yaitu tempat tinggal Sultan. Disebelah kiri dan kanannya terdapat bangunan yang disebut Jinem Arum, Keputren dan di sebelah kanannya lagi terdapat langgar keciluntuk beribadah bagi keluarga Sultan dan Keputren. Selain bangunan-bangunan tadi, dibagian belakang sekali masih terdapat tanah luas. Disini dibuat taman kraton yang dilengkapi kolam (balong-klanggengan) dan beberapa bukit kecil buatan seperti: Gunung Indrakila, Gunung Srandil, Gunung Semar dan Gunung Jari. Kolam (Balong Klanggrngan) dan bukit kecil (gegunungan) ini dijadikan taman sari dalam kraton.

Sorasowan Banten

        Benteng kraton Serasoan yang luasnya + 4 Ha terletak di bagian selatan lapangan yang terhampar di halaman depan bagian timur masjid Agung Banten. Disudut timur laut terdapat bagian yang agak rusak dengan bagian tembok yang jebol. Disudut luar bagian tenggara terdapat beberapa pohon yang tumbuh yang akar-akarnya mulai mengganggu pondasi ini. Pintu gerbang yang terletak dibagian tengah sisi tembok bagian utara tidak mempunyai daun pintu. Pintu ini merupakan satu-satunya jalan masuk menuju bagian dalam kraton Sorasowan. Dibagian dalam perbentengan tidak tampak bekas bangunan-bangunan karena hampir tertutup oleh tanah atau rumput dan pohon-pohonan. Di atas permukaan tanah dijumpai beberapa potong batu yang merupakan 1 bagian bekas bangunan. Beberapa batu yang dapat diklasifikasikan yang terdapat di atas permukaan tanah yang letaknya di dekat pintu gerbang antara lain: batu-batu bekas tiang, batu-batu bekas bangunan yang berhias ukiran daun-daunan dan beberapa batu bekas bagian fondasi bangunan. Batu-batu ini berserak begitu saja.
        Kraton Sorasowan berdasarkan tradisi dari Babad Banten merupakan Sultan Banten yang dibangun sejak masa Pangeran Hasanuddin (pertengahan abad 16). Pangeran Hasnuddin sendiri mendapat gelar Panembahan Serasowan yang mungkin sekali dihubungkan dengan nama kraton ini. Untuk membuat gambaran tentang bentuk yang pasti tentang kraton ini tidak ada petunjuk yang pasti. Ada beberapa catatan dari orang Belanda yang pernah mengunjungi bagian dalam kraton tapi hal ini belum dapat dijadikan pegangan tentang struktur kraton Sorasowan. Dari catatan Belanda seperti Degregister tersebut dapat diketahui bahwa pada masa peperangan antara Belanda dengan kerajaan Banten dibawah pemerintah Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Abdul Fatah) kraton ini telah dibumihanguskan oleh pasukan kerajaan Banten. Gempa bumi yang diakibatkan meletusnya gunung Krakatau pada tahun 1883 rupanya juga telah menyebabkan bagian dalam kraton ini menjadi tertutup tanah.

Kraton Banjarmasin

        Hikayat Banjar dan Kotawaringin telah memberikan bahan-bahan tentang bentuk kraton pada pola kerajaan dengan struktur penelitiannya. Hingga sekarang di Banjarmasin kita sudah tidak menemukan lagi bekas kraton Banjar demikian juga Kotawaringin. Yang dianggap masjid tertua di Banjarmasin (abad 16) yakni masjid Suriansyah di kampung Tuin (kotamadya Banjarmasin) telah diubah bentuknya terutama bentuk atapnya kini diubah dengan bentuk Kubah, dahulunya bentukny merupakan limas an. Namun tentang bentuk kraton atau istana Banjar dapat kita jumpai dari riwayat Banjarmasin dilenkapi pula dengan struktur jabatan pemerintahan kerajaan Banjar.
        Menurut Hikayat Banjar istana yang pertama dibuat oleh kerajaan Banjar diperuntukkan untuk Ampu Jatmika yang dianggap cikal bakal raja-raja Banjar. Istana ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan lain untuk pejabat kerajaan yang menjadi pembantu Ampu Jatmika seperti tempat tinggal untuk Ara Magatsari, Tumenggung Tatah Jiwa dan Wirawaartas. Istana ini dari Ampu Jatmika dilengkapi dengan Balairung yang disebut Sitilohor yang terletak di bagian luar istana. Sesudah itu dibuat pula Pengadapan atau paseban dan dilengkapi dengan perbendaharaan atau pengagungan dan kemudian di bagian dalam dibuat bangunan istana untuk raja. Negeri itu kemudian diberi nama Nagaradipa dengan Ampu Jatmika sebagai raja dengan gelar maharaja di Candi. (J.J.Ras, 1960, 236, 238). Istana ini kemudian diperluas dan baru pindah pada pemerintahan raja Banjar yang pertama yakni Pangeran Samudra. Pada umumnya susunan birokrasi kerajaan pada kerajaan Banjar mencapai puncak pada abad 17 hingga 19. Dalam urusan pemerintahan Sultan dibantu oleh seorang Mangkubumi atau patih yang bertindak sebagai kepala pelaksana pemerintahan. Jabatan ini dipegang oleh keluarga dekat dari raja.
        Dibawah jabatan mangkubumi terdapat jabatan mantra panganan, mantra pangiwa, mangku bumi dan 40 mantri sikap. Mantri panganan dan pangiwa bertugas mengurus bidang militer sedang mantra bumi dan mantra sikap bertugas mengurus perbendaharaan istana raja. Jabatan-jabatan semacam ini dengan varisai nama mengingatkan kita pada susunan jabatan pada pemerintahan jabatan kerajaan Mataram Islam terutama ketika Mataram mencapai puncaknya dibawah Sultan Agung (1613-1645). Raja-Raja Banjar juga menempatkan tradisi memakamkan Sultan-Sultan dari kerajaan Banjar pada komplek makam khusus. Kalau kita melihat bentuk serta gaya hiasan makam raja-raja Banjar awal seperti Pangeran Samudra (Sultan Sariansyah) serta makam sekitarnya maka bentuk nisan makam raja Samudra dan bentuk nisan makam tokoh agama yang menjadi penghulu kerajaan Banjar yang oleh penduduk setempat disebut khatib Dayan mirip dengan gaya makam-makam raja Demak yang terletak di sisi Utara masjid Agung Demak. Hal ini dimungkinkan karena catatan sejarah terutama hikayat Banjar menyebutkan bahwa masa penerintahan Pangeran Samudra terdapat hubungan erat antara Banjar dan Demak serta Giri (gresik).

Kraton Kota Gede

Dalam melengkapi data-data tentang pola-pola ibukota kerajaan yang berbentuk kraton ini, untuk mengambil salah satu pola kraton yang terletak di pedalaman kita perlu mempelajari pola kraton Mataram (abad 16 – 18). Ada beberapa sisa peninggalan kraton Mataram awal yakni Kota Gede dan Kartasura, sedangkan kraton Plered yang dibuat masa Amangkurat I sudah hampir punah dan sangat susah untuk dikenal dan untuk meneliti bentuk kraton tersebut, ada sebuah peta yang merupakan sketsa dari kraton Plered. Sumber sejarah yang menyebutkan sejarah Mataram, kita dapatkan pada Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa yang menjadi pusat atau ibukota kerajaan Mataram adalah Kota Gede. Nama lain dari Kota Gede ialah Pasar Gede atau oleh penduduk setempat sering disingkat Sargede.
        Dalam perkembangan, kemudian ibukota Mataram sempat berpindah sebanyak dua kali yakni Kerto dan Plered. Sebelum perpindahan secara lengkap ibu kota dari Kota Gede ke Kerto makam Plered sudah terlebih dahulu menempati kedudukan ibukota kedua, sedang ibukota Mataram yang terakhir adalah Kartasura berlangsung hingga 1746 M. Dari keempat ibukota kerajaan Mataram awal tersebut, tiga ibukota yang pertama terletak di wilayah Mataram (Yogyakarta sekarang), sedangkan Kartasura neburut tradisi babad terletak diluar wilayah Mataram ini.
        Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pendirian kerajaan Mataram dimulai pada saat penyerahan wilayah Mataram oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mataram yakni cikal bakal dinasti Mataram. Pemberian daerah Mataram terhadap Ki Ageng Pemanahan adalah sebagai hadiah atas kemenangannya dalam pertikaian keluarga antara Sultan Pajang dengan Adipati Jipang (Arya Penagsang). Perkotaan kota Gede yang didirikan sebagai pusat pemerintahan Wilayah berkembang terus, terutama pada masa pemerintahan pengganti Ki Ageng Pemanahan yakni Panembahan Senopati. Panembahan Senopati memerintah wilayah ini menggantikan ayahnya dari tahun 1575 – 1601 M telah mendirikan perbentengan dan tembok kota pada saat mana ia mulai mengembangkan kekuasaan dan akhirnya dapat merebut hegemoni kekuasaan dari Kesultanan Pajang.
        Kota Gede sebagai ibukota kerajaan Mataram berlangsung sampai pada masa pemerintahan Sultan Agung, cuc dan pengganti kedua dari Panembahan Senopati. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung dari tahun 1613 – 1645 M, Sultan Agung merencanakan memindahkan ibukota kerajaan ke Kerto, rencana tidak sempat terselesaikan. Putra dan pengganti Sultan Agung (I) yang memerintah kerajaan dari tahun 1646 – 1677 M, memindahkan ibukota kerajaan baik dari Kota Gede maupun dari Kerta ke Plered. Plered sebagai ibukota kerajaan Mataram berlangsung sampai tahun 1681 M pada saat mana Sultan Ingalaga menyerahkan kekuasaannya kepada Sultan Amangkurat II setelah adanya kemelut Trunajaya teratasi. Sultan Amangkurat II meneruskan pemerintahan kerajaan Mataram dan beribukotakan di Kartasura.
                        Pada decade ketiga dari abad ke 10, bekas ibukota kerajaan di Kerto untuk beberapa waktu muncul kembali dalam percaturan pertikaian tahta kerajaan. Kerto dijadikan ibukota kerajaan Mataram Tandingan oleh P. Purbaya dan P. Blitar. Pangeran yang terakhir ini naik tahta kerajaan tandingan ini dan mengadakan aksi militer untuk merebut tahta kerajaan yang diduduki oleh sultan Amangkurat IV, kakaknya sendiri. Nama Karta dirubah menjadi Kertasekar. Pada akhirnya aksi militer ini gagal dan nama kerta tenggelam kembali.