
Bangunan Kraton
Kraton atau Istana dan kadang-kadang
juga disebut puri sebagai bagian dari kota atau pusat kota dalam pembangunannya
kadang-kadang tidak bisa lepas dari hubungannya dengan kosmologi dan
factor-faktor yang bersifat magis-religius.Robert von Heine Golden (R.von Heine
Geldern, 195, 6,2-3), menyebutkan bahwa pendirian pusat kerajaan dengan segala
aktivitas sosialnya seperti penobatan raja, penobatan pejabat-pejabat kerajaan,
upacara adat, pembuatan barang seni dan sebagainya, dihubungkan dengan factor
kosmologi berdasarkan literature Kuno terdapat beberapa daerah Asia Tenggara
terutama dibagian daerah Asia. Di Indonesia dapat kita temukan beberapa keraton
yang dapat dikaitkan hubungannya dengan faktor kosmologi misalnya keraton-keraton
yang dilingkari oleh parit buatan selaiin sungai alamiah misalnya keraton
Cirebon, Demak, Banda Aceh, Samudra Pasai yang dapat kita lihat bekas-bekasnya.
Kebiasaan
tersebut mungkin dapat dihubungkan dengan pembuatan water kasteel di Eropah yang
pembuatannya dimaksudkan untuk pertahanan, namun untuk keraton-keraton Indonesia
agaknya ada hubungannya dengan factor kosmologi. Unsur-unsur tradisionil dalam
pembuatan keraton masa Islam masih memakai nama-nama atau tradisi sebelum Islam
seperti sebutan bagian-bagian keraton:Srimanganti, prabasaksa, pendopo, bangsal
witana.
Tata kota
tradisionil mudah dikenal di Jawa dengan susunan letak alun-alun di tengah kota dengan masjid di
sebelah timur dan utara alun-alun serta jalan-jalan lurus berpotongan membentuk
bujur sangkar (W.F. Wartheim, 1956, 147). Yang lebih menarik perhatian ialah
bahwa kraton di Jawa pada umumnya menghadap ke utara misalnya kraton kraton
Kesepuhan Cirebon, Kanoman (Cirebon), Sorasowan (Banten), Yogyakarta bahkan
mungkin juga kraton Demak. Bahkan kraton-kraton di luar Jawa pun kalau kita
perhatikan beberapa rumah kraton Kuno saja menghadap ke Utara misalnya kraton
Aceh (Banda Aceh), Samudra Pasai, Ternate,
Tidore dan kraton Banjar.
Kompleks bangunan yang termasuk
kraton biasanya dipisahkan dari bangunan-bangunan lain oleh tembok keliling,
parit atau sungai buatan. Untuk
mencapai bagian utama kraton yang disebut “dalem” juga tidak mudah.
Berita-berita
asing menyebutkan untuk memakai kraton-kraton di Indonesia seperti Somba Apu
(Sulawesi Selatan) Samudera Pasai dan seterusnya harus melalui pintu gerbang
Utama, yang berpenjaga. (Mark Dion; 151, Dag Dupta, 1962, 85-86). Susunan
halaman kraton sejak pintu gerbang luar hingga bagian dalam biasanya dibagi
tiga bagian. Susunan semacam ini mengingatkan kita pada tradisi akhir Indonesia
– Hindia terutama dalam membuat bangunan Candid an pura di Bali (Uka
Tjandrasasmita 1975, 157, 58). Berikut ini diuraikan kraton-kraton yang ada di
Cirebon, Kotagede dan Banjar. Uraian
ini adalah sebagai salah satu contoh model tentang pola kraton di Indonesia.
Beberapa kraton atau Istana di Siak (Inderapura) Istana Maimun di Medan yang
merupakan Istana kerajaan Deli, kemudian Istana Langkat dan Istana di
Kalimantan Barat seperti Istana Sambas, Istana di Sumbawa merupakan pola-pola
yang berbeda dengan yang diuraikan berikut, tetapi seperti telah diuraikan
terdahulu diantara kraton-kraton atau istana ada persamaan pola yang bersifat
magis religius atau bersifat kosmologis.
Kraton Kesepuhan
Lokasi
Kraton Kesepuhan terletak di desa (lingkungan) Lemah Wungkuk. Jika kita
mengunjungi Kesepuhan dari jalan Lemah Wungkuk menuju ke selatan lurus, akan
berpapasan dengan alun-alun Kraton Kesepuhan. Dari alun-alun, kraton dan
kompleks kraton ada di sebelah selatannya. Tradisi menyebutkan bahwa Kraton
Kesepuhan adalah kelanjutan atau perkembangan dari Kraton Pakungwati Cirebon.
Kraton Pakungwati sudah dipakai oleh raja-raja Cirebon awal yang dimulai oleh
Cakrabuana. Pada masa Cakrabuana, Kraton Pakungwati masih belum luas, kini
tempat tersebut Dalem Agung yang terletak dibagian timur laut kompleks Kraton
Kesepuhan. Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, Kraton Pakungwati telah
diperluas. Nama Pakungwati terus hingga masa pemerintahan Panembahan Ratoe II
(GIrilaya). Setelah itu kerajaan dibagi dua yaitu Kraton kesepuhan dan Kraton
Kanoman.
Kraton
Kesepuhan menempati kompleks bekas Pakungwati dan tempat ini berkembang terus
kea rah selatan. Luas Kraton Kasepuhan mengambil batas tembok kraton
(Kutakosod) adalah 400 x 400 m atau 16 hektar. Daerah yang dibatasi tembok
tidak termasuk alun-alun dan masjid Agung.
Bagian-bagian Kraton mulai
dari depan ialah:
1.
Pancaniti,
sebuah bangunan berbentuk joglo bertiang empat dan terbuka (tanpa dinding). Tradisi
menempatkan bangunan ini sebagai tempat jaga para prajurit (pos jaga).
2.
Hingga setiap orang yang
hendak masuk kraton terlebih dahulu harus berhadapan dengan petugas jaga di
Pancaniti. Pancaniti ini ada dua buah yang merupakan bangunan kembar yang
terletak di depan pintu masuk.
3.
Dari Pancaniti untuk masuk
kraton harus melalui sebuah parit yang dilewati sebuah jembatan gantung. Jembatan
ini bernama Pangrawit.
4.
Sitinggil (Lemah Duwur),
disebut demikian karena bangunan Sitinggil memang dibuat pada tempat yang lebih tinggi dari
tanah disekitarnya (siti=tanah, inggil=tinggi). Di dalam sitinggil terdapat
bangunan-bangunan seperti:
a.
Semar inandu dengan atap
bangunan berbentuk persegi empat serta puncaknya berbentuk limas dan memiliki
tiang soko sebanyak empat buah. Bangunan ini juga merupakan bangunan terbuka,
tradisi menempatkan bangunan ini sebagai tempat penghulu kraton jika audiensi
pada raja di Sitinggil.
b.
Malang
Semirang berbentuk segi empat dengan tiang soko sebanyak empat buah. Bangunan
pondasi ditinggikan dan pada sisi bangunan terdapat pola hias berbentuk
geometris. Atapnya terbuat dari sirap dengan puncak atap berbentuk limas juga.
Tradisi menempatkan bangunan ini sebagai tempatduduk Sultan jika upacara
keagamaan atau upacara pancung.
c.
Pendawa
Lima bangunannya berdenah segi empat dengan tiang soko sebanyak empat buah,
atapnya dari sirap. Menurut tradisi bangunan ini digunakan oleh patih sebagai
tempat tinggal pada upacara resmi yang diselenggarakan di Sitinggil. Tradisi
menyebutkan bahwa Sitinggil dipergunakan sebagai tempat audiensi Raja atau
Sultan ketika menerima tamu-tamu negara atau juga untuk menyaksikan
melaksanakan upacara keagamaan seperti buka puasa atau kalau ada upacara
pengadilan yang dilaksanakan di alun-alun yang letaknya persis tepat di depan
Sitinggil.
d.
Gamelan
Sekati bangunannya berbentuk denah segi empat dengan tiang soko sebanyak empat
buah terletak di sudut-sudut bangunan atapnya terbuat dari sirap, bangunan ini
digunakan untuk menempatkan gamelan pada upacara-upacara penting.
e.
Pendoedoekan
Sultan, tempat ini digunakan sebagai tempat duduk sultan pada saat-saat upacara
khusus. Untuk masuk Sitinggil, ada dua pintu masuk (gerbang) berbentuk bentar
yang terletak di sisi utara dan sisi selatan. Pada tangga masuk bentar di sisi
selatan, disebelah luar tangga terdapat ukiran dari batu berbentuk Banteng.
Tradisi kraton menyebutkan ukiran banteng pada tangga masuk ini merupakan
Candra Sengkala, berdirinya kraton Pakungwati karena ukiran itu menggambarkan
candra sengkala yang berbunyi Banteng Tinata Bata Kuta, 1 (kuta) 3 (bata) 4
(tinata) 7 (banteng) jadi 1347 caka atau 1425 M.
Di depan
bangunan Sitinggil ada lagi sebuah bangunan yang disebut Paseban Pangdada.
Bangunan ini dipergunakan juga sebagai tempat jaga para prajurit. Di depan
Pangdada pintu gledek, pintu ini berbentuk paduraksa, terdapat dua buah pintu
semacam ini, yang satu memakai daun pintu dan yang stunya lagi terbuka tanpa
daun pintu. Dahulu terdapat bingkai pintu yang dapat didorong sehingga disebut
dengan pintu gledek.
Di bagian
timur laut kompleks kraton terdapat kelompok bangunan yang disebut Dalem Agung
Pakungwati. Mengingat namanya, tampaknya bangunan ini merupakan bagian bangunan
yang tertua dari kompleks kraton Kasepuhan. Kerajaan Pakungwati merupakan
kerajaan Cirebon yang pertama hingga kalau melihat bangunan yang ada di dalam
kelompok bangunan Dalem Agung terdapat beberapa bekas bangunan yang tinggal
pondasinya saja serta sebuah bangunan yang disebut Karang Pawitan.
Kompleks ini
dulunya lebih merupakan Padepokan yakni tempat tinggal para pendeta atau guru
ngaji mengajarkan ilmu-ilmunya. Disebutkan juga bahwa disini dahulu Raden
Pawakan yang kemudian menjadi Raja Cirebon, bersama dengan Cakrabuana Sri
Manggana memberikan ajaran Islam kepada murid-muridnya. Bangunan ini dilengkapi
dengan dua buah sumur yakni sumur upas dan sumur jaya yang
digunakan sebagai sumber penyediaan air bagi kompleks kraton ini, seperti untuk
sembahyang, mandi dan lain-lain. Disebelah Dalem Agung terdapat lagi bangunan
yang disebut Rara Denok, tampaknya bangunan ini dibuat lebih kemudian dan
bentuknya hampir mirip dengan bangunan-bangunan di Sunyaragi. Melihat fungsi
Rara Denok, merupakan taman sari untuk para putri kraton.
Pintu yang
lazim dipakai adalah pintu gledek, tetapi masih ada pintu lain yaitu jam.
Bagian bangunan yang ada setelah pintu gledek adalah: pertama Gedung Singa yang
terletak di sebelah timur pintu tengah.
Disebut Gedung Singa adalah karena bangunan ini dipergunakan untuk menyimpan
Kereta Singa, sebuah kereta terbuat dari kayu yang bagian kepala dan sayapnya
diukir dengan indah. Kereta ini secara tradisionil dipergunakan oleh Sultan
untuk upacara-upacara kerajaan. Kereta ini ditarik oleh kerbau yang berwarna
putih (kebo bule) disebelah Gedung Singa
terdapat bangunan yang disebut Sri Manganti yakni bangunan tempat para
perwira kerajaan jaga.
Disebelah barat pintu terdapat sebuah bangunan lagi yang
disebut Lunjuk fungsinya hampir sama dengan Sri Manganti, Sesudah memasuki
pintu gledek kita akan berhadapan dengan lapangan rumput yang tengah-tengahnya
terdapat singa kembar yang saling berhadapan sambil memeluk gegunungan
bermotifkan awan. Kedua singa itu rupanya melambangkan Kesepuhan.
Bagian
terdepan kraton ini, berupa sebuah ruangan terbuka yang disebut Jinem Pangrawit
yakni sebuah tempat untuk menerima tamu kraton. Sesudah Jinem Pangrawit
terdapat lagi sebuah tempat berupa serambi yang disebut Blandongan Jinem yang
digunakan untuk upacara Panjang Jimat. Bagian terbesar dari ruangan setelah
Jinem Blandongan adalah sebuah ruangan terbuka yang disebut Pringgodani di
ruangan ini dilaksanakan upacara penerimaan tamu kraton. Di selatan bangunan
ini terdapat ruangan lagi tempat menyimpan jenazah Sultan, jika terjadi ada
Sultan Kesepuhan yang meninggal.
Sesudah
ruangan Pringgodani di sebelah timurnya namunmsih termasuk dalam kompleks
bangunan induk, terdapat ruangan yang disebut Dalem Arum, yaitu tempat tinggal
Sultan. Disebelah kiri dan kanannya terdapat bangunan yang disebut Jinem Arum,
Keputren dan di sebelah kanannya lagi terdapat langgar keciluntuk beribadah
bagi keluarga Sultan dan Keputren. Selain bangunan-bangunan tadi, dibagian
belakang sekali masih terdapat tanah luas. Disini dibuat taman kraton yang
dilengkapi kolam (balong-klanggengan) dan beberapa bukit kecil buatan seperti:
Gunung Indrakila, Gunung Srandil, Gunung Semar dan Gunung Jari. Kolam (Balong
Klanggrngan) dan bukit kecil (gegunungan) ini dijadikan taman sari dalam
kraton.
Sorasowan Banten
Benteng
kraton Serasoan yang luasnya + 4 Ha terletak di bagian selatan lapangan
yang terhampar di halaman depan bagian timur masjid Agung Banten. Disudut timur
laut terdapat bagian yang agak rusak dengan bagian tembok yang jebol. Disudut
luar bagian tenggara terdapat beberapa pohon yang tumbuh yang akar-akarnya
mulai mengganggu pondasi ini. Pintu gerbang yang terletak dibagian tengah sisi
tembok bagian utara tidak mempunyai daun pintu. Pintu ini merupakan satu-satunya jalan masuk menuju
bagian dalam kraton Sorasowan. Dibagian dalam perbentengan tidak tampak bekas
bangunan-bangunan karena hampir tertutup oleh tanah atau rumput dan
pohon-pohonan. Di atas permukaan tanah dijumpai beberapa potong batu yang
merupakan 1 bagian bekas bangunan. Beberapa batu yang dapat diklasifikasikan
yang terdapat di atas permukaan tanah yang letaknya di dekat pintu gerbang
antara lain: batu-batu bekas tiang, batu-batu bekas bangunan yang berhias
ukiran daun-daunan dan beberapa batu bekas bagian fondasi bangunan. Batu-batu
ini berserak begitu saja.
Kraton
Sorasowan berdasarkan tradisi dari Babad Banten merupakan Sultan Banten yang
dibangun sejak masa Pangeran Hasanuddin (pertengahan abad 16). Pangeran
Hasnuddin sendiri mendapat gelar Panembahan Serasowan yang mungkin sekali
dihubungkan dengan nama kraton ini. Untuk membuat gambaran tentang bentuk yang
pasti tentang kraton ini tidak ada petunjuk yang pasti. Ada beberapa catatan
dari orang Belanda yang pernah mengunjungi bagian dalam kraton tapi hal ini
belum dapat dijadikan pegangan tentang struktur kraton Sorasowan. Dari catatan
Belanda seperti Degregister tersebut dapat diketahui bahwa pada masa peperangan
antara Belanda dengan kerajaan Banten dibawah pemerintah Sultan Ageng Tirtayasa
(Sultan Abdul Fatah) kraton ini telah dibumihanguskan oleh pasukan kerajaan
Banten. Gempa bumi yang diakibatkan meletusnya gunung Krakatau pada tahun 1883
rupanya juga telah menyebabkan bagian dalam kraton ini menjadi tertutup tanah.
Kraton Banjarmasin
Hikayat
Banjar dan Kotawaringin telah memberikan bahan-bahan tentang bentuk kraton pada
pola kerajaan dengan struktur penelitiannya. Hingga sekarang di Banjarmasin
kita sudah tidak menemukan lagi bekas kraton Banjar demikian juga Kotawaringin.
Yang dianggap masjid tertua di Banjarmasin (abad 16) yakni masjid Suriansyah di
kampung Tuin (kotamadya Banjarmasin) telah diubah bentuknya terutama bentuk
atapnya kini diubah dengan bentuk Kubah, dahulunya bentukny merupakan limas an.
Namun tentang bentuk kraton atau istana Banjar dapat kita jumpai dari riwayat
Banjarmasin dilenkapi pula dengan struktur jabatan pemerintahan kerajaan
Banjar.
Menurut
Hikayat Banjar istana yang pertama dibuat oleh kerajaan Banjar diperuntukkan
untuk Ampu Jatmika yang dianggap cikal bakal raja-raja Banjar. Istana ini
dikelilingi oleh bangunan-bangunan lain untuk pejabat kerajaan yang menjadi
pembantu Ampu Jatmika seperti tempat tinggal untuk Ara Magatsari, Tumenggung
Tatah Jiwa dan Wirawaartas. Istana ini dari Ampu Jatmika dilengkapi dengan
Balairung yang disebut Sitilohor yang terletak di bagian luar istana. Sesudah
itu dibuat pula Pengadapan atau paseban dan dilengkapi dengan perbendaharaan
atau pengagungan dan kemudian di bagian dalam dibuat bangunan istana untuk
raja. Negeri itu kemudian diberi nama Nagaradipa dengan Ampu Jatmika sebagai
raja dengan gelar maharaja di Candi. (J.J.Ras, 1960, 236, 238). Istana ini
kemudian diperluas dan baru pindah pada pemerintahan raja Banjar yang pertama
yakni Pangeran Samudra. Pada umumnya susunan birokrasi kerajaan pada kerajaan
Banjar mencapai puncak pada abad 17 hingga 19. Dalam urusan pemerintahan Sultan
dibantu oleh seorang Mangkubumi atau patih yang bertindak sebagai kepala
pelaksana pemerintahan. Jabatan ini dipegang oleh keluarga dekat dari raja.
Dibawah jabatan mangkubumi terdapat
jabatan mantra panganan, mantra pangiwa, mangku bumi dan 40 mantri sikap. Mantri panganan dan pangiwa bertugas mengurus bidang militer
sedang mantra bumi dan mantra sikap bertugas mengurus perbendaharaan istana
raja. Jabatan-jabatan semacam ini dengan varisai nama mengingatkan kita pada
susunan jabatan pada pemerintahan jabatan kerajaan Mataram Islam terutama
ketika Mataram mencapai puncaknya dibawah Sultan Agung (1613-1645). Raja-Raja Banjar juga menempatkan tradisi memakamkan
Sultan-Sultan dari kerajaan Banjar pada komplek makam khusus. Kalau kita
melihat bentuk serta gaya hiasan makam raja-raja Banjar awal seperti Pangeran
Samudra (Sultan Sariansyah) serta makam sekitarnya maka bentuk nisan makam raja
Samudra dan bentuk nisan makam tokoh agama yang menjadi penghulu kerajaan
Banjar yang oleh penduduk setempat disebut khatib Dayan mirip dengan gaya
makam-makam raja Demak yang terletak di sisi Utara masjid Agung Demak. Hal ini
dimungkinkan karena catatan sejarah terutama hikayat Banjar menyebutkan bahwa
masa penerintahan Pangeran Samudra terdapat hubungan erat antara Banjar dan
Demak serta Giri (gresik).
Kraton Kota Gede
Dalam melengkapi data-data tentang pola-pola ibukota
kerajaan yang berbentuk kraton ini, untuk mengambil salah satu pola kraton yang
terletak di pedalaman kita perlu mempelajari pola kraton Mataram (abad 16 –
18). Ada beberapa sisa peninggalan kraton Mataram awal yakni Kota Gede dan
Kartasura, sedangkan kraton Plered yang dibuat masa Amangkurat I sudah hampir
punah dan sangat susah untuk dikenal dan untuk meneliti bentuk kraton tersebut,
ada sebuah peta yang merupakan sketsa dari kraton Plered. Sumber sejarah yang
menyebutkan sejarah Mataram, kita dapatkan pada Babad Tanah Jawi menyebutkan
bahwa yang menjadi pusat atau ibukota kerajaan Mataram adalah Kota Gede. Nama
lain dari Kota Gede ialah Pasar Gede atau oleh penduduk setempat sering
disingkat Sargede.
Dalam
perkembangan, kemudian ibukota Mataram sempat berpindah sebanyak dua kali yakni
Kerto dan Plered. Sebelum perpindahan secara lengkap ibu kota dari Kota Gede ke
Kerto makam Plered sudah terlebih dahulu menempati kedudukan ibukota kedua,
sedang ibukota Mataram yang terakhir adalah Kartasura berlangsung hingga 1746
M. Dari keempat ibukota kerajaan Mataram awal tersebut, tiga ibukota yang
pertama terletak di wilayah Mataram (Yogyakarta sekarang), sedangkan Kartasura
neburut tradisi babad terletak diluar wilayah Mataram ini.
Babad Tanah
Jawi menyebutkan bahwa pendirian kerajaan Mataram dimulai pada saat penyerahan
wilayah Mataram oleh Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian
lebih dikenal dengan sebutan Ki Ageng Mataram yakni cikal bakal dinasti
Mataram. Pemberian daerah Mataram terhadap Ki Ageng Pemanahan adalah sebagai
hadiah atas kemenangannya dalam pertikaian keluarga antara Sultan Pajang dengan
Adipati Jipang (Arya Penagsang). Perkotaan kota Gede yang didirikan sebagai
pusat pemerintahan Wilayah berkembang terus, terutama pada masa pemerintahan
pengganti Ki Ageng Pemanahan yakni Panembahan Senopati. Panembahan Senopati
memerintah wilayah ini menggantikan ayahnya dari tahun 1575 – 1601 M telah
mendirikan perbentengan dan tembok kota pada saat mana ia mulai mengembangkan
kekuasaan dan akhirnya dapat merebut hegemoni kekuasaan dari Kesultanan Pajang.
Kota Gede
sebagai ibukota kerajaan Mataram berlangsung sampai pada masa pemerintahan
Sultan Agung, cuc dan pengganti kedua dari Panembahan Senopati. Pada masa
pemerintahannya yang berlangsung dari tahun 1613 – 1645 M, Sultan Agung
merencanakan memindahkan ibukota kerajaan ke Kerto, rencana tidak sempat
terselesaikan. Putra dan pengganti Sultan Agung (I) yang memerintah kerajaan
dari tahun 1646 – 1677 M, memindahkan ibukota kerajaan baik dari Kota Gede
maupun dari Kerta ke Plered. Plered sebagai ibukota kerajaan Mataram
berlangsung sampai tahun 1681 M pada saat mana Sultan Ingalaga menyerahkan
kekuasaannya kepada Sultan Amangkurat II setelah adanya kemelut Trunajaya
teratasi. Sultan Amangkurat II meneruskan pemerintahan kerajaan Mataram dan
beribukotakan di Kartasura.
Pada decade ketiga dari
abad ke 10, bekas ibukota kerajaan di Kerto untuk beberapa waktu muncul kembali
dalam percaturan pertikaian tahta kerajaan. Kerto dijadikan ibukota kerajaan
Mataram Tandingan oleh P. Purbaya dan P. Blitar. Pangeran yang terakhir ini
naik tahta kerajaan tandingan ini dan mengadakan aksi militer untuk merebut
tahta kerajaan yang diduduki oleh sultan Amangkurat IV, kakaknya sendiri. Nama
Karta dirubah menjadi Kertasekar. Pada akhirnya aksi militer ini gagal dan nama
kerta tenggelam kembali.