1.
Bangunan Makam
Salah satu hasil budaya Indonesia
dari masa Indonesia Islam yang cukup menonjol ialah nisan (Nisan) Kubur.
Sebagai satu hasil seni rupa Indonesia, maka dari segi arsitektur dan
filsafahnya unsur pokok dari Nisan-Nisan di Indonesia merupakan satu kelanjutan
dari masa-masa sebelumnya yakni dari masa prasejarah yang disambung kemasa
Hindu-Islam (Recuffaer, 1932, 515 – 657). Nisan kubur ini lebih dikenal dengan
sebutan makam. Pengertian makam disini adalah suatu sistim penguburan untuk
orang muslim dimana di atas permukaan tanah dari tokoh yang dikuburkan lazim
dibuat bangunan yang pada umumnya berbentuk persegi panjang dengan terletak
arah Utara – Selatan.
Dalam membuat makam ini maka sangat sering ditampilkan
ragam hias dengan pola-pola tertentu. Sebenarnya hukum Islam menetapkan bahwa
untuk bangunan makam hendaknya dibuat sesederhana mungkin, asal ada bukti tanda
tokoh yang dimakamkan umpamanya sepotong batu atau sepotong kayu sudah cukup.
Pembuatan makam yang berlebih-lebihan dengan berbagai macam ragam hias dianggap
sebagai mubadzir sehingga makruh.
Namun
demikian aspirasi manusia yang ingin menampilkan hasil karya seni dengan
membuat berbagai ragam hias pada bangunan makam, dapat kita lihat diberbagai
tempat di dunia, misalnya makam Tajmahal di Agra, Chol Khumbaz di Rijapur
(India) dan demikian juga di berbagai tempat di Indonesia. Dilihat dari sudut
ilmu bangunan makam memiliki tiga unsur yang menjadi kelengkapan satu dengan
lainnya yakni kijing (jirat), yakni dasar atau subasmen yang berbentuk persegi
panjang dan dengan berbagai variasi kadang-kadang diberi tambahan sudut dan
hiasan tangan dalam bentuk simbar (antefix). Kemudian di atasnya pada sudut
puncak bagian utara dan selatan (jirat inti) tradisi menempatkan-menempatkan
pada utara-selatan; diletakkan nisan (nisan) dari batu, kayu, logam. Nisan ini
ada yang dipasang pada bagian kepala saja (utara) atau kedua-duanya kepala dan
kaki yakni utara dan selatan. Jirat dengan nisan ini kadang-kadang
diperlengkapi pula dengan bangunan pelindung yang disebut Cungkup. Tentang
pengertian nisan atau nisan jika dilihat segi-segi etimologi telah diuraikan
oleh beberapa ahli. Wilkinson berpendapat bahwa nisan atau nisan adalah variasi
kata bahasa Persia yang artinya tanda. Hidding menyatakan bahwa nisan berasal
dari kata paesan yaitu cermin untuk berhias, dimana kata paes artinya hias.
L.Ch.
Damais mengajukan pendapat bahwa kata nisan berasal dari kata Sanskerta: mahisa
(kerbau). Pada zaman pra Hindu terdapat tradisi untuk memasak atau menegakkan
batu semacam menhir dengan disertai upacara pemotongan kerbau. Tradisi semacam ini hingga kini masih terdapat pada
masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan. (L.Ch. Damais, 1957 – 359 dan
seterusnya). Selain kata nisan atau nisan terdapat juga istilah lokal khususnya
di Jawa untuk bangunan sejenis dengan sebutan tengar (Jawa) atau tetenger
(Sunda) atau tunggal (Sunda).
Tentang bentuk-bentuk dari nisan atau nisan ditampilkan
berbagai bentuk serta ragam hias, bentuk-bentuk tersebut antara lain bentuk
phallus, meru, lingga dan jirat (krinjing) terdapat berbagai pola hias
berbentuk ukiran daun-daunan (floral decoration) yang ditambah dengan
simbar-simbar pada susut-susut dan jiratnya juga banyak yang dibuat berundak.
Pada cungkup bangunan banyak dibuat berbagai hiasan, baik
pada tiang-tiang bangunan, pada dinding cungkup dan pada atap cungkup
(plapond). Berbentuk ragam hias yang menonjol ialah ragam hias ilmu ukur
(geomeris) seperti tiga, tumpul, salib Yunani, kurawal dan sebagainya. Hal ini
memberikan suatu fakta bahwa hingga perkembangan Islam di Indonesia dalam
melahirkan hasil karyanya seni tetap
terjadi pembaharuan berbagai aspek seni masa pra-Islam.
Nisan
kubur berbentuk phalus kita temukan di berbagai tempat, misalnya di Tanggerang,
Angke, Kalimantan Barat. Bentuk jirat yang menyerupai punden berundak kita
temukan pada makam-makam di Sulawesi Selatan, Banten, Cirebon, Madura. Pola
hias berbentuk daun-daunan kita temukan di cungkup makam Sunan Gunung Jati,
Cungkup makam Sunan Giri, cungkup makam Kudus. Kompleks makam di Aer Mata (
Bangkal).
Pola hias berupa sulur dan daun mempunyai kaitan dengan
filsafat ruang lingkup manusia dalam siklus kosmis dan pandangan ini terdapat
pada konsepsi Hindu. (FDK Bosch. 1960, 139).
Demikian juga lambang meru yang ditemukan misalnya pada
makam-makam di Madura merupakan satu perlambang dari alam kosmis dimana alam
kedewataan mempunyai satu alam lain yang menguasai dunia dengan kerajaan yang
bersifat kedewataan.
Dilihat dari sudut kesenian semata, maka semua karya seni
hias pada makam ini adalah satu pengungkapan dari seniman dalam berupa gagasan
yang dituangkan dalam bentuk garis warna dan irama dimana kesenian adalah pernyataan
dari kebudayaan.
Unsur-unsur yang ada pada beberapa nisan kubur di
Indonesia dapat digolongkan dalam dua kelompok tahun yang menyerap unsur
Indonesia asli dan kelompok kedua ialah yang unsur-unsur dari luar Indonesia.
Pengaruh
Gujarat tampak pada nisan yang ada di Pasai dan Gresik yakni nisan dar
Nahrisyah yang wafat pada tahun 831 M (1428 M) H. M. Zainuddin, 1961, 52)
kemudian nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yakni yang wafat pada tahun 822
M atau 1419 M. (JP. Moquette, 204, 214).
Unsur yang tidak bersifat fisik seperti dalam bentuk nisan yang sudah
jadi seperti pada nisan tersebut di atas ialah syair yang termuat pada nisan
berbentuk syair Persia, syair tersebut ditulis pda makam Naina Hasanuddin di
Pasai yang wafat pada 823 H = 1420 M yang pada makam tersebut termuat syair
bergaya Ibnu Sa’adi.
Demikian juga pola hias bunga-bungaan memberi gambaran
tentang persamaannya dengan hiasan-hiasan pada permadani ataupun sajadah buatan
Persia yang sudah dikenal dunia sejak abad 6 M. Tentang persamaan nisan di
Pasai dan Gresik ini tidak hanya ada persamaan dengan Cambay (Gujarat) dalam
bentuk bahan dan bentuknya saja tetapi juga model tulisan dan isi tulisan yang
dipahatkan pada nisan tersebut adalah sama kecuali bagian kosong yang khusus
disediakan untuk nama yang wafat.
Selain
unsur lokal pada beberapa bentuk makam di Jawa terdapat unsur lokal yang
berasal dari masa Hindu baik dari bentuknya maupun dari pola hiasannya. Sebagai
contoh yang paling nyata ialah pada beberapa wawsan yang berasal dari Troloyo
(Mojokerto). Ada sebuah nisan berangka tahun caka 1379 atau 1457 M yang
memiliki bentuk kurawal yang bentuknya mirip lengkung kala makara dengan
disertai hiasan tumpal dan kelopak padma dan daun-daunan yang telah digayakan.
Garis lengkung yang berbentuk kurawal ini mengingatkan kita pintu gerbang Candi
yang berbentuk kala makara. (FDK Bosch, 23-50). Pada bangunan Candi Sukuh
terdapat relief yang menggambarkan tokoh wayang yang pada tepi reliefnya diberi
hiasan berbentuk meander. Bentuk rorana yang berakhir dengan kala makara
perlambang hubungan dunia atas (alam kedewataan) dan dunia bawah (alam
duniawi). Hal ini merupakan perlambang dari konsep kosmis yakni jagat raya yang
dikelilingi air.
Unsur lain yang dianggap
sebagai kelanjutan tradisi Hindu ialah bentuk-bentuk makam yang berbentuk meru
atau gunungan. Kekayon atau gunungan ini merupakan pelindung (prabba) dari
nisan khususnya nisan bagian utara (kepala). Meru atau gunungan dapat
dihubungkan dengan bentuk bangunan punden berundak. Bangunan punden berundak,
atau gunung, bukit pohon yang tinggi rimba raya dalam pandangan masyarakat dari
zaman prasejarah merupakan perlambang dari perwujudan alam semesta. Terdapat
anggapan pada masyarakat tradisionil bahwa sesudah mati untuk arwah manusia
terdapat alam lain atau kehidupan lanjutan tempat para arwah menyatu dengan
penguasa-penguasa alam. Arwah berada dipuncak-puncak gunung, puncak pohonan, di
langit dan matahari yang semuanya itu perlu perlambangan dalam bentuk makam
yang diberi pola hias tertentu sebagai perlambangan semesta.
Kalau kita
meninjau fungsi yang sebenarnya nisan makam dalam pengertian Islam hanya
sederhana saja yakni sebagai tanda tentang Islam simati, dimana tanda tersebut
yang disebut nisan diletakkan pada kepala dan kaki. Ada juga beberapa nisan
yang hanya diberi tanda pada bagian kepala saja misalnya makam Nahrisyah,
Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Selain
itu letak dari orang yang dikuburkan harus membujur arah utara selatan dengan
muka ke Kiblat. Kalau kita melihat kenyataan bahwa beberapa makam tokoh
tertentu baik tokoh keagamaan maupun tokoh raja mendapat perlakuan yang
berlebih-lebihan dari masyarakat dengan seringnya diziarahi maka kesan demikian
ada yang bersifat penghormatan karena karisma dari tokoh yang meninggal atau
karena memang tradisi masyarakat masih berdasarkan pola tradisionil masa
sebelum Islam yakni adanya kesan pemujaan kepada arwah nenek-moyang. Berikut
ini diuraikan tentang beberapa kompleks makam Kuno di Cirebon, dan semua dapat
sama sebagai salah satu model makam-makam Kuno di Indonesia.
Astana Gunung Jati.
Di desa
Astana yang letaknya di Km. 5 arah Cirebon – Jakarta pada sisi kiri dan kanan
jalan terdapat dua kompleks makam, yakni kompleks makam Sunan Gunung Jati
(Gunung Sembung) dan makam syeh Datu Kahfi (Gunung Jati). Untuk masuk ke
kompleks makam Syeh Datu Kahfi tidak begitu sukar, letaknya ada di timur jalan
raya dan tanahnya berbukit dengan banyak pepohonan tinggi. Dari jalan raya
terdapat jalan setapak terbuat dari semen dan dapat ditempuh dari dua arah, dari sudut barat laut dan tenggara jalan
setapak ini bertingkat-tingkat sampai ke Kompleks makam. Makam utama adalah
makam Syeh Datu Kahfi yang merupakan guru dari Sunan Gunung Jati. Selain makam
tersebut juga masih ada jalan ke puncak bukit yang disebut pusar bumi. Puncak
bukit ini merupakan dataran tinggi, tampaknya bekas puncak yang berlava tetapi
kini telah tidak berfungsi lagi.
Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa pada masa lalu disini dipasang menara
api dan tempat ini dinamakan Muhara Jati yang merupakan pelabuhan yang ramai.
Agaknya tempat ini merupakan daerah awal dari pelabuhan Cirebon yang dikepalai
oleh seorang juru labuhan. Ditempat ini juga Syeh Datu Kahfi menghimpun
murid-murid dan mengajarkan Islam. Disebelah barat jalan raya ada jalan masuk sekitar
5000 meter ke dalam dan melalui jalam tersebut kita akan sampai ke kompleks
makam Sunan Gunung Jati yang ada di Bukit (gunung) Sembung. Di halaman depan
terdapat dua bangunan terbuat dari kayu jati berdenah segi empat. Bangunan ini
dikenal sebagai Mande Jajar yang
merupakan hadiah dari raja Pajajaran kepada Sunan Gunung Jati. Bangunan ini
dibangun pada tahun 1401 Caka atau 1479 M. Sebuah bangunan yang hampir sama
bentuknya juga terbuat dari kayu jati tersebut Bale Manggu Demak. Bangunan ini
dihadiahkan oleh Ratu Nyawa dari Demak untuk penghormatan kepada suaminya yakni
putera Sunan Gunung Jati yang meninggal dalam perjalanan dari Cirebon ke Demak
karena kapalnya yang ditumpangi karam ditengah lautan dan terdampar di Mundu.
Tokoh ini mendapat gelar Pangeran Brata Kelana atau Sa’dang Lautan (yang
meninggal di laut) (Atja, 1972). Bangunan ini dibuat pada tahun 1402 Caka atau
1480 M.
Dari halaman luar kita akan memasuki sebuah pintu pertama
yang berbentuk bentar. Setelah melalui pintu pertama dengan melalui tangga maka
terdapat pintu kedua yang disebelahnya terdapat pintu kedua yang disebelahnya
terdapat bak air untuk mengambil air wudhu atau mencuci kaki. Setelah melewati
tangga, kita akan berhadapan dengan balai tempat para pengurus makam. Para
pengurus makam ini semuanya berpakaian adat tradisionil Jawa yakni bertutup
kepala ikat atau blangkon dari kain batik dan kain kutung dari kain putih,
kemudian memakai lagi kain batik. Menurut tradisionil, para pengurus makam ini
adalah para keturunan dari Adipati yang kapalnya terhampar di Cirebon dan
kemudian mereka membaktikan diri pada Sunan Gunung Jati yang pada waktu itu
menjadi raja Cirebon. Adipati Keling yang juga bergelar Pangeran Suramenggala.
Pernah juga membantu Fadilah Khan sebagai salah seorang Panglimanya ketika
menyerang Sunda Kelapa yang setelah ditaklukkan oleh Fadilah Khan diubah
namanya jadi Jayakarta (Atja, 1972).
Keturunan
Adipati Keling ini oleh Sultan Cirebon, sultan Kesepuhan dan Sultan Kanoman
diberi kepercayaan menjadi pengurus makam Sunan Gunung Jati. Makam Sunan Gunung
Jati Berada di sebuah bukit yang bernama Gunung Sembung, sedang makam Sunan
Gunung Jati sendiri, dalam kompleks makam itu berada pada puncak atau tingkat
Kesepuhan. Selain Sunan Gunung Jati, disini dinamakan juga Syarifah Medan (Rara
Santang, ibu kandung Sunan Gunung Jati), Pangeran Pasarean dan Fadilah Khan
atau Ki Bagus Pase. Makam ini diberi bercungkup dan disisi kiri dan kanan makam
terdapat kompleks makam Sultan-Sultan Sepuh (sebelah timur) dan makam
Sultan-Sultan Kanoman (disebelah barat). Kompleks makam ini tidak boleh
dikunjungi oleh orang luar selain keluarga Sultan sendiri. Untuk masyarakat
umum hanya diperbolehkan ziarah sampai pintu ketiga atau pintu pengsujudan.
Kepala
dari pengurus makam disebut Jeneng ia mempunyai sejumlah pembantu dan pegawai
yang sehari-hari mengurus dan mengatur kebersihan makam mengatur yang akan
ziarah. Jeneng tersebut dalam tugasnya dibantu oleh 4 orang bekel tua dan 8
orang bekel enom. Bekel tua dan bekel enom itu dibantu lagi oleh 108 orang wong
Kraman, yang tugas sehari-harinya membersihkan seluruh kompleks makam. Pembagian
tugas sehari-hari para pengurus itu diatur sebagai berikut: Jeneng adalah
pemimpin umum yang mengatur agar peziarah ke makam dapat berlangsung lancar ia
juga melaksanakan doa arwah bagi peziarah yang dating atas perintah Sultan. Jeneng juga mengantar tamu-tamu yang datang atas undangan
Sultan, baik Sultan Kesepuhan maupun Sultan Kanoman.
Bekel
tua yang keempat tiap dua minggu masing-masing memimpin 2 bekel enom dan 12
wong kraman bertugas selama satu minggu karena jumlah mereka sekaliannya 108
orang dan dilakukan bergilir. Sehingga setiap bekel mendapat tugas khusus
selang dua bulan selama dua minggu. Selain jeneng dan sekalian stafnya itu, di
dalam kompleks makam juga terdapat masjid Gunung Jari yang dipimpin oleh
seorang penghulu yang dibantu oleh 12 pembantu pegawai masjid. Baik jeneng,
Bekel tua, Bekel enom, Kraman, Penghulu selain mempunyai tugas mengurus makam
juga sewaktu-waktu dapat membantu tugas-tugas di Kraton atas perintah Sultan,
baik Sultan Kanoman maupun Sultan Kesepuhan.
Makam Malik as
Shaleh:
Makam
ini terletak di Meunasah Beringin, Kec. Samudra
pada tepi jalan sisi sebelah kiri arah Gendong – Kutakarang. Di tempat ini
terdapat dua buah makam yakni: pada sisi barat terdapat makam Malik as Shaleh
yang wafat pada bulan Ramadhan tahun 696 H, atau 1297 M. Disebelahnya pada sisi timur terdapat makam Sultan yang kedua
dari kerajaan Samudra Pasai yakni: Muhammad al Malik al Thahir yang wafat pada
malam Ahad 1 Dzulhijjah 726 H, atau 1326 M.
Makam Nahrisyiah:
Kompleks ini di Kutakarang, mukim Elang Mc, Kec.
Samudra, kira-kira 4 Km dari Geudong. Pada saat ini dari sekian banyak makam
yang ada di kompleks makam sudah ada sebuah makam yang terindah di Aceh yang
terbuat dari batu marmer type Cambay (Gujarat). Type makam semacam ini di Indonesia hanya ada dua buah
yakni: makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik (wafat 1419 M). dan di Kutakarang.
Yang lebih penting lagi ialah tentang tokoh yang dimakamkan. Ternyata pada batu
nisan ini disebutkan lima tokoh raja yang memerintah kerajaan Samudra-Pasai.
Dari batu nisan tersebut Sultan yang memerintah ialah:
·
Sultan Malik as Shaleh
·
Sultan
Muhammad Ibnu al Malik as Shaleh
·
Sultan Ahmad Ibnu Muhammad ibn
Malik as Shaleh
·
Sultan Zainal Abidin ibn
Sultan Ahmad ibn Muhammad abn Malik as Shaleh.
·
Sultan Nahrisah berbangsa
Hadyu binti Sultan Zainal Abidin.
Sultan
Nahrisyiah wafat hari Senin 14 Dzulhijjah, th 811 H., atau 1428 M. Dengan
demikian makam Nahrisyah ini menarik perhatian bukan saja bentuknya yang
merupakan bentuk makam yang indah, tetapi juga telah memberikan bahan informasi
sejarah kerajaan Samudra-Pasai dari akhir abad 13 M sampai dengan permulaan
abad 15 M (1297 – 1428 M) satu kurun waktu sejarah Samudra-Pasai yang bertahta dengan
lima orang raja.