Modernisasi tidak hanya milik masyarakat yang
bermukim di daerah perkotaan saja, sekarang ini sentuhan – sentuhan modernisasi
telah menjalar ke berbagai pelosok daerah, hal ini dimungkinkan dengan adanya
sarana dan prasarana dibidang telekomunikasi yang amat memudahkan kehidupan
manusia. Begitupun dengan masyarakat pertanian, yang umumnya identik dengan
daerah pedesaan tidak luput dari euphoria akan modernisasi, masyarakat
pertanian yang dulunya dianggap terbelakang dalam penyerapan dan penguasaan
akan teknologi dalam berbagai bentuk kini mau tidak mau sangat membuthkan
sentuhan teknologi dalam aktivitas pertanian.
Dalam peradaban manusia, teknologi
sudah banyak membantu kehidupan manusia hingga detik kini. Masih ingat
bagaimana manusia purba yang hidup ratusan tahun yang lalu dalam menggunakan
kapak yang terbuat dari pecahan batu saat hendak memotong atau megupas sesuatu.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman, teknologi dikembangkan
untuk membuat hidup lebih baik, efisien, dan mudah. Penggunaan pecahan batu
mulai ditinggalkan yang kemudian mulai tergantikan dengan potongan besi/baja
atau sekarang kita sebut dengan pisau. Singkat kata, teknologi merupakan upaya
manusia dalam membuat kehidupannya menjadi lebih sejahtera, lebih baik, lebih
mudah, lebih enak dan seribu 'lebih' lainnya.
Tak bisa dihindari, manusia selalu
hidup bersama teknologi. Sudah jutaan manusia yang hidupnya terbantu oleh
kemajuan teknologi. Tidak hanya masyarakat yang hidup diperkotaan,
masyarakat yang mendiami daerah-daerah terpencil pun kini sudah merasakan
kemajuan teknologi. Bagaimana para petani yang biasanya membajak sawah
menggunakan kerbau, kini mulai beralih menggunakan alat membajak dengan
menggunakan mesin. Para nelayan tidak lagi melaut hanya mengandalkan tiupan
angin. Mereka sudah mulai menggunakan mesin motor untuk melaut. Dengan adanya
teknologi, sudah tak terhitung berapa orang warga desa yang terbantu hidupnya.
Dalam bekerja, mereka semakin lebih mudah.
Hadirnya
teknologi di desa, secara tidak langsung meningkatkan kemampuan produksi,
memberikan nilai tambah pada komoditas lokal unggulan (local content),
menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Tidak hanya itu saja, teknologi menciptakan kelompok-kelompok usaha mandiri
yang berkemampuan dalam kegiatan ekonomi produktif. Teknologi membuat desa
semakin maju.
Pada
umumnya teknologi yang banyak diserap dan digunakan oleh masyarakat desa adalah
Teknologi Tepat Guna (TTG). Ciri khas yang paling mendasar dari TTG adalah
dapat dibuat dengan biaya yang relatif murah, cara membuatnya sangat mudah, dan
menggunakan sumber-sumber daya setempat. Jenis TTG yang banyak digunakan
cenderung merupakan alat atau mesin yang menunjang sektor pertanian, peternakan,
perikanan, kesehatan, pengolahan pangan, pengelolaan air, sanitasi, dan sampah,
pengelolaan masakan, tanaman obat dan sebagainya. Secara teknis,
TTG merupakan jembatan antara teknologi tradisional dan teknologi maju. Namun
sayangnya ketergantungan terhadap Bahan Bakar
Minyak
(BBM) makin hari semakin tinggi. Memang, Indonesia memiliki sumber daya alam
yang sangat melimpah. Namun jika tidak bisa dapat mengatur dalam pemanfaatan
sumber energi seefisien mungkin, bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan Indonesia
akan menjadipengimpor energi.
Maka
untuk mewujudkan kemandirian energi pada tahun 2025 seperti diamanatkan dalam
PP 5 Tahun 2006, sudah saatnya kita untuk mencari sumber energi alternatif/
baru. Salah satunya adalah memanfaatkan biji jarak untuk dijadikan biodiesel.
Bisakah terwujud?
Berawal
dari harga minyak dunia yang tinggi hingga mencapai 40 US $ per barel hingga
pasokan minyak tanah di seluruh Indonesia yang mulai seret, maka dicari solusi
produk baru sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM). Ditemukan biji jarak
yang bisa dijadikan biodiesel. Untuk tingkat paling sederhana biji jarak bisa
longsung dipakai untuk memasak dengon menggunakan kompor biji jarak. Karena
fungsi biji jarak sebagai pengganti sumbu kompor don minyak.
Dalam
kondisi itu, diperlukan tindokan cepat dan cermat. Maka keluarlah Pepres No.5
tentang kebijakan Energi Nasional, kemudian disusul dengan Inpres No.1 tahun
2006 tentang bahan bakar nabati. Semua itu dilakukan dalam rongka mencari bahan
bakar nabati pengganti BBM. Hal ini diielaskan oleh Dra. Anna Gurning, Msi.,
Kasi Rehabilitasi Lingkungan pada Dirjen PMD. "Dengan dasar
itulah pertengahan tahun 2006 Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyorakatdan
Desa (Ditjen PMD) mencetuskan Desa Mandiri Energi (DME)" jelasnya.
Meskipun
dasar hukum mengenai DME sudah jelas, namun tetap saja ada hambatan. Salah satu
yang menjadi masalah klasik adalah masalah perdanaan. Sehingga DME tidak bisa
diterapkan secara serempak ke seluruh desa yang ada di Indonesia.
"Akhirnya kami pilih lima lokasi untuk dijadikan pilot project di
Indonesia," paparnya.
Pada
Tahun 2007 terpilih 5 daerah yang dijadikan pilot project yaitu Banten, Jawa
Barat, Lampung, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tenggora. Tahun 2008 terpilih 5
lokasi daerah. Dan pada tahun 2009 terpilih 4 lokasi daerah DME. Ada tiga acuan
yang digunakan dalam rangka penentuan desa lokasi DME, kata Anno Gurning.
Pertama, data dari Badan Pusat Statistik, jumlah data miskin di Indonesia yang
lebih dominan. Kedua, banyaknya lahan kritis (Badan Planologi, Departemen
Kehutanan). "Ketiga, data dari departemen pertanian mengenai lahan untuk
kesesuaian jarak pagar." paparnya.
Untuk
menghasil pohon jarak dengan kondisi baik, Ditjen PMD melakukan kerjasama dan
koordinator dengan Departemen Pertanian. Karena DME yang dimulai pada 2007
targetnya harus mencapai tiga ribu desa. Untuk membuat semangat, DME selalu
melakukan lomba. Rencana ke depan adalah Ditjen PMD tidak menambah desa lagi,
tapi menjadikan 14 desa pilot project menjadi desa DME. Jika lima desa saja
dapat menjadi desa DME maka itu merupakan prestasi yang bagus. Untuk mencapai
tujuan tersebut akan dilakukan pembinaan yang intensif. "Dengan cara kita
lebih mengandalkan konsultasi dan dialog ke Pemda, agar investasi yang sudah
diberikan tidak sia-sia," kata Anna Gurning.
Tahun
depan, direncanakan akan dilakukan pembagian kompor biji jarak kepada warga
desa. Jadi minimal desa pilot project DME sudah menggunakan kompor biji jarak.
Dengan begitu akan menjadi contoh pada desa pilot project lainnya untuk menanam
dan menggunakan biji jarak pagar. Untuk desa percontohan pohon jarak pagar yang
buahnya dalam kondisi bagus di Desa Gunung Jati, Serang-Jawa Barat. Seandainya
jarak pagar tidak termanfaatkan, tapi kondisi positifnya adalah lahan kritis
sudah tidak ada karena sudah ditanam pohon jarak pagar.
Buah Jarak Primadona Energi
Buah Jarak Primadona Energi
Ada
pun mekanisme penyaluran biji jarak ke masyarakat sebagai berikut, setelah
pemilihan lokasi untuk desa yang akan menjadi pilot project DME, Dirjen PMD
atas nama menteri mengirim surat ke Bupati masing-masing wilayah untuk
menentukan desa lokasi DME dengan kriteria yang ditentukan. "Setelah
dilakukan evaluasi pada desa yang telah ditunjuk Bupati, baru program
dikucurkan mulai dari memberikan buah biji jarak ke petani, memberikan upah, memberikan
mesin, serta memberikan pelatihan. Hingga pemanfaatan dan pemeliharaan
mesin," ucapnya.
Lantaran
Ditjen PMD yang menentukan desa lokasi untuk pilot project DME maka "sense
of belonging" dari masyarakat desa kurang. "Kecuali mereka yang
menulis proposal untuk dijadikan desa pilot project, karena rasa memilikinya
sudah ada," pungkasnya. Ada pun lahan yang diperlukan untuk menanam
biji jarak adalah seluas 16 hektar. 16 Ha tersebut dibagi-bagi lagi menjadi 1
.hektar untuk pembenihan, 5 hektar untuk kebun induk serta 10 hektar untuk
demonstration plot (demplot) atau area percontohan. "Tapi pada prakteknya
hanya 15 hektar. Untuk 1 hektar jika cara menanamnya dengan cara monokultur
dibutuhkan 1 kg biji jarak, yang akan menghasilkan 1.000 pohon. Estimasinya
yong tumbuh sekitar 800 pohon," jelasnya.
Meskipun
demikian pada waktu mesin akan diturunkan, pohon jarak belum berbuah serta
koordinasi lintas sektor di daerah kurang. Itulah satu dari sekian kendala yang
dihadapi. Akibatnya, pohon jarak tidak menghasilkan buah sesuai masa kerjanya,
yaitu dalam waktu 6 bulan pohon jarak akan menghasilkan buah 250 kg dari lahan
1 hektar. "Pohon jarak akan maksimal setelah 3 tahun. Dengan catatan harus
dirawat karena akan menghasilkan buah yang banyak", lanjut Anna.
Berpikir Jangka Pendek
Disamping
itu, tidak mudah bagi mereka untuk memberikan pemahaman tentang DME kepada
warga desa. Sebab, warga desa umumnya hanya berpikir jangka pendek. "Warga
desa hanya berpikir tanam, jual dan dapat uang. Mereka tidak berpikir biji
jarak itu dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari," sambungnya.
Padahal waktu yang dipakai untuk mencari kayu bakar bisa dipakai untuk kegunaan
yang lain. "Uang yang dipakai untuk koyu bakar bisa dipakai untuk kebutuhan
yang lain. Semuanya itu berar+i mengurangi beban masyarakat/tuturnya.
"Kami secara bertahap ingin mengubah pola pikir warga desa. Dengan ada
DME, beban pengeluaran masyarakat miskin bisa berkurang. Mereka tidak menjarah
dan merusak hutan untuk mencari kayu bakar. "Ini berarti warga desa sudah
memberikan kontribusi untuk mengurangi pemanasan global (global
warming),"pungkasnya. Karena terbiasa dengan pikiran instan, sementara
satu sisi DME merupakan proses mulai dari penyiapan lahan, penyemaian, penanaman
dan perawatan, DME seakan jalan ditempat. Namun bagaimana pun, DME merupakan
investasi yang harus dilakukan mulai sekarang.
Dari
5 lokasi yang dijadikan pilot project poda 2007, kata Anna Gurning sudah
menghasilkan. Tapi pada kenyataan sampai saat ini belum maksimal. "Ini
karena koordinasi dan perhatian Pemda kepada program DME itu kurang. Mereka
menganggap bahwa ini bukan program prioritas. Kalaupun bahan bakar sampai saat
ini terjangkau tapi persediaannya hanya untuk 20 tahun," ujarnya. Ada pun
lokasi DME yang benar-benar berhasil ada di Lampung Timur. Ini karena animo dan
binaan dari Pemda sangat intensif. Timbul pemikiran baru, bagaimana caranya ke
depan agar semua program dapat berjalan sebagaimana adanya karena kecenderungan
untuk membuat pemahaman bahwa DME bukan program pusat melainkan merupakan
program nasional.
Sumber:
Jurnal Terpadu Depdagri.