Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Friday 28 September 2018

TAKSONOMI ILMU ARKEOLOGI



A.     Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu memahami cara pandang arkeolog dan arsitek terhadap benda-benda purbakala dalam dimensi ruang, waktu, dan bentuk., serta mampu menerapkannya terhadap hasil-hasil arsitektur prasejarah, klasik, dan Islam.

B.    

 
Peta Konsep
Peradaban Islam
M  A  N  U  S  I  A

 

 

Waktu                         Ruang                         Bentuk

 
A  R  S  I  T  E  K  T  U  R

Antropologi                 Arkeologi                     Sejarah

C.     Serambi/Senarai/Current Issues
Arkeologi Islam dan Kajian Islam Indonesia
(Jajat Burhanuddin)

            Menggali sisa-sisa peninggalan manusia di masa lampau. Itulah ciri utama sebuah kajian arkeologi. Setidaknya, itulah yang segera terpikir saat seseorang berbicara tentang arkeologi. Sebagai ilmu bantu sejarah, arkeologi bekerja terkonsentrasi pada horizon waktu dalam sejarah umat manusia, dimana bukti-bukti tertulis belum ditemukan; suatu horizon waktu yang kemudian dikenal sebagai “pra-sejarah”, dimana perangkat analisa dan metodologi sejarah tidak memungkinkan untuk bekerja (V. Gordon Childe, Piecing Together the Past: the Interpretation of Archaeological Data, New York: Praeger, 1956). Arkeolog bertugas memberi penjelasan terhadap benda-benda peninggalan umat manusia yang sudah terkubur, sehingga benda-benda tersebut kemudian bisa berfungsi sebagai sumber penulisan sejarah.
....................................................................................................................................................................   
            Dengan demikian dalam konteks sejarah Islam Indonesia, seperti bisa diduga, arkeologi-sejarah memiliki tingkat relevansi yang jauh lebih besar daripada arkeologi-pra-sejarah. Sejak awal perkembangannya, sejarah Islam di Indonesia telah meninggalkan sejumlah besar dokumen-dokumen tertulis (written documents), khususnya berupa teks-teks sastra seperti di dunia Melayu yang dikenal dengan istilah hikayat, dan di Jawa yang biasa disebut babad. Teks-teks sastra ini merupakan bukti telah lahirnya tradisi tulis-baca dalam perkembangan awal Islam di Indonesia. Bahkan, untuk konteks Jawa, tradisi ini telah lahir sebelum kedatangan Islam. Tanah Jawa telah melahirkan sejumlah besar dokumen tertulis sejak masa Hindhu-Budha, yang kemudian mengalami perkembangan lebih lanjut -atau untuk lebih tepatnya perumusan kembali- pada masa Islam. Oleh karena itu, seperti halnya di dunia Melayu, kajian arkeologis terhadap peninggalan budaya Jawa juga berfungsi mendukung berita-berita sejarah yang terdapat dalam berbagai dokumen tertulis.
........................................................................................................................
            Dalam kaitan inilah Lewis Binford, seorang arkeolog lain, menekankan pentingnya dimensi budaya dalam analisa terhadap artefak, sebagai subject matter arkeologi. Dalam hal ini dia membuat klasifikasi artefak ke dalam tiga hal berikut: pertama, teknofak, yakni satu kelompok artefak yang memiliki konteks fungsional primer terhadap pola-pola penyesuaian manusia dengan lingkungan alam; kedua, sosiofak, yakni kelompok artefak yang secara langsung berhubungan dengan sistem sosial yang berlaku pada masyarakat tertentu; dan ketiga, ideofak, yakni kelompok artefak yang dibuat berbasis pada sistem ideologi dan agama suatu masyarakat.
........................................................................................................................
Perlu digarisbawahi pentingnya dimensi nilai dan makna dalam kajian arkeologi. Benda-benda peninggalan Muslim dilihat sebagai ekspresi material dari sebuah sistem budaya yang berlandaskan ajaran Islam. Dalam konteks inilah benda-benda material -seperti masjid, kuburan, istana, dan benda-benda arkeologis lain- hendaknya dilihat dalam kaitan dengan fungsi yang dihasilkan, bukan semata-mata bentuk untuk perhiasannya. Artinya, yang menjadi sasaran utama arkeologi adalah makna kultural dari suatu benda material bagi Muslim.
            Oleh karena itu, perlu adanya rumusan apa yang disebut sebagai “arkeo-Islamologi” atau “arkeologi-Islam”. Perpaduan arkeologi dengan antropologi dalam studi Islam menghasilkan satu bentuk kajian arkeologi yang khas; sebuah kajian yang (diharapkan) bisa mengungkap nilai-nilai Islam dalam wujud peradaban material yang telah dihasilkan. Dengan demikian, “arkeologi-Islam” yang diketengahkan di sini bukan sebuah rumusan konseptual yang berbasis pada upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. Melainkan, ia lebih merupakan sebuah orientasi baru dalam kajian arkeologi dimana sistem dan nilai Islam dilihat sebagai basis pemaknaan oleh Muslim terhadap realitas kehidupan, sebagaimana yang terdapat dalam benda-benda material peninggalan mereka.
Tiga hal selanjutnya menjadi substansi utama dari apa yang disebut sebagai analisa konteks ini : fungsi (functional), pola atau susunan (structural), dan tingkah laku (behavioral). Tanpa bermaksud menganggap dua analisis yang terakhir tidak penting, penjelasan berikut ini akan lebih banyak diarahkan pada analisis fungsi. Hal ini dilakukan karena dari analisis fungsi inilah baik analisa susunan dan tingkah laku bisa dijelaskan.
.... bersifat “raja atau istana-oriented”, dimana pusat kekuasaan menjadi referensi kultural para seniman kaligrafi, maka yang kedua bisa disebut “pesantren-oriented” yang menjadikan ajaran-ajaran sufisme sebagai tema sentral dalam karya-karya seni kaligrafi. Demikian bila yang pertama cenderung mencatat nama dan tanggal wafat raja, selaiin prasasti tentang tanggal waktu berdirinya kerajaan Islam, maka yang kedua mengangkat kadar hubungan manusia dengan Tuhan. Hal terakhir ini khususnya dilakukan melalui penggambaran kaligrafi terhadap simbol-simbol makhluk hidup atau benda-benda lain yang dinilai memiliki nuansa sufisme sangat kuat.
            Perubahan orientasi di atas -selaiin tentu saja karena perkembangan teknologi alat dan bahan tulis- merefleksikan pertumbuhan orientasi baru keberagamaan Muslim, menyusul proses mundurnya kerajaan-kerajaan Islam di bawah kontrol kolonialisme. Ini diantaranya bisa dilihat pada fakta bahwa munculnya corak baru dalam seni kaligrafi di atas berlangsung di abad ke-18, periode dalam sejarah Indonesia yang memang tengah menyaksikan mundurnya kraton secara efektif sebagai pusat kekuasaan Islam. Dalam kondisi demikian, pesantren dan tarekat tampil sebagai referensi baru dalam dinamika kehidupan keagamaan dan budaya masyarakat.

TEKNIK ANALISIS SERPIH BILAH


 
Serpih Bilah merupakan salah satu hasil budaya manusia masa prasejarah yang memiliki proses evolusi perkembangan teknologis. Sejak teknik paleolitik (batu tua) sampai teknik neolitik batu muda). Serpih bilah memiliki perkembangan baik dari segi teknologi , tipe maupun morfologinya.
Penjabaran teknik melalui struktur database diharapkan dapat memecahkan beberapa permasalahan untuk merekontruksi cara hidup manusia masa prasejarah dengan tingkat teknologi yang dikenalnya. Selain itu dengan mengetahui tingkat teknologi, bahan baku yang digunakan, dan konteksnya akan terpecahkan bagaimana cara hidup manusia dalam menguasai dan beradaptasi terhadap lingkungan alam sekitarnya. Melalui struktur database pula diharapkan akan dapat diketahui tingkat kemampuan manusia membuat alat dalam waktu ratusan bahkan ribuan tahun  dengan bahan yang tersedia dan tingkat teknologi yang diterapkan.
Pengolahan data dengan komputer berdasarkan struktur database dan penentuan parameter pada beberapa aspek akan mudah dibaca dengan sajian visual berupa table dan grafik.