A.
Kompetensi Dasar
Mahasiswa
mampu memahami cara pandang arkeolog dan arsitek terhadap benda-benda purbakala
dalam dimensi ruang, waktu, dan bentuk., serta mampu menerapkannya terhadap
hasil-hasil arsitektur prasejarah, klasik, dan Islam.
B.
|



M A N
U S I A
|
|



|
Antropologi Arkeologi Sejarah
C.
Serambi/Senarai/Current
Issues
Arkeologi Islam dan Kajian Islam Indonesia
(Jajat Burhanuddin)
Menggali sisa-sisa
peninggalan manusia di masa lampau. Itulah ciri utama sebuah kajian arkeologi. Setidaknya,
itulah yang segera terpikir saat seseorang berbicara tentang arkeologi. Sebagai
ilmu bantu sejarah, arkeologi bekerja terkonsentrasi pada horizon waktu dalam
sejarah umat manusia, dimana bukti-bukti tertulis belum ditemukan; suatu
horizon waktu yang kemudian dikenal sebagai “pra-sejarah”, dimana perangkat
analisa dan metodologi sejarah tidak memungkinkan untuk bekerja (V. Gordon Childe, Piecing Together the Past: the
Interpretation of Archaeological Data, New York: Praeger, 1956). Arkeolog bertugas
memberi penjelasan terhadap benda-benda peninggalan umat manusia yang sudah
terkubur, sehingga benda-benda tersebut kemudian bisa berfungsi sebagai sumber
penulisan sejarah.
....................................................................................................................................................................
Dengan
demikian dalam konteks sejarah Islam Indonesia, seperti bisa diduga,
arkeologi-sejarah memiliki tingkat relevansi yang jauh lebih besar daripada
arkeologi-pra-sejarah. Sejak awal perkembangannya, sejarah Islam di Indonesia
telah meninggalkan sejumlah besar dokumen-dokumen tertulis (written
documents), khususnya berupa teks-teks sastra seperti di dunia Melayu yang
dikenal dengan istilah hikayat, dan di Jawa yang biasa disebut babad.
Teks-teks sastra ini merupakan bukti telah lahirnya tradisi tulis-baca dalam
perkembangan awal Islam di Indonesia. Bahkan, untuk konteks Jawa, tradisi ini
telah lahir sebelum kedatangan Islam. Tanah Jawa telah melahirkan sejumlah
besar dokumen tertulis sejak masa Hindhu-Budha, yang kemudian mengalami
perkembangan lebih lanjut -atau untuk lebih tepatnya perumusan kembali- pada
masa Islam. Oleh karena itu, seperti halnya di dunia Melayu, kajian arkeologis
terhadap peninggalan budaya Jawa juga berfungsi mendukung berita-berita sejarah
yang terdapat dalam berbagai dokumen tertulis.
........................................................................................................................
Dalam
kaitan inilah Lewis Binford, seorang arkeolog lain, menekankan pentingnya
dimensi budaya dalam analisa terhadap artefak, sebagai subject matter
arkeologi. Dalam hal ini dia membuat klasifikasi artefak ke dalam tiga hal
berikut: pertama, teknofak, yakni satu kelompok artefak yang memiliki
konteks fungsional primer terhadap pola-pola penyesuaian manusia dengan
lingkungan alam; kedua, sosiofak, yakni kelompok artefak yang secara
langsung berhubungan dengan sistem sosial yang berlaku pada masyarakat
tertentu; dan ketiga, ideofak, yakni kelompok artefak yang dibuat
berbasis pada sistem ideologi dan agama suatu masyarakat.
........................................................................................................................
Perlu digarisbawahi pentingnya dimensi nilai
dan makna dalam kajian arkeologi. Benda-benda peninggalan Muslim dilihat
sebagai ekspresi material dari sebuah sistem budaya yang berlandaskan ajaran
Islam. Dalam konteks inilah benda-benda material -seperti masjid, kuburan,
istana, dan benda-benda arkeologis lain- hendaknya dilihat dalam kaitan dengan
fungsi yang dihasilkan, bukan semata-mata bentuk untuk perhiasannya. Artinya, yang menjadi
sasaran utama arkeologi adalah makna kultural dari suatu benda material bagi
Muslim.
Oleh
karena itu, perlu adanya rumusan apa yang disebut sebagai “arkeo-Islamologi”
atau “arkeologi-Islam”. Perpaduan arkeologi dengan antropologi dalam studi
Islam menghasilkan satu bentuk kajian arkeologi yang khas; sebuah kajian yang
(diharapkan) bisa mengungkap nilai-nilai Islam dalam wujud peradaban material
yang telah dihasilkan. Dengan demikian, “arkeologi-Islam” yang diketengahkan di
sini bukan sebuah rumusan konseptual yang berbasis pada upaya Islamisasi ilmu
pengetahuan. Melainkan, ia lebih merupakan sebuah orientasi baru dalam kajian
arkeologi dimana sistem dan nilai Islam dilihat sebagai basis pemaknaan oleh
Muslim terhadap realitas kehidupan, sebagaimana yang terdapat dalam benda-benda
material peninggalan mereka.
Tiga hal selanjutnya menjadi substansi
utama dari apa yang disebut sebagai analisa konteks ini : fungsi (functional),
pola atau susunan (structural), dan tingkah laku (behavioral).
Tanpa bermaksud menganggap dua analisis yang terakhir tidak penting, penjelasan
berikut ini akan lebih banyak diarahkan pada analisis fungsi. Hal ini dilakukan
karena dari analisis fungsi inilah baik analisa susunan dan tingkah laku bisa
dijelaskan.
.... bersifat “raja atau istana-oriented”,
dimana pusat kekuasaan menjadi referensi kultural para seniman kaligrafi, maka
yang kedua bisa disebut “pesantren-oriented” yang menjadikan
ajaran-ajaran sufisme sebagai tema sentral dalam karya-karya seni kaligrafi.
Demikian bila yang pertama cenderung mencatat nama dan tanggal wafat raja, selaiin
prasasti tentang tanggal waktu berdirinya kerajaan Islam, maka yang kedua
mengangkat kadar hubungan manusia dengan Tuhan. Hal terakhir ini khususnya
dilakukan melalui penggambaran kaligrafi terhadap simbol-simbol makhluk hidup
atau benda-benda lain yang dinilai memiliki nuansa sufisme sangat kuat.
Perubahan orientasi di atas -selaiin
tentu saja karena perkembangan teknologi alat dan bahan tulis- merefleksikan
pertumbuhan orientasi baru keberagamaan Muslim, menyusul proses mundurnya
kerajaan-kerajaan Islam di bawah kontrol kolonialisme. Ini diantaranya bisa
dilihat pada fakta bahwa munculnya corak baru dalam seni kaligrafi di atas
berlangsung di abad ke-18, periode dalam sejarah Indonesia yang memang tengah
menyaksikan mundurnya kraton secara efektif sebagai pusat kekuasaan Islam.
Dalam kondisi demikian, pesantren dan tarekat tampil sebagai referensi baru
dalam dinamika kehidupan keagamaan dan budaya masyarakat.