Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Saturday 1 June 2013

Lucu-Lucu



Depok, Sabtu, 5 November 2011
Satu kali pada sebuah forum sastra, acaranya bedah buku (bukan karya saya loh), hanya saya datang sebagai teman penulis yang sedang dibedah karyanya tersebut.
Saya menyimaknya dengan cermat. Penulisnya masih tergolong baru, bukunya pun baru sebiji itulah yang sedang dibedah, dan di kawasan para dewanya sastra Indonesia bersimaharaja-lela. Dia juga masihlah muda usia, sengaja datang dari belantara jambi dan seperti diakuinya dengan lugu, baru kali itulah ke Jakarta atas undangan pihak penerbit.
Dari sudut kiri, seorang sastrawan senior usia 70-an, berasal dari Sumatra, begitu tajam bak silet dan sungguh melukai (menurut hatiku), mengomentari sbb:”Ini bukan sebuah karya sastra yang terlahir dari pergulatan batin yang hebat, sebab membutuhkan proses bertahun-tahun. Bagi saya, ini hanyalah semacam draft! Belum menjadi sebuah novel, apalagi bisa dibilang karya sastra!”
Sudah puaskah tuan yang terhormat senior sastrawan itu?
Belum, meeen!
Karena dia melanjutkannya demikian:”Jadi, menurut saya, kau itu tak berhak datang ke forum ini dan minta dibedah oleh kami, para senior yang sudah keliling dunia….”
Busyeeet deeeh, kejamnya dunia…, sastra yeeh!
Rekan-rekannya bak mendapat angin, ikut-ikutan pula memberi tanggapan yang menurutku bukan sekadar tanggapan melainkan; pembantaian berjamaah!
Gatal juga akhirnya tanganku terangkat dan mulutku untuk sekadar berkomentar:”Menurut saya karya ini tetaplah sebuah karya sastra. Dia menuliskannya dengan hati, jelas bukan sekadar dadakan. Novel ini sudah teruji dengan dimuat secara bersambung, meskipun di harian lokal. Cerbungnya mendapatkan rating bagus, artinya diterima oleh masyarakat luas. Nah, mau apalagi? Sementara abang-abang yang terhormat, para senior saya yang merasa hebat, okelah! Anda semua memang sudah hebat, sudah keliling dunia dengan karya Anda. Tetapi, saya ingin bertanya; adakah Anda masih berkarya sekarang? Ataukah Anda hanya mengenang saat-saat gemilang di masa silam belaka?”
Hening sejenak, mungkin kalau jantungku copot saat itu bakalan terdengar; pluuukkk!
Kupandangi sekilas wajah anak muda dari Jambi tersebut, terkesan terperangah, menurut pengakuannya; tak mengira akan ada yang berani membelanya, bahkan cuma seorang manini geto loooh, hoho!
Lanjut!
Setelah hening yang menyengat otak itu, tiba-tiba sastrawan yang paling merasa senior tersebut menuding ke arah saya, dan berkata demikian:”Naaaah! Ini dia si Pipiet Senja! Mana karyamu yang bisa dibilang sastra? Novelmu yang baru itu, sungguh tidak berbudaya!”
Karena zaman dahulu kala pun saya sudah pernah dibantai di forum dan di tempat yang sama, jadi sudah memprediksi bakal mendapat serangan begini. Maka, saya balas bertanya santai dan sok berani, padahal mah pssst, gw beneran keder, tauuuk!
Sumpeee deeeh!
”Bang, bagian novelku  mana pula itu yang menurut Abang tidak berbudaya?”
Mau tahu jawabannya, Saudara?
“Bah! Mana sempat aku baca karyamu!”
Gubraaaak deh, aaarg