Seorang arkeolog bekerja dengan bukti-bukti arkeologis
yang berupa peninggalan material. Tidak semua peninggalan material tersebut
dapat bertahan lama, sehingga objek
penelitian arkeologi terbatas pada materi-materi yang tahan lama. Objek-objek
yang dibuat dari bahan batu, tanah liat, dan logam, pada umumnya mempunyai daya
tahan lebih lama jika dibandingkan dengan objek-objek yang eterbuat dari bahan
kayu, kulit, dan tulang. Dengan objek yang terbatas tersebut seorang arkeolog
dituntut untuk dapat menjelaskan dan memebrikan gambaran umum tentang kehidupan
masyarakat masa lampau dan kebudayaannya. Gambaran mengenai masa lampau ini
tidak hanya disajikan secara deskriptif, tetapi dengan menggunakan metode dan
pendekatan ilmiah dapat disuguhkan hal-hal yang berhubungan dengan organisasi
social, pola permukiman, aspek kehidupan ekonomi, dan bahkan tingkat-tingkat
kehidupan masyarakat yang berbeda-beda serta proses perubahannya. Terdapat
perbedaan pendekatan yang digunakan antara arkeolog Amerika dengan arkeolog
Eropa. Amerika menggunakan pendekatan yang lebih antropologis, sedang Eropa
lebih berorientasi pada pendekatan historis. Makin seringnya penelitian dan
diskusi bersama, maka ide-ide yang dianggap paling menguntungkan dari kedua
aliran ini kemudian dikombinasikan untuk mencari eksplanasi-eksplanasi tentang
perubahan kebudayaan. Akibatnya pengelompokan perbedaan di antara kedua aliran
tersebut semakin sempit bahkan saling melengkapi.
Lepas dari perbedaan pandangan antara kedua aliran
tersebut, dapatlah diajukan beberapa paradigma yang sampai sekarang masih
berlaku dalam penelitian-penelitian arkeologi. Ada tiga hal yang pokok yang
perlu diperhatikan dalam penelitian arkeologi, yaitu:
1.
Rekonstruksi sejarah
kebudayaan
2.
Rekonstruksi
cara-cara hidup manusia pada masa lampau
3.
Rekonstruksi
proses perubahan kebudayaan dan faktor-faktor penyebabnya.
Ketiga
hal tersebut di atas menuntut penentuan prioritas dalam penelitiannya. Karena
masing-masing ahli memiliki prioritas sendiri-sendiri, maka teori-teori yang berhubungan
dengan jenis-jenis fenomenanya juga akan berbeda juga asumsi-asumsi yang
diajukannya.
Para
penganut paradigma pertama akan memusatkan perhatiannya pada perubahan
kebudayaan pada suatu masyarakat yang terjadi sebagai akibat pengaruh
kebudayaan dari masyarakat lainnya. Dengan demikian para penganut paradigma ini
akan berusaha mengetahui kebudayaan suatu masyarakat masa lalu di dalam
perkembangannya dari waktu ke waktu. Pada umumnya para penganut aliran ini
berpegang pada asumsi sebagai berikut.
a. Perbedaan
dan persamaan himpunan artefak pada suatu masyarakat dengan masyarakat lain,
dapat menjadi petunjuk jauh dekatnya hubungan atau kontak kebudayaan pada kedua
kelompok masyarakat tersebut.
b.
Pada
dasarnya himpunan artefak dapat mencerminkan sifat-sifat kebudayaan
masyarakatnya. Dengan kata lain himpunan artefak merupakan gambaran kesatuan
kebudayaan dan dengan melihat perbedaan dan persamaan kesatuan-kesatuan
kebudayaan akan dapat ditentukan pertukaran unsure-unsur kebudayaan yang pernah
terjadi.
Kelemahan dari paradigma ini yaitu bahwa kesamaan
sifat-sifat kebudayaan yang ditunjukkan oleh himpunan artefak tersebut belum
menjamin adanya hubungan antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang
lain, atau kesamaan sifat-sifat kebudayaan antar kelompok masyarakat belum
tentu menunjukkan adanya difusi, tetapi merupakan penemuan pada
masing-masing kelompok secara terpisah dan bukan karena pengaruh dari satu
kelompok budaya kepada kelompok budaya yang lainnya.
Para
penganut paradigma kedua, memusatkan perhatiannya pada usaha merekonstruksi
cara hidup manusia masa lampau. Cara hidup manusia itu antara lain ditunjukkan
oleh tingkatan teknologinya, cara-cara yang dilakukan di dalam usaha memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani ataupun rohaninya. Teknologi menyangkut cara-cara pembuatan dan fungsi
alat-alat yang diperlukan. Cara-cara yang dilakukan di dalam usaha untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya antara lain meliputi cara untuk memperoleh bahan
makanan (berburu, bertani, berternak), sistem perdagangannya, dan yang lainnya.
Keterbatasan informasi yang ada pada data arkeologi seringkali menuntut seorang
arkeolog untuk melakukan pendekatan etnoarkeologi. Pendekatan ini dapat
dilakukan dengan cara membandingkan data arkeologi yang ada dengan data
etnografi pada masyarakat tradisional yang masih berlangsung. Analogi
merupakan dasar dalam melakukan pendekatan antara data arkeologi dengan
kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku pada masyarakat tradisional. Hambatannya
yaitu bahwa tidak semua data arkeologi dapat diabndingkan dengan
kebiasaan-kebiasaan yang masih berlaku sampai sekarang. Dalam keadaan yang
demikian maka interpretasi terhadap data arkeologi dapat dilakukan
dengan berdasarkan pada analisis artefaktual (fisik), kontekstual (insitu/lingkungan),
dan analisis laboratorium.
Proses perubahan kebudayaan dan faktor-faktor penyebabnya
merupakan pusat perhatian para penganut paradigma yang ke tiga. Meski para
penganut paradigma pertama dan ke dua meragukan kebenaran paradigma yang ke
tiga ini karena keterbatasan dan ketidaklengkapan data arkeologi, tetapi
penganut paradigma ke tiga tetap yakin dapat merekonstruksi proses perubahan
kebudayaan pada masa lampau. Untuk mendapatkan gambaran tentang proses
perubahan kebudayaan dan faktor-faktor penyebabnya, terhadap data arkeologi
yang ada tindakan pertama yang yang harus dilakukan adalah membuat klasifikasi
data. Klasifikasi ini dimulai dari yang paling sederhana sampai yang paling
kompleks atau rumit. Hasil pengkalisfikasian ini akan dapat memberikan gambaran
tingkatan-tingkatan perubahan kebudayaannya, barulah kemudian dicari data yang
berhubungan dengan faktor-faktor penyebab perubahan tersebut. Untuk ini perlu
dilakukan studi perbandingan antara satu situs dengan situs yang lain. Dengan
perbandingan tersebut selain akan diketahui perubahan kebudayaan karena waktu,
juga perubahan kebudayaan yang disebabkan oleh faktor ruang.
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......