Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Monday, 24 September 2018

Dasar Pengertian Arkeologi





A.     Kompetensi Dasar
Kompetensi Dasar: Mahasiswa mampu memahami ruang lingkup dan perlunya arkeologi

B.     Peta Konsep
ARKEOLOGI

Mempelajari tentang

ARTEFAK

Jenis Fungsional

TEKNOFAK             SOSIOFAK                IDEOFAK

Sumber data dari

MENTIFAK


 
merekonstruksi

PERADABAN ISLAM

mengetahui 

KEBERAGAMAAN

C.     Serambi/Senarai/Current Issues
w  QS Yusuf 111,
لقد كان فى قصصهم عبرة لأولى الألباب
Sungguh dalam kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berpikir”
w  Bukti-bukti akan kebesaran dan kemajuan peradaban Islam di muka dunia ini semua orang tidak meragukannya. Berratus bahkan berribu buku-buku Sejarah Peradaban Islam telah banyak ditulis dan silih berganti menceritakanya. Seringkali kita tidak atau mungkin belum menyadari bahwa kebesaran Sejarah Islam tersebut seolah seperti sebuah dogeng. Maka akan lebih lengkap lagi jika “cerita” sejarah tersebut diuraikan dengan menggunakan keberadaan bukti-bukti fisik historis peradaban tersebut sebagai bukti nyata adanya peradaban itu. Untuk itulah maka perlunya Arkeologi untuk mengungkapkan Peradaban Islam dengan menggunakan benda-benda materialistik sebagai objek dan sumbernya.
w  Kasus “penghancuran” gedung-gedung IAIN bisa dilihat sebagai penghilangan secara sistematis terhadap fakta-fakta artefaktual tentang keberadaan IAIN Sunan Kalijaga berkaitan dengan proses perubahan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Kasus ini bisa menjadi satu contoh “ketidakpedulian” pada bukti-bukti fisik peradaban Islam di kampus kita dan hancurnya bukti fisik sejarah UIN Sunan Kalijaga pada waktu lampau.

D.    Materi Pokok

1.         Definisi Arkeologi

Sebagai suatu disiplin ilmu, arkeologi dapat didefinisikan dengan cara dan dalam pengertian yang bermacam-macam. Cara pandang dan titik penekanan permasalahan yang berbeda-beda terhadap ilmu ini pada akhirnya menghasilkan pengertian yang berbeda pula. Perbedaan cara pandang dan titik tekan ini sejalan dengan sejarah perkembangan arkeologi dari awal sampai menjadi disiplin ilmu tersendiri.
Kata arkeologi mulanya digunakan untuk sesuatu pengertian yang berhubungan dengan sejarah kuno pada umumnya. Dalam definisi ini berarti  bahwa arkeologi memiliki isi yang berhubungan dengan kumpulan naskah-naskah kuno. Definisi inilah yang tampaknya mendasari pandangan Stuart Piggot di dalam bukunya yang berjudul Approach to Archaeology yang mengatakan bahwa arkeologi adalah cabang ilmu sejarah.
Dalam bukunya The Origins and Growth of Archaeology, Glyn Daniel (Glyn Daniel, 1976:5) memberikan definisi arkeologi sebagai … the study of the things man made and did, in order that their whole way of life may be understood. Apa yang dikemukakan Daniel ini didukung pula oleh Robert J. Braidwood dalam bukunya Archaeologist and What They Do. Dikatakan oleh Braidwood arkeologi adalah ilmu yang mempelajari artefak-artefak dan tingkah laku manusia dengan tujuan untuk mengetahui seluruh cara hidupnya. Dengan definisi ini maka seorang arkeolog akan memusatkan perhatiannya pada benda-benda buatan manusia dalam usahanya merekonstruksi cara hidup manusia masa lampau (Braidwood, 1960, cf. Clark. 1960). Dari dua rumusan ini saja telah dapat dilihat adanya perbedaan titik pandang (perhatian) terhadap tujuan penelitian arkeologi yang tentunya membawa akibat perbedaan cara pendekatannya.
Terlepas dari perbedaan tersebut di atas dapatlah kiranya diusulkan bahwa secara umum arkeologi berarti ilmu yang berhubungan dengan kekunoan (archaios = kuno, tua, lama, masa lampau; logos = ilmu diskusi, discourse). “Kekunoan” ini mempunyai pengertian yang sangat luas dapat berhubungan dengan manusianya, hasil-hasil karyanya, dan lingkungan hidupnya. Kekunoan berhubungan dengan manusia dan kebudayaan yang sudah berlalu. Karenanya arkeologi dapat diartikan ilmu yang mempelajari peninggalan-peninggalan manusia masa lalu dengan tujuan untuk merekonstruksi kehidupan manusianya (Willey dan Sabloff, 1974: 11-12). Rekonstruksi kehidupan manusia masa lalu tersebut dapat diarahkan pada usaha untuk mengetahui kronologinya, menerangkan peristiwa yang terjadi pada masa lalu atau mengetahui proses perubahan kebudayaannya. Dengan pengertian seperti tersebut di atas maka arkeologi sebagai suatu disiplin yang disebutkan terakhir juga berhubungan dengan masa lampau. Baik sejarah maupun antropologi, keduanya memusatkan perhatiannya pada usaha merunut peristiwa-peristiwa masa lalu berserta eksplanasinya demikian pula halnya dengan arekologi.
Meskipun arkeologi berhubungan erat dengan sejarah tetapi tidak berarti bahwa ilmu ini sama dengan atau cabang dari sejarah. Antara arkeologi dan sejarah terdapat perbedaan yang mendasar bukan karena perbedaan filosofisnya tetapi terutama perbedaan di dalam metode yang digunakannya. Perbedaan di dalam metode ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan di dalam hal data yang digunakan. Di dalam menyusun dan menyajikan masa lampau tersebut sejarah lebih mengandalkan pada tekstual sebagai bahan referensinya sedangkan arkeologi lebih menggantungkan pada peninggalan-peninggalan material. Karenanya metode dan teknik perolehan dan pengolahan data untuk kedua ilmu tersebut jelas berbeda.
Arkeologi juga berhubungan dengan antropologi karena antropologi pada dasarnya merupakan suatu ilmu yang komparatif dan generalisasi. Dalam tata kerjanya antropologi memulai dengan masyarakat partikular dengan kebudayaannya. Lewat generalisasi seorang antropolog akan dapat menjelaskan (eksplanasi) tentang terjadinya suatu kebudayaan, bentuk-bentuk masyarakat, dan perubahan-perubahan yang terjadi pada suatu kebudayaan.

2.        Sejarah disiplin ilmu arkeologi
Ilmu ini sebenarnya dimulai dari adanya rasa/keinginan dari sekelompok benda-benda kuno (antik) yang dianggap memiliki nilai seni tinggi. Awalnya benda-benda tersebut diperoleh dari tangan ke tangan saja, karena permintaan yang tinggi maka muncul upaya pencarian benda secara lebih ke sumber/tempat-tempat benda antik tersebut banyak didapatkan. Dari sinilah muncul penggalian-penggalian (ekskavasi) pada situs-situs arkeologi. Ini sudah dilakukan sejak abad VI SM oleh Delshalti Namer, puteri mahkota Nabonidus (Raja Babilonia akhir) di kota Ur.
Sejalan dengan kesenangan mengumpulkan barang ini muncul pula kelompok-kelompok yang tertarik untuk mengetahui kehidupan masyarakat bangsa lain yang memiliki adat dan tatacara yang dianggap sangat karakteristik berbeda dengan adat yang mereka punyai. Dalam hal ini Herodotus dari Yunani merupakan satu tokoh yang memelopori dengan observasinya pada suku-suku bangsa (etnografis) dan data adat kebiasaan bangsa Mesir Kuno, Scythia, Yunani, dan Persia. Dari data yang diperolehnya disusunlah kategori barbarian, savagery, dan civilized. Karena itu pula Herodotus disebut sebagai bapak ilmu antropologi dan sejarah.
Usaha serupa juga dilakukan oleh Megasthenes pada abad II SM. Penelitian yang dilakukannya terhadap suku bangsa India menghasilkan kumpulan data tentang adat istiadat, kepercayaan, juga kondisi geografis, flora dan faunanya. Herodotus maupun Megasthenes merupakan penulis-penulis klasik yang karya-karyanya lebih bersifat antropologis dan etnografis.
Dari pengalaman dan penelitian semacam ini kemudian memunculkan kesadaran akan adana perbedaan kebudayaan dan agama di antara suku-suku bangsa di dunia dilihat dari dimensi waktu dan ruangnya. Selanjutnya menimbuilkan kecenderungan cendekiawan Eropa untuk mengamati faktor-faktor penyebab munculnya perbedaan tersebut. Abad V – XII M, cendekiawan Eropa memusatkan perhatiannya pada perbedaan agama dibandingkan perbedaan kebudayaan secara umum. Baru pada abad XII M perhatian orang-orang Eropa mulai menaruh perhatiannya untuk mengumpulkan  informasi etnografis beberapa suku bangsa dari luar Eropa.
Giovanni, Willem van Rubrock dan Piandel Carpini adalah orang-orang yang mengawali mengumpulkan data etnografis suku bangsa Mongolia Kuno. Marcopolo berhasil mengumpulkan informasi penting tentang Kublai Khan. Dari kumpulan data tersebut Roger Bacon (± 1214-1292) telah menyimpulkan bahwa adanya perbedaan adat istiadat di antara suku-suku bangsa di dunia ini disebabkan oleh faktor astrologis yaitu pengaruh planet-planet di ruang angkasa (Rowe, 1965: 6-8).  Dengan demikian sampai abad XIII M, arkeologi belum dapat diformulasikan sebagai satu disiplin ilmu.
Baru seudah abad XIII (masa Renaisance) disiplin arkeologi mulai menunjukkan identitasnya. Pada masa ini para cendekiawan mulai melihat adanya wacana yang lebih luas dibandingkan masa-masa sebelumnya. Mereka tidak lagi hanya sensitif terhadap perbedaan-perbedaan kebudayaan yang disebabkan oleh perbedaan ruang, tetapi sudah mulai menekankan pada perbedaan yang disebabkan oleh karena faktor waktu. Mereka tidak hanya mempelajari adat istiadat dan institusi bangsa Romawi, Latin, dan Yunani, tetapi juga mempelajari monumen-monumen kuno yang ada di kota-kota tersebut.
Tokoh pertama yang dapat disebutkan yaitu Francesco Petrarca (1304-1374). Dia melihat kebudayaan kuno bangsa Romawi lewat penelitian naskah-naskah kuno. Usaha ini didukung  oleh Giovanni Baccaccio yang memberikan gambaran lebih lengkap mengenai kebudayaan Romawi tersebut dan kemudian lebih disempurnakan oleh Giovanni Dondi (1318-1389), seorang dokter dan insinyur mesin, dengan observasi sistematis terhadap peninggalan-peninggalan arkeologis yang berupa monumen.
Seiring dengan pertambahan data-data baru, kemudian Ciriaco de Pizzicolli (1392-1462) dan Brando Flavio (1392-1462) meletakan dasar-dasar yang lebih kuat terhadap munculnya disiplin arkeologi. Pizzicolli melakukan penelitian terhadap prasasti-prasasti Latin dan monumen-monumen di Ancona Italia Tengah dan ternyata dapat diketahui bahwa kedua jenis sumber data tersebut saling melengkapi, sehingga harus digunakan bersama-sama dan tak dapat dipisahkan. Sisa hidupnya dihabiskan untuk mempelajari monumen-monumen kuno, parasasti, dan seni pahat di Italia, Yunani, Turki, dan Mesir.
Flavio juga melakukan studi kebudayaan Romawi Kuno secara sistematis. Tulisan yang berjudul Rome Restored and Rome Triumphant merupakan karya besarnya. Tulisan ini selain bersifat monografi arkeologis, juga memuat hasil studinya tentang agama, pemerintahan, organisasi militer, dan adat istiadat bangsa Romawi Kuno (Rowe, 1965:11).  Meski belum jelas perbedaan arkeologi dengan ilmu sejarah dan antropologi, akan tetapi pandangan yang muncul pada masa ini sudah dapat dianggap sebagai benih dari disiplin arkeologi. Konsepsi tentang perbedaan kebudayaan dalam waktu telah diperluas dengan perbedaan kebudayaan dalam geografi (Willey dan Sabloff, 1974: 12).
Menjelang abad XVI M (pasca Renaisance) telah terjadi perkembangan yang sangat berarti di dalam bidang arkeologi. Dua aliran dapat dilihat pada masa ini, di mana satu aliran melakukan kegiatannya dengan menggunakan benda-benda arkeologis setempat (local antiquaries), dan aliran yang lainnya memanfaatkan temuan-temuan arkeologis yang berasal dari luar (broad antiquaries). Aliran pertama berkembang di Eropa Utara, terutama di Inggris, Perancis, dan Skandinavia dengan penganut-penganutnya antara lain William Camden, John Aubrey, Edward Leuwyd, dan William Stukeley (Daniel, 1967: 24-35). Aliran kedua berkembang di Eropa Tengah dan Selatan, dan mempunyai pengikut antara lain Givanni Belzoni, Edward Daniel Clarke, Denon, dan Champollion.
Di dalam karyanya yang berjudul Britannica, William Camden (1551-1623) telah berhasil menyusun suatu petunjuk umum tentang arti dan maksud benda-benda arkeologi dilengkapi dengan ilustrasi tentang mata uang Romawi Kuno dan Stonehenge. Penjelasan mengenai Stonehenge ini kemudian dilengkapi oleh John Aubrey dalam bukunya Monuments Britannica. Dalam hal ini sebagai objek arkeologi, peninggalan Stonehenge sudah dilihat secara kontekstual dengan objek-objek lainnya. Sangat disayangkan, buah karya ini belum sempat diterbitkan dan sampai sekarang masih disimpan di perpustakaan Bodlein di Oxford.
Edward Leuwyd (1660-1708) telah melakukan studi tentang sejarah alam, bahasa, adat kebiasaan, dan semua temuan arkeologis. Dialah orang yang pertama kali melakukan katalogisasi fosil-fosil. Berbeda dengan Camden, Aubrey dan Leuwyd, William Stukeley (1687-1765) lebih memusatkan perhatiannya pada sumber-sumber tertulis untuk interpretasi masa lampau.
Giovanni Belzoni salah seorang pengikut aliran broad antiquaries dalam pengembaraannya ke luar Eropa telah menghasilkan sebuah karya tulis yang berhubungan atau berisi tentang bangunan piramida, nisan-nisan kuno, dan temuan-temuan arkeologis lainnya dari hasil penggalian yang dilakukan di Mesir dan Nubia. Pengembaraan yang lain juga dilakukan oleh Clarke, antara lain ke negara-negara Timur Dekat. Dari perjalanan tersebut Clarke berhasil mengumpulkan dan membawa pulang sekumpulan benda-benda arkeologis termasuk sebuah arca yang cukup terkenal dari Elensis barat laut Athena (Daniel: 42-43).
Pada waktu Napoleon I mengadakan invasi ke Mesir pada tahun 1789, selain bala tentara ekspedisi, dia juga membawa anggota-anggota lain terdiri dari para sarjana, ilmuwan, artis, dan para pecinta barang-barang antik. Pada saat inilah Denon dan Champollion mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian-penelitian benda-benda arkeologis dan belajar membaca huruf hieroglyph. Dari pengalaman para pecinta barang-barang antik dan para diletanti itulah kemudian membuka jalan ke arah menyimpulkan bahwa artefak-artefak tersebut milik bangsa Briton Kuno (Inggris Kuna), tetapi dia tidak berani mengatakan bahwa umurnya lebih tua dari 6000 tahun. Dia hanya mengatakan bahwa tulang-tulang binatang yang ditemukan menunjukkan jenis binatang yang telah punah.
Temuan-temuan baru berupa alat-alat dari batu, fosil manusia purba dan jenis binatang yang telah punah memberikan jalan baru bagi pengembangan arkeologi prehistori. Berbeda dengan sifat arkeologi sebelumnya yang memusatkan perhatiannya kepada studi sejarah dan atau kebudayaan kuna dengan teknik-teknik arkeologi, arekologi prehistori menggunakan sumber-sumber yang berasal dari masa pra tulisan.
Dengan makin bertambahnya jumlah koleksi dan temuan benda-benda arkeologis manimbulkan masalah baru yang berhubungan dengan penyusunan dan pengklasifikasiannya. Problem ini menghendaki suatu pemecahan arkeologis yang sistematis. Sistem penjamanan menjadi tiga (three age system) mulai diperkenalkan pada tahun 1819 oleh J.C. thomsen dari Museum Nasional di Copenhagen. Sistem ini mendasarkan pada kepercayaan bahwa kehidupan manusia dapat dibedakan menjadi tiga jaman sesuai dengan jenis alat yang dipergunakan yaitu alat dari batu, alat dari perunggu, dan besi. Three age system ini kemudian dikembangkan oleh J.J.A Worsaae (1821-1885) yang mendasarkan cara seriasi dari temuan-temuan pada situs-situs makam (Willey dan Sobllof, 1974: 13).
Sensasi besar telah terjadi pada waktu Boucher de Perthes menemukan artefak-artefak dari batu api dalam asosiasi dengan tulang di Somme Cannal. Artefak-artefak tersebut ditemukan pada strata geologis sangat dalam dan diperkirakan umurnya sangat tua.
Meskipun penemuan-penemuan tersebut banyak mendapat tantangan baik dari golongan agama maupun ilmuwan, tetapi jelas bahwa arkeologi prehistori benar-benar telah mulai. Istilah prehistori pertama kali dicanagkan oleh seorang sarjana Perancis bernama Tournal pada tahun 1833 dengan pengertian arkeologi dari masa sebelum adanya tulisan. Sejak saat inilah bidang arkeologi mulai menyangkut banyak masalah baik yang berhubungan dengan antropologi, sejarah, filsafat, maupun ilmu pengetahuan alam.
Meskipun arkeologi mempelajari peninggalan-peninggalan manusia masa lampau di dalam kerangka kerja antropologi, sejarah dan disiplin-disiplin lainnya, tetapi arkeologi itu sendiri telah menunjukkan suatu disiplin tersendiri. Sebagai suatu disiplin, akeologi di dalam operasinya memerlukan suatu metode riset yang ilmiah, analisa laboratorium dan teknik interpretasi serta konsep-konsep teori yang khusus (Cf. Fagan, 1975; 6-7).

No comments:

Post a Comment

kasih komentar balik yah......