Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Monday, 8 October 2018

TATA RUANG ETNIS DAN PROFESI DALAM KOTA BATAVIA (ABAD XVII-XVIII)



Sejak jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC (1619), wilayah ini tumbuh menjadi kota pelabuhan yang dirancang dengan konsep modern (Eropa), dan diberi nama Batavia. Par penguasa VOC secara bertahap membangun kota Batavia dengan lay out mengikuti model Eropa yang berbenteng. Ciri kota Batavia yang menonjol meniru kota Amsterdam abad pertengahan, kota-kotanya dikelilingi kanal-kanal dan tekbok kota (Soekmono, 1992/1993).
Sumber sejarah dan diperkuat dengan peta kolonial, memperlihatkan adanya pengelompokan etnis dalam tata ruang kota Batavia. Sampai sekarang nama-nama etnis masih mejadi monumen monologis kota Jakarta, seperti kampung Ambon, Kampung Bugis, Pecinan, dan sebagainya. Pengelompokkan etnis ini juga ditentukan berdasarkan lingkungan yang mendukung profesi, ras dan agama serta efektifitas dan mobilitas. Seperti kelompok etnis yang berprofesi sebagai pedagang ditempatkan atau bermukim di dekat kawasan niaga. Kelompok-kelompok yang berprofesi sebagai pegawai administrasi ditempatkan di wilayah pusat kota yang merupakan kawasan pusat pemerintahan. Dan kelompok yang berprofesi sebagai di bidang pertanian dan perkebunan serta kelompok yang dianggap berpotensi untuk menimbulkan ancaman keamanan di tempatkan di wilayah pinggiran kota.
Akan tetapi karena suatu ras dan agama umumnya merupakan stereotype profesi tertentu, maka profesi dapat dianggap sebagai factor signifikan. Dengan demikian kota Batavia pada abad XVII-XVIII Masehi masih bisa dianggap berciri kota praindustri, dimana tata ruangnya lebih berkaitan dengan aspek-aspek non-fisik, misalnya kepentingan politik, pekerjaan, agama, dan struktur social.
Pemekaran kota Batavia ke wilayah-wilayah pinggiran terutama ke arah selatan lebih dikarenakan oleh factor ekonomi dan kebutuhan akan lingkungan yang sehat. Adanya pemukiman di wilayah pinggiran kota sebenarnya merupakan pendukung perekonomian kota Batavia, yaitu sebagai produsen kebutuhan pokok. Hal ini menunjukkan kontribusi yang cukup besar  dari pemukiman-pemukiman di wilayah pinggiran terhadap dinamika perekonomian puat kota. Dengan demikian dapat dikatakan warga kota yang menetap di wilayah pinggiran  kota secara secara politis tidak dapat dikatakan sebagai kelompok pinggiran  secara hirarkhis dari pusat, meskipun pada dasarnya lokasi pemukiman mereka secara geografis terletak di wilayah batas kota.

No comments:

Post a Comment

kasih komentar balik yah......