Sejak jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC (1619), wilayah
ini tumbuh menjadi kota pelabuhan yang dirancang dengan konsep modern (Eropa),
dan diberi nama Batavia. Par penguasa VOC secara bertahap membangun kota
Batavia dengan lay out mengikuti model Eropa yang berbenteng. Ciri kota Batavia
yang menonjol meniru kota Amsterdam abad pertengahan, kota-kotanya dikelilingi
kanal-kanal dan tekbok kota (Soekmono, 1992/1993).
Sumber sejarah dan diperkuat dengan peta kolonial,
memperlihatkan adanya pengelompokan etnis dalam tata ruang kota Batavia. Sampai
sekarang nama-nama etnis masih mejadi monumen monologis kota Jakarta, seperti
kampung Ambon, Kampung Bugis, Pecinan, dan sebagainya. Pengelompokkan etnis ini
juga ditentukan berdasarkan lingkungan yang mendukung profesi, ras dan agama
serta efektifitas dan mobilitas. Seperti kelompok etnis yang berprofesi sebagai
pedagang ditempatkan atau bermukim di dekat kawasan niaga. Kelompok-kelompok
yang berprofesi sebagai pegawai administrasi ditempatkan di wilayah pusat kota
yang merupakan kawasan pusat pemerintahan. Dan kelompok yang berprofesi sebagai
di bidang pertanian dan perkebunan serta kelompok yang dianggap berpotensi
untuk menimbulkan ancaman keamanan di tempatkan di wilayah pinggiran kota.
Akan tetapi karena suatu ras dan agama umumnya merupakan
stereotype profesi tertentu, maka profesi dapat dianggap sebagai factor
signifikan. Dengan demikian kota Batavia pada abad XVII-XVIII Masehi masih bisa
dianggap berciri kota praindustri, dimana tata ruangnya lebih berkaitan dengan
aspek-aspek non-fisik, misalnya kepentingan politik, pekerjaan, agama, dan
struktur social.
Pemekaran
kota Batavia ke wilayah-wilayah pinggiran terutama ke arah selatan lebih dikarenakan
oleh factor ekonomi dan kebutuhan akan lingkungan yang sehat. Adanya pemukiman
di wilayah pinggiran kota sebenarnya merupakan pendukung perekonomian kota
Batavia, yaitu sebagai produsen kebutuhan pokok. Hal ini menunjukkan kontribusi
yang cukup besar dari
pemukiman-pemukiman di wilayah pinggiran terhadap dinamika perekonomian puat
kota. Dengan demikian dapat dikatakan warga kota yang menetap di wilayah
pinggiran kota secara secara politis
tidak dapat dikatakan sebagai kelompok pinggiran secara hirarkhis dari pusat, meskipun pada
dasarnya lokasi pemukiman mereka secara geografis terletak di wilayah batas
kota.
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......