Depok, Sabtu, 5 November 2011
Satu kali pada sebuah forum sastra,
acaranya bedah buku (bukan karya saya loh), hanya saya datang sebagai teman
penulis yang sedang dibedah karyanya tersebut.
Saya menyimaknya dengan cermat.
Penulisnya masih tergolong baru, bukunya pun baru sebiji itulah yang sedang
dibedah, dan di kawasan para dewanya sastra Indonesia bersimaharaja-lela. Dia
juga masihlah muda usia, sengaja datang dari belantara jambi dan seperti
diakuinya dengan lugu, baru kali itulah ke Jakarta atas undangan pihak
penerbit.
Dari sudut kiri, seorang sastrawan
senior usia 70-an, berasal dari Sumatra, begitu tajam bak silet dan sungguh
melukai (menurut hatiku), mengomentari sbb:”Ini bukan sebuah karya sastra yang
terlahir dari pergulatan batin yang hebat, sebab membutuhkan proses
bertahun-tahun. Bagi saya, ini hanyalah semacam draft! Belum menjadi sebuah
novel, apalagi bisa dibilang karya sastra!”
Sudah puaskah tuan yang terhormat
senior sastrawan itu?
Belum, meeen!
Karena dia melanjutkannya
demikian:”Jadi, menurut saya, kau itu tak berhak datang ke forum ini dan minta
dibedah oleh kami, para senior yang sudah keliling dunia….”
Busyeeet deeeh, kejamnya dunia…,
sastra yeeh!
Rekan-rekannya bak mendapat angin,
ikut-ikutan pula memberi tanggapan yang menurutku bukan sekadar tanggapan
melainkan; pembantaian berjamaah!
Gatal juga akhirnya tanganku
terangkat dan mulutku untuk sekadar berkomentar:”Menurut saya karya ini
tetaplah sebuah karya sastra. Dia menuliskannya dengan hati, jelas bukan
sekadar dadakan. Novel ini sudah teruji dengan dimuat secara bersambung,
meskipun di harian lokal. Cerbungnya mendapatkan rating bagus, artinya diterima
oleh masyarakat luas. Nah, mau apalagi? Sementara abang-abang yang terhormat,
para senior saya yang merasa hebat, okelah! Anda semua memang sudah hebat,
sudah keliling dunia dengan karya Anda. Tetapi, saya ingin bertanya; adakah
Anda masih berkarya sekarang? Ataukah Anda hanya mengenang saat-saat gemilang
di masa silam belaka?”
Hening sejenak, mungkin kalau
jantungku copot saat itu bakalan terdengar; pluuukkk!
Kupandangi sekilas wajah anak muda
dari Jambi tersebut, terkesan terperangah, menurut pengakuannya; tak mengira
akan ada yang berani membelanya, bahkan cuma seorang manini geto loooh, hoho!
Lanjut!
Setelah hening yang menyengat otak
itu, tiba-tiba sastrawan yang paling merasa senior tersebut menuding ke arah
saya, dan berkata demikian:”Naaaah! Ini dia si Pipiet Senja! Mana karyamu yang
bisa dibilang sastra? Novelmu yang baru itu, sungguh tidak berbudaya!”
Karena zaman dahulu kala pun saya
sudah pernah dibantai di forum dan di tempat yang sama, jadi sudah memprediksi
bakal mendapat serangan begini. Maka, saya balas bertanya santai dan sok
berani, padahal mah pssst, gw beneran keder, tauuuk!
Sumpeee deeeh!
”Bang, bagian novelku mana
pula itu yang menurut Abang tidak berbudaya?”
Mau tahu jawabannya, Saudara?
“Bah! Mana sempat aku baca karyamu!”
Gubraaaak deh, aaarg
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......