Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Saturday, 20 August 2011

PEMERINTAH DAN PENYEBARAN INFORMASI


PEMERINTAH DAN PENYEBARAN INFORMASI


                  Pendahuluan
Penyebarluasan informasi sebagai wujud dari usaha untuk tercapainya masyarakat berbasis informasi dimaksudkan agar terjadinya perubahan positif di masyarakat. Media adalah salah satu sarana komunikasi yang secara efektif dapat menyebarkan informasi, dan sekaligus diharapkan dapat menimbulkan suatu perubahan positif yang terjadi di masyaraakt.
Oleh karena itu, pemerintah harus mencari usaha-usaha lain, sehingga penyebaran informasi di masyarakat benar-benar dapat mendukung pembangunan dan perubahan yang positif. Usaha-usaha pemerintah yang dapat dan harus diupayakan antara lain : meningkatkan profesionalitas media dalam arti luas, bekerjasama dengan institusi-institusi pendidikan untuk meningkatkan media literasi di masyarakat, dan membangun partisipasi masyarakat dalam pemantauan isi atau program acara di media, yang berpotensi menimbulkan hal-hal yang kontra produktif di masyarakat.

Penyebaran Informasi
UU Nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran belum sepenuhnya dapat diterapkan, karena masih terdapat perbedaan pemahaman antara berbagai komunitas penyiaran dengan pemerintah mengenai perizinan. Penerapan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, menimbulkan persepsi tentang kebutuhan terhadap lembaga komunikasi dan informasi yang beranekaragam. Hal ini mengakibatkan keberadaan, bentuk dan fungsi/lembaga pemerintah di bidang komunikasi dan informasi tidak memiliki standar yang sesuai kebutuhan.
Selain itu hubungan koordinasi antara pusat dan daerah belum berjalan sinergis dan optimal. Pemanfaatan dan pemberdayaan lembaga komunikasi sosial seperti lembaga media tradisional, lembaga komunikasi pedesaan, dan lembaga profesi dalam pelancaran arus informasi dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat.
Peran lembaga pemantau media dalam era reformasi dewasa ini belum sejalan dengan kecepatan perubahan dan pelaksanaan informasi yang dilakukan oleh media komunikasi massa seperti media radio, media televisi, media cetak dan media komunitas, sehingga media massa dapat bertindak seolah-olah sebagai agen pembenaran tanpa kontrol dari masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berkomunikasi. Komunikasi dilakukan sebagai media untuk mentransformasi informasi, satu pihak memberi informasi dan di lain pihak menerima informasi. Informasi yang disampaikan bisa melalui lisan atau pun dalam bentuk lain. Metode transformasi informasi yang diterapkan sering kali masih tradisional dan klasikal. Penyebaran informasi dengan cara tradisional dan klasikal membutuhkan waktu yang sangat lama.
Teknologi komunikasi saat ini berkembang sangat cepat. Jarak bukan lagi menjadi masalah dalam penyebaran informasi. Informasi yang disampaikan tanpa perlu dilakukan dengan tatap muka lagi. Bukan hanya suara yang bisa disampaikan tetapi juga telah merambah ke dalam bentuk visual baik yang statis maupun yang dinamis. Informasi saat ini sudah menjadi komoditi yang sangat penting. Kemampuan untuk mendapatkan dan menyediakan informasi secara cepat, tepat dan akurat menjadi hal yang penting bagi sebuah organisasi. Ada ungkapan yang meyebutkan bahwa ‘mengusai informasi berarti menguasai dunia’. Kehadiran jaringan komputer (networking) pada satu dasawarsa terakhir telah memunculkan fenomena baru dalam penyediaan dan penyebaran informasi. Proses jaringan komputer yang cepat telah menjadi tumpuan utama dari teknologi informasi.
Dalam kegiatan penyebaran informasi yang dilakukan oleh Dinas, Badan, Lembaga dan Kantor di lingkungan Pemerintah  daerah sebagian besar masih secara tradisional dan klasikal. Walaupun dengan penyebaran informasi dengan cara diatas masih bisa mendukung terlaksananya semua program Pemerintah Daerah, namun seiring dengan kecepatan perubahan informasi maka penyebaran informasi pun harus berjalan dengan cepat.
Seperti uraian diatas, maka penerapan teknologi informasi perlu segera dilakukan di lingkungan Pemerintah Daerah secara menyeluruh mulai dari tingkat Sekretariat Daerah, Kelurahan, Kecamatan, Dinas, Badan, Kantor, kalangan pendidikan, kalangan kesehatan, kalangan dunia usaha bahkan masyarakat luas.
Dengan tergabungnya seluruh kalangan diatas, diharapkan transformasi informasi bisa dilakukan dalam hitungan detik. Informasi program-program pemerintah bisa diperoleh di seluruh tingkat lapisan masyarakat dengan cepat sehingga bisa ditindak lanjuti oleh penerima.

                   Kebebasan Informasi dan Kerahasiaan Negara
                  Pembahasan RUU Kebebasan Informasi diintegrasikan dengan pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU Intelijen, dan RUU Kerahasiaan Negara. (Kompas, 19/2/03). Ada banyak kemungkinan di balik munculnya gagasan ini. Suatu hal yang pasti, pada hari yang sama, DPR mengesahkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang RUU Kebebasan Informasi. Itu kabar menggembirakan bagi unsur-unsur sipil yang mendambakan pelembagaan prinsip kebebasan informasi. Sebaliknya, proses politik terhadap RUU Intelijen dan RUU Kerahasiaan Negara yang diajukan pemerintah justru mengalami kemandekan pada badan legislasi (baleg) DPR. Proses pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme juga kurang menggembirakan bagi pemerintah karena terbentur reaksi-reaksi penolakan dari unsur-unsur nonpemerintah.
                    Pelembagaan demokrasi
                    Kita sedang membicarakan empat RUU, tiga di antaranya merupakan gagasan pemerintah dan satu berasal dari usulan unsur sipil. Komposisi ini bisa jadi menggambarkan konstelasi perundang-undangan yang telah dan sedang dibahas DPR kini. Sebuah persoalan yang amat serius, namun belum banyak dikaji belakangan.   Dari sekian banyak RUU yang digodok DPR, berapa banyak yang berasal dari usulan unsur-unsur sipil, berapa banyak dari pemerintah? Sejauh mana undang-undang (UU) yang disahkan DPR telah mengakomodasi nilai-nilai demokrasi atau sebaliknya melanggengkan nilai-nilai otoritarianisme?
                     Dalam konteks ini, proses legislasi perundang-undangan sebenarnya merupakan arena pertarungan tersendiri guna memperebutkan kontrol terhadap pelembagaan prinsip-prinsip demokrasi. Pertarungan untuk memperebutkan akses atas kontinuitas perubahan politik di negeri ini. Pertarungan itu menyuguhkan banyak dimensi: antara kelompok sipil vs pemerintah; unsur-unsur reformis vs unsur-unsur konservatif; prodemokratisasi vs pro-status quo; kekuatan propemodal vs antipemodal; dan lain-lain.
                       Begitu dramatis dan sengit pergulatan yang terjadi, hingga kita harus menerima fakta, produk UU yang lahir belakangan ini tidak ada yang sepenuhnya memuaskan unsur-unsur reformis maupun unsur konservatif. UU Penyiaran yang baru, misalnya, merupakan perpaduan tiga paradigma sekaligus, yakni paradigma pers otoritarian, liberal, dan tanggung jawab sosial. Sebuah kompromi yang sulit dibayangkan betapa rumit implementasinya. Contoh terbaru, UU Pemilu hanya memuaskan unsur sipil dalam beberapa hal, misalnya keberhasilan memperjuangkan kuota 30 persen perempuan di lembaga legislatif. Namun, tidak untuk hal-hal yang lain. UU Pemilu akhirnya merupakan sebuah senyawa yang aneh antara prinsip-prinsip sistem politik otoritarian dan sistem politik demokrasi modern.
                         Potensi benturan antara RUU Kebebasan Informasi dengan RUU Kerahasiaan Negara, RUU Intelijen, dan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat dilihat dalam konteks ini. Yang terjadi, pertarungan paradigma keterbukaan melawan paradigma ketertutupan; perspektif hak-hak publik atas informasi melawan perspektif kerahasiaan negara. Salah satu tolak ukur demokratisasi adalah lahirnya produk-produk hukum yang mengakomodasi prinsip kemerdekaan sipil, transparansi, partisipasi, dan kebebasan pers. Karena itu, menjadi tantangan bagi kelompok-kelompok prodemokrasi untuk meraih produk-produk itu. Perlu senantiasa diwaspadai usaha-usaha untuk membalikkan sejarah menuju sistem pemerintahan yang tertutup, feodal, dan represif.
                          Terlepas dari persoalan itu, beberapa perspektif bisa digunakan untuk mencermati gagasan Kepala BIN itu. RUU Kebebasan Informasi, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan RUU Intelijen mengatur ranah yang berbeda. RUU Kebebasan Informasi hendak memberi jaminan hukum atas hak publik guna mendapatkan akses informasi terhadap badan-badan publik di semua level dan semua lini. RUU Kebebasan Informasi mengatur sesuatu yang amat luas, yaitu pelembagaan prinsip-prinsip transparansi dan partisipasi dalam seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
                         Dengan demikian, RUU Kebebasan Informasi tidak hanya berurusan dengan informasi intelijen dan/atau terorisme seperti akan diatur dalam RUU Intelijen dan RUU Tindak Pidana Terorisme. Di sinilah persoalannya, RUU Kebebasan Informasi mengatur sesuatu yang universal sifatnya, sedangkan RUU Tindak Pidana Terorisme dan RUU Intelijen mengatur sesuatu yang spesifik. Karena itu, gagasan untuk menyatukan pembahasan tiga RUU ini menjadi tak relevan.
                       Mungkin lebih masuk akal mengintegrasikan pembahasan RUU Kebebasan Informasi dan RUU Kerahasiaan Negara. Keduanya mengatur hal yang sama: relasi-relasi informasi antara publik dan badan-badan publik. Namun, seperti dijelaskan, secara paradigmatik ada banyak perbedaan di antara dua RUU ini. RUU Kebebasan Informasi berangkat dari kesadaran bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang terbuka dan demokratis perlu dibangun kapasitas publik guna mengontrol penyelenggaraan pemerintahan. Ada dua prinsip dasar yang harus dipenuhi: transparansi dan partisipasi. Muncullah urgensi jaminan hukum atas hak publik guna mendapatkan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan.
                      "Informasi adalah bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara". Pemerintah menjalankan pemerintahan berdasarkan mandat warga negara. Untuk mempertanggungjawabkan mandat itu, lembaga-lembaga pemerintah harus terbuka untuk dikontrol dan diperiksa. Para pejabat publik sesungguhnya tidak memiliki hak eksklusif untuk menyembunyikan informasi yang dibutuhkan publik, seperti yang sering terjadi selama ini.
                       Prinsip utama RUU Kebebasan Informasi adalah maximum acces and limited exemption. Tidak semua informasi bisa dibuka ke publik. Beberapa jenis informasi perlu dirahasiakan untuk kepentingan penegakan hukum, pertahanan dan keamanan nasional, persaingan usaha yang sehat, HAKI dan kerahasiaan pribadi. Tetapi, perahasiaan informasi harus didasarkan pada alasan-alasan yang memuaskan semua pihak dan harus diuji untuk mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas (consequential harm and balancing public interest tests).
                        Dalam banyak hal, RUU Kerahasiaan Negara adalah antitesa dari RUU Kebebasan Informasi. Jika RUU Kebebasan Informasi hendak memberi perangkat politik bagi publik untuk melakukan counter-inteligence atas negara, RUU Kerahasiaan Negara justru cenderung membatasi peluang publik untuk melakukannya. Dalam RUU Kerahasiaan Negara versi pemerintah, klausul informasi rahasia dijelaskan dengan definisi yang lemah dan general.
                        Tidak ada penjelasan memuaskan tentang batasan rahasia negara, bagaimana mekanismenya, serta siapa yang otoritatif memutuskan. Alih-alih, otoritas ini hendak diberikan kepada seluruh pimpinan badan publik di semua level pemerintahan. Bagaimana mengintegrasikan dua RUU yang secara paradigmatis bertolak belakang ini? Di sinilah dibutuhkan dialog publik yang terbuka, egaliter, dan komprehensif. Tentunya, diharapkan publik berkesempatan menilai mana yang lebih urgen di antara dua RUU ini, senyawa seperti apa yang bisa diramu dari keduanya.
                     Patut disayangkan, proses advokasi RUU Kerahasiaan Negara sejauh ini berlangsung secara tertutup dan tidak melibatkan publik luas. Pemerintah belum secara terbuka menjelaskan ide-idenya tentang pelembagaan kerahasiaan negara. Publik belum mendapatkan kesempatan memahami jalan pikiran pemerintah. Tiba-tiba draf RUU Kerahasiaan Negara beredar di kalangan DPR, hingga akhirnya muncul statement yang terkesan terburu-buru dan reaktif seperti di atas.
                  Penutup

Untuk mewujudkan semua hal di atas bukanlah pekerjaan yang sederhana, karena merupakan pekerjaan yang cukup rumit dan kompleks. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dan koordinasi antara institusi pemerintah secara menyeluruh, bahkan diperlukan pula keterlibatan kalangan swasta dan masyarakat secara luas.

No comments:

Post a Comment

kasih komentar balik yah......