BAB I
PENDAHULUAN
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawi merupakan ulama pembaharu yang hidup pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Ia hidup pada masa Belanda menjajah Indonesia. Keadaan Indonesia khsusunya umat Islam saat itu berada di bawah dominasi kekuatan Belanda, baik dominasi dalam bidang politik atau pun yang lainya. Belanda berusaha melakukan depolitisasi terhadap umat Islam atau melemahkan kekuatan Islam agar tidak terjadi perlawanan-perlawanan yang mengancam eksistensi pemerintahan Belanda di tanah air. Mereka berusaha mengatur urusan agama-agama, dan khususnya agama Islam yang paling terlihat diperketat pengawasanya agar tidak mengancam kekuasaan Belanda. Hingga pada perkembanganya muncul dikalangan masyarakat pribumi sebuah penyikapan ulang dalam menghadapi kolonial supaya hilang dari ranah Indonesia dan membentuk keadaan negara yang bebas dari penjajahan atau segala penindasan dari bangsa lain.
Syeikh Ahmad Khatib merupakan salah satu ulama nusantara dari Minangkabau yang banyak mengenyam pendidikan Islamnya di Haramain, Mekah. Ia menjadi tokoh penting pascaPaderi terhadap masyarakat di kampung halamanya. Ia juga banyak memberikan peran besar terhadap masyarakat Indonesia yang berada di Mekah. Maka dari hal-hal tersebut di dalam makalah ini akan sedikit banyak diuraikan mengenai kelengkapan biografi Syeikh Akhmad Khatib Minangkabawi, seberapa besar peranya di dalam masyarakat dan bagaimana pemikiran Islamnya dalam menanggapi keadaan di Minangkabau, dan kemudian juga torehanya terhadap masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain itu karisr serta karya-karyanya akan di jabarkan di dalam makalah ini. Semoga isi daripada makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya, Amiin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ahmad Khatib Al-Minagkabawi
Mengenai ketentuan tahun kelahiran Ahmad Khatib banyak keluar pendapat yang berbeda-beda. Deliar Noer mengatakan, Ahmad Khatib lahir di Bukit Tinggi tahun 1855, akan tetapi menurut Hamka ia lahir tahun 1860 (keduanya tidak menyebutkan sumbernya).[1] Dalam hal nasab keturunan, Ahmad Khatib dilahirkan dari keluarga bangsawan Minang sekaligus ulama, baik dari pihak ayahnya maupun ibunya. Ia meninggal dalam usia 60 tahun tepatnya pada 8/9 Jumadil Awal 1334 H/14 Maret 1916 M, dan jenazahnya dimakamkan di Mekah. Ayahnya adalah Abdullatif bergelar Khatib Nagari bin Abdurrahman sebagai Jaksa Kepala di Padang dan Ibunya adalah Limbak Urai, anak ketiga dari Tuanku nan Renceh, ulama terkemuka dari golongan Paderi. Jadi ia adalah keturunan ulama dan akhirnya pun unsur ulama memainkan peranan penting dalam hidupnya.
Sebagaimana anak Minangkabau lainya, Ahmad Khatib mendapat pendidikan agama semenjak masa kanak-kanak dari lingkungan keluarga dan ulama-ulama di kampungnya. Pendidikanya mulai Sekolah Rendah (setingkat SD/SR) kemudian melanjutkan ke Kweekshool (sekolah guru) di Bukittinggi.[2] Pada tahun 1871, Ahmad Khatib dan adik-adiknya Khafsah dan Syafiah diajak ayahnya menunaikan ibadah haji dan menetap disana bersama ayahnya untuk memperdalam pendidikan keIslaman. Beliau belajar kurang lebih sembilan tahun kepada para ulama di sana seperti Syeikh Yahya al-Qolbi, Syeikh Zaini Dahlan dan termasuk juga Seikh Muhammad Saleh al-Kurdi. Ilmu-ilmu yang diperdalamnya seperti tafsir, hadits fiqih, ilmu hisab dan lain-lain di Masjid al-Haram di Mekah (1287-1296 H/1871-1879 M).
B. Karirnya di Mekah
Ahmad Khatib diajak ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1871 bertepatan pada usianya yang sudah 11 tahun. Kemudian ia menetap di sana untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama. Menurut Hamka, karirnya Ahmad Khatib di Mekah sangat baik sekali. Ia adalah orang yang baik dan luas ilmunya serta disayangi orang-orang yang salah satunya adalah Syeikh Saleh Kurdi seorang saudagar penjual kitab-kitab agama dan bermadzhab Syafi’i. Syeikh Saleh Kurdi mempunyai hubungan yang baik dengan kerajaan Syarif-syarif di Mekah sehingga kedekatan Ahmad Khatib denganya membuat orang-orang istana dan para ulama mengenalnya.[3]
Dalam dinamika kehidupanya, Syeikh Ahmad Khatib menjadi seorang ulama besar yang dikenal tidak hanya oleh masyarakat Mekah saja, akan tetapi ia juga dikenal oleh masyarakat Minangkabau khususnya dan Indonesia pada umumnya. Semua itu berkat jasa dari guru-gurunya di Mekah, seperti Syeikh Bakr al-Syatta, Syeikh Yahya al-Qolbi, Syeikh Zaini Dahlan dan beberapa ulama lainya termasuk Syeikh Saleh Muhammad al-Kurdi. Ahmad Khatib belajar memperdalam bebarapa disiplin ilmu keIslaman seperti tafsir, hadits, fiqih, ilmu hisab dan lain sebagainya kepada mereka selama ±9 tahun. Ia menjadi seorang ahli fiqih dan penganut fiqih yang konsekuen, menjadi imam, Syeikh dan mufti madzhab Syafi’i di Masjidi al-Haram, Mekah. Seiring perjalanan karir serta perkembangan intelektualnya, ia diangkat menjadi ulama di sana dan dijodohkan pada 1296 (1879 M) dengan Khodijah puteri Syeikh Saleh al-Kurdi.[4] Dari pernikahan itu, mereka telah dikaruniai dua putra, yaitu Abdul Karim dan Abdul Malik. Kemudian ketika Khadijah meninggal, ia dinikahkan dengan Fatimah (adiknya Khadijah) dan dikaruniai dua orang anak, Khadijah dan Abdul Hamid al-Khatib.
Ahmad Khatib menjadi ulama terkemuka hingga menjadi seorang mualaf yang produktif. Ia banyak membuat karya besar yang kebanyakan menjelaskan ilmu fiqih, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun muammalah. Beliau banyak sekali mengarang kitab dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (Indonesia), di antaranya yang banyak tersiar di Indonesia, adalah:
1. Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih.
2. Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
3. Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).
4. Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.
5. An Nafahaat, Syarah waraqaat (usul fiqih).
6. Irsyadul Hajara fi Raddhi alan Nashara.
7. Tanbihul Awam, masalah Syari’at lslam.
8. Iqnaun Nufus, tentang zakat uang kertas.
9. Itsbatus Zain.
10. Dan banyak lagi yang lain.
C. Peranan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawi Terhadap Kehidupan atau Masyarakat di Tanah Kelahiranya (Indonesia)
Sebagai seorang ulama yang dikenal dengan ketegasan sikapnya, terutama dalam bidang hukum,[5] karena keahlianya dalam bidang fiqih, Ahmad Khatib merupakan sosok yang sangat menolak dua kebiasaan yang ada di Minangkabau yang dianggapnya bertentangan dengan syari’at Islam. Pertama, ia menentang Thariqot Naqsabandiyah yang sangat dipraktekan pada masa itu dan kedua ia sangat menentang peraturan-peraturan adat tentang hal waris. Kedua hal ini merupakan masalah yang terus menerus ditentang kemudian oleh pembaharu-pembaharu lain seperti Syaikh Muhammad Taher Jalaludin, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah dan Haji Abdullah Ahmad. Syikh Taher merupakan orang yang tertua dari keempat ulama tersebut, dan merupakan guru dari mereka ketika berada di Mekkah.
Dengan sikapnya Ahmad Khatib yang tegas dalam membela syari’at, ia sering terlibat dalam sebuah perbedaan, pertentangan, dan pendapat yang keras dengan ulama tharekat dari Minangkabau seperti Seikh Muhammad Sa’ad Mungka dan bahkan segala pertentangan yang ada diantara mereka dibukukan ke dalam kitab-kitab yang mereka tulis. Hingga dalam perkembangan pemikiran diantara murid Ahmad Khatib, ada yang setia mengikutinya dalam bermadzhab Syafi’i, ada pula kelompok yang membebaskan diri dari ikatan empat madzhab yakni kelompok modernis yang lebih tertarik mempelajari paham yang digelar Seikh Muhammad Abduh di Mesir meski tidak menampik guru mereka yang pertama, karena memang Ahmad Khatib tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari aliran modern ini.
Syeikh Ahmad Khatib merupakan ulama yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Allah. Murid-muridnya banyak yang menjadi ulama besar, bahkan sebagian dari mereka menjadi pendiri tokoh organisasi Islam di Asia Tenggara[6] pada abad ke-20 baik yang dikategorikan sebagai kaum modernis maupun kaum tradisionalis seperti Syeikh Taher Jalaludin (ahli falaq Malaysia), KH Hasyim Asy’ary dan Wahab Hasbullah (ahli hadits, pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), Syeikh Muhammad Thaib Umar (pembaharu di Minangkabau), Syeikh Abdullah Ahmad (pendiri sekolah Adabiyah), KH. Agus Salim (ulama intelek, negarawan, tokoh PSII), Sulaiman ar-Rosuli (pendiri Perti), Hasan Maksum (mufti kerajaan Deli, pensihat al-Washliyah), dan masih banyak lagi ulama besar lainya.
Sebagai ulama dari kalangan al-Jawi yang menjadi tokoh di Mekah, Ahmad Khatib menjadi tempat persinggahan, meminta nasihat dan perlindungan dari orang Melayu yang sedang menunaikan ibadah haji atau menetap di sana. Meskipun ia menetap di Mekah hingga akhir hayatnya, namun ia selalu memikirkan perjuangan di tanah air. Ahmad Khatib bersikap anti terhadap koloni Belanda, sehingga ia pun mendukung perjuangan Sarekat Islam sewaktu didirikan. Karena sikap anti-penjajahan inilah, ia menjadi sorotan intelijen Belanda yaitu Snouck Hurgronce yang saat itu ditugaskan di Arab Saudi untuk memata-matai orang Indonesia di sana, khsusunya ulama, mukmin dan jama’ah haji.[7]
BAB III
PENUTUP
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabawi merupakan putra dari pasangan Abdullatif dengan Limbak Urai yang keduanya merupakan keturunan bangsawan dan ulama dari golongan Paderi. Ia lahir di Bukittinggi dan tentang tahun kelahiranya terdapat berbedaan pendapat diantara para tokoh. Deliar Noer berpendapat bahwa ia lahir pada tahun 1855, sedangkan Hamka pada tahun 1860 yang keduanya tidak menyebutkan sumbernya. Sumber yang paling banyak mengatakan bahwa ia meninggal di Mekah pada tahun 14 Maret 1916.
Syeikh Ahmad Khatib mendapat pendidikan agama semenjak masa kanak-kanak dari lingkungan keluarga dan ulama-ulama di kampungnya. Pendidikanya mulai Sekolah Rendah (setingkat SD/SR) kemudian melanjutkan ke Kweekshool (sekolah guru) di Bukittinggi. Hingga kemudian memperdalam dan menambah keluasan ilmunya di Mekah dengan berguru kepada Syeikh Bakr al-Syatta, Syeikh Yahya al-Qolbi, Syeikh Zaini Dahlan, Syeikh Saleh Muhammad al-Kurdi dan beberapa ulama lainya. Ahmad Khatib belajar kepada mereka mengenai beberapa disiplin ilmu keIslaman seperti tafsir, hadits, fiqih, ilmu hisab dan lain-lain. Atas kecerdasan dan keluasan ilmunya, ia kemudian menjadi ulama besar yang memberikan pengaruh yang besar pada masyarakat Mekah hingga pada masyarakat di tanah kelahiranya Indonesia khususnya Minangkabau.
Pembaharuan Syeikh Ahmad Khatib dapat dilihat dari sikapnya terhadap praktek maupun adat istiadat yang ada di masyarakat Minangkabau yaitu tentang praktek Thatrekat Naqsabandiyah dan peraturan adat tentang ahli waris. Diantara karya-karya Syeikh Ahmad Khatib yaitu: Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih, Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”, Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka), Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka, An Nafahaat, Syarah waraqaat (usul fiqih), Irsyadul Hajara fi Raddhi alan Nashara, Tanbihul Awam, masalah Syari’at lslam, Iqnaun Nufus, tentang zakat uang kertas, Itsbatus Zain, Dan banyak lagi yang lain.
Peran Syeikh Ahmad Khatib terhadap masyarakat Indonesia dapat terlihat pada saat dimintai nasihat oleh para jama’ah haji dan menjadi guru dari para ulama-ulama nusantara yang memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan Islam di Indonesia pada abad ke-20.
DAFTAR PUSTAKA
Steenbringk, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: P.T Bulan Bintang. 1984.
Suprapto, M. Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara; Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: GELEGAR MEDIA INDONESIA. 2009.
[1] Dr. Karel A. Steenbringk, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19 (Jakarta: P.T Bulan Bintang, 1984), hlm. 139.
[2] H. M. Bibit Suprapto, SH, MSc, Msi, Ensiklopedi Ulama Nusantara; Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara (Jakarta: GELEGAR MEDIA INDONESIA, 2009), hlm. 190.
[3] Ibid.,Aspek Tentang Islam di Indonesia, hlm. 141.
[4] Ibid.,Ulama Nusantara, hlm. 191.
[5] Ibid.,Ensiklopedi Ulama Nusantara, hlm. 192.
[6] Ibid.,hlm. 195.
[7] Ibid.,Ensiklopedi, hlm. 191-192.
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......