Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Friday, 19 October 2018

ARKEOLOGI MAKAM ISLAM


Bangunan Makam
             
Salah satu hasil budaya Indonesia dari masa Indonesia Islam yang cukup menonjol ialah nisan (Nisan) Kubur. Sebagai satu hasil seni rupa Indonesia, maka dari segi arsitektur dan filsafahnya unsur pokok dari Nisan-Nisan di Indonesia merupakan satu kelanjutan dari masa-masa sebelumnya yakni dari masa prasejarah yang disambung kemasa Hindu-Islam (Recuffaer, 1932, 515 – 657). Nisan kubur ini lebih dikenal dengan sebutan makam. Pengertian makam disini adalah suatu sistim penguburan untuk orang muslim dimana di atas permukaan tanah dari tokoh yang dikuburkan lazim dibuat bangunan yang pada umumnya berbentuk persegi panjang dengan terletak arah Utara – Selatan.
            Dalam membuat makam ini maka sangat sering ditampilkan ragam hias dengan pola-pola tertentu. Sebenarnya hukum Islam menetapkan bahwa untuk bangunan makam hendaknya dibuat sesederhana mungkin, asal ada bukti tanda tokoh yang dimakamkan umpamanya sepotong batu atau sepotong kayu sudah cukup. Pembuatan makam yang berlebih-lebihan dengan berbagai macam ragam hias dianggap sebagai mubadzir sehingga makruh.
            Namun demikian aspirasi manusia yang ingin menampilkan hasil karya seni dengan membuat berbagai ragam hias pada bangunan makam, dapat kita lihat diberbagai tempat di dunia, misalnya makam Tajmahal di Agra, Chol Khumbaz di Rijapur (India) dan demikian juga di berbagai tempat di Indonesia. Dilihat dari sudut ilmu bangunan makam memiliki tiga unsur yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya yakni kijing (jirat), yakni dasar atau subasmen yang berbentuk persegi panjang dan dengan berbagai variasi kadang-kadang diberi tambahan sudut dan hiasan tangan dalam bentuk simbar (antefix). Kemudian di atasnya pada sudut puncak bagian utara dan selatan (jirat inti) tradisi menempatkan-menempatkan pada utara-selatan; diletakkan nisan (nisan) dari batu, kayu, logam. Nisan ini ada yang dipasang pada bagian kepala saja (utara) atau kedua-duanya kepala dan kaki yakni utara dan selatan. Jirat dengan nisan ini kadang-kadang diperlengkapi pula dengan bangunan pelindung yang disebut Cungkup. Tentang pengertian nisan atau nisan jika dilihat segi-segi etimologi telah diuraikan oleh beberapa ahli. Wilkinson berpendapat bahwa nisan atau nisan adalah variasi kata bahasa Persia yang artinya tanda. Hidding menyatakan bahwa nisan berasal dari kata paesan yaitu cermin untuk berhias, dimana kata paes artinya hias.
            L.Ch. Damais mengajukan pendapat bahwa kata nisan berasal dari kata Sanskerta: mahisa (kerbau). Pada zaman pra Hindu terdapat tradisi untuk memasak atau menegakkan batu semacam menhir dengan disertai upacara pemotongan kerbau. Tradisi semacam ini hingga kini masih terdapat pada masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan. (L.Ch. Damais, 1957 – 359 dan seterusnya). Selain kata nisan atau nisan terdapat juga istilah lokal khususnya di Jawa untuk bangunan sejenis dengan sebutan tengar (Jawa) atau tetenger (Sunda) atau tunggal (Sunda).
Tentang bentuk-bentuk dari nisan atau nisan ditampilkan berbagai bentuk serta ragam hias, bentuk-bentuk tersebut antara lain bentuk phallus, meru, lingga dan jirat (krinjing) terdapat berbagai pola hias berbentuk ukiran daun-daunan (floral decoration) yang ditambah dengan simbar-simbar pada susut-susut dan jiratnya juga banyak yang dibuat berundak.
Pada cungkup bangunan banyak dibuat berbagai hiasan, baik pada tiang-tiang bangunan, pada dinding cungkup dan pada atap cungkup (plapond). Berbentuk ragam hias yang menonjol ialah ragam hias ilmu ukur (geomeris) seperti tiga, tumpul, salib Yunani, kurawal dan sebagainya. Hal ini memberikan suatu fakta bahwa hingga perkembangan Islam di Indonesia dalam melahirkan hasil karyanya seni  tetap terjadi pembaharuan berbagai aspek seni masa pra-Islam.
            Nisan kubur berbentuk phalus kita temukan di berbagai tempat, misalnya di Tanggerang, Angke, Kalimantan Barat. Bentuk jirat yang menyerupai punden berundak kita temukan pada makam-makam di Sulawesi Selatan, Banten, Cirebon, Madura. Pola hias berbentuk daun-daunan kita temukan di cungkup makam Sunan Gunung Jati, Cungkup makam Sunan Giri, cungkup makam Kudus. Kompleks makam di Aer Mata ( Bangkal).
Pola hias berupa sulur dan daun mempunyai kaitan dengan filsafat ruang lingkup manusia dalam siklus kosmis dan pandangan ini terdapat pada konsepsi Hindu. (FDK Bosch. 1960, 139).
Demikian juga lambang meru yang ditemukan misalnya pada makam-makam di Madura merupakan satu perlambang dari alam kosmis dimana alam kedewataan mempunyai satu alam lain yang menguasai dunia dengan kerajaan yang bersifat kedewataan.
Dilihat dari sudut kesenian semata, maka semua karya seni hias pada makam ini adalah satu pengungkapan dari seniman dalam berupa gagasan yang dituangkan dalam bentuk garis warna dan irama dimana kesenian adalah pernyataan dari kebudayaan.
Unsur-unsur yang ada pada beberapa nisan kubur di Indonesia dapat digolongkan dalam dua kelompok tahun yang menyerap unsur Indonesia asli dan kelompok kedua ialah yang unsur-unsur dari luar Indonesia.
            Pengaruh Gujarat tampak pada nisan yang ada di Pasai dan Gresik yakni nisan dar Nahrisyah yang wafat pada tahun 831 M (1428 M) H. M. Zainuddin, 1961, 52) kemudian nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik yakni yang wafat pada tahun 822 M atau 1419 M. (JP. Moquette, 204, 214).  Unsur yang tidak bersifat fisik seperti dalam bentuk nisan yang sudah jadi seperti pada nisan tersebut di atas ialah syair yang termuat pada nisan berbentuk syair Persia, syair tersebut ditulis pda makam Naina Hasanuddin di Pasai yang wafat pada 823 H = 1420 M yang pada makam tersebut termuat syair bergaya Ibnu Sa’adi.
Demikian juga pola hias bunga-bungaan memberi gambaran tentang persamaannya dengan hiasan-hiasan pada permadani ataupun sajadah buatan Persia yang sudah dikenal dunia sejak abad 6 M. Tentang persamaan nisan di Pasai dan Gresik ini tidak hanya ada persamaan dengan Cambay (Gujarat) dalam bentuk bahan dan bentuknya saja tetapi juga model tulisan dan isi tulisan yang dipahatkan pada nisan tersebut adalah sama kecuali bagian kosong yang khusus disediakan untuk nama yang wafat.
            Selain unsur lokal pada beberapa bentuk makam di Jawa terdapat unsur lokal yang berasal dari masa Hindu baik dari bentuknya maupun dari pola hiasannya. Sebagai contoh yang paling nyata ialah pada beberapa wawsan yang berasal dari Troloyo (Mojokerto). Ada sebuah nisan berangka tahun caka 1379 atau 1457 M yang memiliki bentuk kurawal yang bentuknya mirip lengkung kala makara dengan disertai hiasan tumpal dan kelopak padma dan daun-daunan yang telah digayakan. Garis lengkung yang berbentuk kurawal ini mengingatkan kita pintu gerbang Candi yang berbentuk kala makara. (FDK Bosch, 23-50). Pada bangunan Candi Sukuh terdapat relief yang menggambarkan tokoh wayang yang pada tepi reliefnya diberi hiasan berbentuk meander. Bentuk rorana yang berakhir dengan kala makara perlambang hubungan dunia atas (alam kedewataan) dan dunia bawah (alam duniawi). Hal ini merupakan perlambang dari konsep kosmis yakni jagat raya yang dikelilingi air.
Unsur lain yang dianggap sebagai kelanjutan tradisi Hindu ialah bentuk-bentuk makam yang berbentuk meru atau gunungan. Kekayon atau gunungan ini merupakan pelindung (prabba) dari nisan khususnya nisan bagian utara (kepala). Meru atau gunungan dapat dihubungkan dengan bentuk bangunan punden berundak. Bangunan punden berundak, atau gunung, bukit pohon yang tinggi rimba raya dalam pandangan masyarakat dari zaman prasejarah merupakan perlambang dari perwujudan alam semesta. Terdapat anggapan pada masyarakat tradisionil bahwa sesudah mati untuk arwah manusia terdapat alam lain atau kehidupan lanjutan tempat para arwah menyatu dengan penguasa-penguasa alam. Arwah berada dipuncak-puncak gunung, puncak pohonan, di langit dan matahari yang semuanya itu perlu perlambangan dalam bentuk makam yang diberi pola hias tertentu sebagai perlambangan semesta.
            Kalau kita meninjau fungsi yang sebenarnya nisan makam dalam pengertian Islam hanya sederhana saja yakni sebagai tanda tentang Islam simati, dimana tanda tersebut yang disebut nisan diletakkan pada kepala dan kaki. Ada juga beberapa nisan yang hanya diberi tanda pada bagian kepala saja misalnya makam Nahrisyah, Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Selain itu letak dari orang yang dikuburkan harus membujur arah utara selatan dengan muka ke Kiblat. Kalau kita melihat kenyataan bahwa beberapa makam tokoh tertentu baik tokoh keagamaan maupun tokoh raja mendapat perlakuan yang berlebih-lebihan dari masyarakat dengan seringnya diziarahi maka kesan demikian ada yang bersifat penghormatan karena karisma dari tokoh yang meninggal atau karena memang tradisi masyarakat masih berdasarkan pola tradisionil masa sebelum Islam yakni adanya kesan pemujaan kepada arwah nenek-moyang. Berikut ini diuraikan tentang beberapa kompleks makam Kuno di Cirebon, dan semua dapat sama sebagai salah satu model makam-makam Kuno di Indonesia

No comments:

Post a Comment

kasih komentar balik yah......