Aceh
memiliki peninggalan arkeoogi, khususnya arkeologi dari zman Islam dan Eropa,
yang tersebar sampai ke daerah-daerah. Peninggalan purbakala tersebut mempunyai
nilai sejarah yang sngat penting. Hampir di seluruh daerah tingkat II di Aceh
terdapat peninggalan kepurbakalaan, khususnya dri masa Islam. Dalam upay
pelestarian peninggalan kepurbakalaan ini, pemerintah sejak awal Pelita II
sudah mulai menaruh perhatian terhadap pelestarian peninggalan purbakala ini.
Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri bahwa peninggalan purbakala merupakan aset
nasional di bidang kebudayaan. Perhatian pemerintah terhadap peninggalan
purbakala dimulai dengan program inventarisasi dan dokumentasi pada situs-situs
purbakala di Aceh yang dimulai tahun 1973, dan tahap berikutnya adalah
penggalian arkeologi serta pemugaran yang dimulai tahun 1976 dan dilanjutkan
tahun-tahun berikutnya.
Upaya
pelestarian kepurbakalaan I Aceh ini tampak masih menghadapi berbagai persoalan
besar. Persoalan ini terutama menyangkut beberapa hal sebagai berikut:
1.
Inventarisasi situs dan
tapak-tapak kepurbakalaan di Aceh sudah dilaksanakan oleh J.J. de Vink +
tahun 1912 dan tahun-tahun berikutnya, dilanjutkan oleh Pemerintah R.I. sejak
permulaan kemerdekaan hingga PJP I. Namun, data terperinci tentang jumlah dan
jenis peninggalan purbakala tersebut belum terhimpun secara lengkap, dan belum
ada pemanduan data di Pusat (Puslitarkenas, Ditlinbinjarah) dan Daerah (Suaka
PSP Aceh dan Bidang Muskala).
2.
Pelestarian
ini masih terbatas karena dana pemerintah masih sedikit, tidak sebanding dengan
peninggalan purbakala yang harus ilestarikan yang berjumlah banyak.
3.
Belum
dioptimalkannya pemanfaatan hasil pelestarian peninggalan kepurbakalaan untuk
obyek pariwisata, maka perlu adanya keterpaduan pelestarian (Ditjen Kebudayaan)
dengan pemanfaatannya untuk wisata (Dinas Pariwisata).
4.
Belum
maksimalnya peran masyarakat pada pentingnya peninggalan purbakala di daerah
Aceh sebagai warisan budaya bangsa.
Untuk itu, dalam hal ini diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi
persoalan di atas, di antaranya:
1.
Perlu
disusun program inventarisasi kepurbakalaan Aceh di seluruh popinsi, dan
pengkodifikasian hasil inventarisasi tersebut dalam program Nasional Sistem
Informasi Kebudayaan, yang merupakan program Nasional Direktorat Jenderal
Kebudayaan.
2.
Kanwil
setempat bersama intansi di bawahnya dapat mengadakan pendekatan kepada Pemda
Tk. I dan PemdaTk. II untuk mengoptimalkan Program Nasional dan Program Daerah,
sehingga pelestarian kepurbakalaan mncapai hasil maksimal.
3.
Perlu dibina
kerjasama antara intansi yang menangani pelestarian (Kanwil Depdikbud dan
Ditjenbud) dengan intansi yang menyelenggarakan pemanfaatan (Dinas
Pariwisaata), sehingga asset peninggalan purbakala yang telah dipugar dapat
dijadikan obyek pariwisata.
4.
Perlu
dikembangkan publikasi berupa buku panduan peninggalan purbakala secara
maksimal.
5.
Perlu
digalakkan peran serta kepedulian masyarakat akan arti dan nilai kepurbakalaan
sebagai aset bangsa dibidang kebudayaan.
Peninggalan kepurbakalaan Aceh, yang tersebar di seluruh wilayah Prpinsi
Aceh, merupakan warisan budaya bangsa yang tidak ternilai. Peninggalan tersebut
bukan saja merupakan saksi sejarah, sebagai bukti budaya Aceh, tapi juga
merupakan cermin kejayaan masyarakat Aceh di masa lampau. Peninggalan tersebut
merupakan sebuah konfigurasi perjalanan sejarah Aceh sejak awal berdirinya
hingga pertempuran kerajaan Aceh dalam mempertahankan keutuhan dan kedaulatan
kerajaannya. Berbagai bangsa tlh datang dn pergi untuk menyinggahi bandar-bndar
besar di Perlak, Pasai, Banda Aceh, yang mencapai puncaknya di abad17 M. Ini
juga merupakan bukti posisi strategis geo-administratif wilayah Aceh, dan
sekaligus bukti bahwa masyarakatnya telah bertempur dengan berbagai bangsa Eropa,
khususnya Portugis dan Belanda. Namun, di sisi lain, terdapat cerminan yang
agak kelabu, yakni kurang terpeliharanya peninggalan tersebut sebagai warisan
budaya Aceh. Maka tugas kita untuk peduli pada upaya melestarikan peninggalan
tersebut dengan perhatian yang lebih dari yang diberikan sekarang ini. Ambary,
1998: 347-354).
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......