Di dalam
pasal 1 UUCB 1992 sebagai pengganti Monumenten Ordonansi dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan benda cagar budaya adalah :
a.
Benda
bergerak atau tidak bergerak yang dibuat oleh manusia berupa kesatuan atau
kelompok atau sisa-sisanya terutama yang berumur 50 tahun atau memiliki masa
gaya yang khas dan dapat mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun dan
dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, arkeologi, sejarah, etnografi
dan kesenian.
b.
Benda
yang dianggap mempunyai nilai penting bagi paleontraopologi.
c.
Situs,
yaitu medan yang pada permukaan dan di dalamnya mengandung benda yang dimaksud
dalam butir a dan b, termasuk medan baik pada permukaan maupun di dalamnya yang
tidak mengandung benda yang dimaksud dalam butir a dan b tetapi penting bagi
penentuan batas wilayah.
Dengan batasan pengertian seperti tersebut di atas maka
dapat dimengerti bahwa bangunan-bangunan kuno yang memiliki nilai arkeologis
dan historis dapat digolongkan sebagai benda cagar budaya. Mengingat adanya
macam-macam bahaya yang mengancam keselamatan dan kelestarian akan
peninggalan-peninggalan bangunan kuno tersebut, maka usaha-usaha konservasi
perlu dilakukan. Dalam hal ini konservasi tidak saja ditujukan pada keselamatan
bangunan kunonya, akan tetapi termasuk juga situs dimana bangunan itu berada.
Dengan konservasi maka nilai-nilai luhur yang melekat pada bangunan kuno
tersebut akan dipertahankan dan dinikmati, serta diwariskan oleh
generas-generasi kemudian (Mark Robinson, 1985 : 11 – 17).
Kerusakan
atau kemusnahan benda-benda cagar budaya dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
yaitu :
a.
Kerusakan
karena faktor mekanik, yaitu faktor-faktor yang berasal atau ditimbulkan oleh
kegiatan alam, seperti misalnya banjir dan gempa bumi.
b.
Kerusakan
yang disebabkan oleh faktor kemik, yaitu kerusakan yang ditimbulkan oleh proses-proses
kimia, misalnya pengaruh oksidasi.
c.
Kerusakan
yang disebabkan oleh faktor biologik, yaitu kerusakan yang ditimbulkan oleh
benda-benda hidup, misalnya tanaman, binatang dan manusia.
Diantara ketiga faktor tersebut, manusia merupakan faktor
yang paling berbahaya dan sangat sukar mengatasinya (Soejono, 1972: 106 – 108).
Tindakan-tindakan vandalisme berupa perusakan dan corat-coret peninggalan
sejarah dan purbakala, pencurian, pemugaran liar, penggalian liar dan
tindakan-tindakan kejahatan lainnya merupakan ulah manusia yang semakin lama
semakin merajalela. Lebih-lebih lagi di zaman pembangunan seperti sekarang ini,
banyak proyek-proyek pembangunan yang tidak memperhatikan keselamatan
benda-benda cagar budaya tersebut. Apabila keadaan ini berlanjut maka lama
kelamaan benda-benda cagar budaya yang memiliki nilai budaya tinggi semakin
lama semakin berkurang jumlahnya. Ini berarti bahwa pemiskinan budaya akan
terjadi.
Kekhawatiran akan keselamatan cagar budaya itu tidak
hanya pada benda-benda sejarah dan purbakala saja, akan tetapi juga terhadap
keselamatan situsnya, tempat benda-benda tersebut berada. Situs ini juga perlu
mendapatkan perlindungan karena dari situlah informasi mengenai hubungan
fungsional bendanya akan dapat ditelusuri. Ini berarti bahwa di dalam memandang
benda cagar budaya tidak dapat lepas dari konteksnya. Antara benda dan situs
tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan dalam
memberikan informasi.
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......