Sejak
Thomson memperkenalkan sistem penzamanan (three age system) terhadap
barang-barang koleksi museum Nasional di Copenhagen pada tahun 1819, dunia
arkeologi mulai memalingkan perhatiannya pada penyusunan artefak (ordering
of artifacts) berdasarkan perbedaan waktu. Karena perbedaan waktu maka
terjadi perbedaan jenis-jenis artefak, sedang jenis-jenis artefak tersebut
dapat menunjukkan kebudayaan. Ini berarti bahwa perubahan kebudayaan dapat
terjadi karena perbedaan waktu. Munculnya kesadaran ini telah memperluas
cakrawala arkeologi, yang pada masa sebelumnya hanya melihat faktor ruang saja
yang menyebabkan perbedaan kebudayaan.
Menjelang
akhir abad 19, banyak ahli mulai mempelajari evolusi artefak. Mereka percaya
bahwa seperti halnya makhluk hidup, artefak pun mengalami evolusi dari waktu ke
waktu. Sejak saat itu istilah tipologi mulai digunakan dengan pengertian bahwa
perbedaan tipe alat menunjukkan perbedaan waktu. Seorang ahli peradaban Mesir,
Sir Flinders Petrie pada tahun 1902 telah berusaha menyusun secara kronologis
sejumlah kubur di lembah Sungai Nil dengan menggunakan data berupa
tempayan-tempayan sebagai bekal kuburnya. Dia beranggapan bahwa
perbedaan-perbedaan gaya
pada tempayan-tempayan bekal kubur tersebut menunjukkan perubahan secara
gradual. Dengan mengamati perbedaan-perbedaan tersebut akan diketahui sekuensi
(urutan waktu) masing-masing tempayannya atau kuburnya. Studi tipologi ini kemudian menjadi sangat popular di
dunia arkeologi. Di dalam perkembangannya kemudian muncul studi seriasi yang
digunakan untuk penentuan kronologi. Prinsip di dalam seriasi yaitu bahwa tipe
dan gaya sesuatu akan mengalami proses : muncul, berkembang, memuncak, menurun
dan akhirnya hilang. Tipe dan gaya yang hilang itu akan digantikan tipe dan
gaya yang lain, yang telah muncul sebelum tipe dan gaya yang digantikan hilang,
demikian seterusnya. Sengan menyusun secara serial tipe dan gaya artefak akan
diketahui kronologinya (Deetz, 1967). Selaiin dipengaruhi oleh faktor waktu,
perbedaan-perbedaan artefak atau kebudayaan juga terjadi karena faktor ruang.
Bahwa antara masyarakat pedalaman dan masyarakat pantai, antara suku Jawa dan
suku Irian, antara bangsa Indonesia dan bangsa Amerika Serikat mempunyai
kebudayaan yang berbeda, disebabkan oleh karena perbedaan ruang. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa antara bentuk, ruang dan waktu (form, space
and time) mempunyai hubungan yang erat, dalam arti bahwa perbedaan bentuk
tidak dapat lepas dari perbedaan ruang dan waktu.
Dalam
bidang arsitektur pun nampaknya pandangan terhadap dimensi bentuk, ruang dan
waktu sama dengan pandangan dalam arkeologi. Perbedaannya mungkin terletak pada
prosedurnya. Arkeologi melihat pada objek-objek dari masa lampau di dalam
perkembangannya sampai sekarang, sedangkan arsitektur melihat pada objek-objek
masa sekarang sebagai hasil perkembangan dari masa lampau dan yang perlu
dikembangkan di masa-masa mendatang. Lepas dari perbedaan tersebut di atas,
karena arsitektur itu berhubungan dengan pemanfaataan ruang untuk berbagai
kepentingan, maka pertimbangan ruang dan waktu perlu diperhitungkan. Ini
berarti bahwa bentuk-bentuk arsitektur, secara mikro dan makro harus
disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktunya. Bentuk-bentuk arsitektur pada
suatu tempat dan waktu tertentu akan berbeda dengan bentuk-bentuk pada tempat
dan waktu yang berbeda. Yang menjadi pusat perhatian baik bagi arkeolog maupun
arsitektur, yaitu untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan
perubahan-perubahan tersebut sebagai akibat dari perbedaan ruang dan waktu.
Diperkirakan bahwa faktor-faktor lingkungan, ekonomi, politik dan adat tradisi
dapat berpengaruh terhadap perubahan-perubahan tersebut.
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......