Sastra, Opini, Selasar, Profil, just for you,

Tuesday, 2 October 2018

Arkeologi dan Arsitektur terhadap Dimensi Waktu, Ruang dan Bentuk




Sejak Thomson memperkenalkan sistem penzamanan (three age system) terhadap barang-barang koleksi museum Nasional di Copenhagen pada tahun 1819, dunia arkeologi mulai memalingkan perhatiannya pada penyusunan artefak (ordering of artifacts) berdasarkan perbedaan waktu. Karena perbedaan waktu maka terjadi perbedaan jenis-jenis artefak, sedang jenis-jenis artefak tersebut dapat menunjukkan kebudayaan. Ini berarti bahwa perubahan kebudayaan dapat terjadi karena perbedaan waktu. Munculnya kesadaran ini telah memperluas cakrawala arkeologi, yang pada masa sebelumnya hanya melihat faktor ruang saja yang menyebabkan perbedaan kebudayaan.
Menjelang akhir abad 19, banyak ahli mulai mempelajari evolusi artefak. Mereka percaya bahwa seperti halnya makhluk hidup, artefak pun mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Sejak saat itu istilah tipologi mulai digunakan dengan pengertian bahwa perbedaan tipe alat menunjukkan perbedaan waktu. Seorang ahli peradaban Mesir, Sir Flinders Petrie pada tahun 1902 telah berusaha menyusun secara kronologis sejumlah kubur di lembah Sungai Nil dengan menggunakan data berupa tempayan-tempayan sebagai bekal kuburnya. Dia beranggapan bahwa perbedaan-perbedaan gaya pada tempayan-tempayan bekal kubur tersebut menunjukkan perubahan secara gradual. Dengan mengamati perbedaan-perbedaan tersebut akan diketahui sekuensi (urutan waktu) masing-masing tempayannya atau kuburnya. Studi tipologi ini kemudian menjadi sangat popular di dunia arkeologi. Di dalam perkembangannya kemudian muncul studi seriasi yang digunakan untuk penentuan kronologi. Prinsip di dalam seriasi yaitu bahwa tipe dan gaya sesuatu akan mengalami proses : muncul, berkembang, memuncak, menurun dan akhirnya hilang. Tipe dan gaya yang hilang itu akan digantikan tipe dan gaya yang lain, yang telah muncul sebelum tipe dan gaya yang digantikan hilang, demikian seterusnya. Sengan menyusun secara serial tipe dan gaya artefak akan diketahui kronologinya (Deetz, 1967). Selaiin dipengaruhi oleh faktor waktu, perbedaan-perbedaan artefak atau kebudayaan juga terjadi karena faktor ruang. Bahwa antara masyarakat pedalaman dan masyarakat pantai, antara suku Jawa dan suku Irian, antara bangsa Indonesia dan bangsa Amerika Serikat mempunyai kebudayaan yang berbeda, disebabkan oleh karena perbedaan ruang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara bentuk, ruang dan waktu (form, space and time) mempunyai hubungan yang erat, dalam arti bahwa perbedaan bentuk tidak dapat lepas dari perbedaan ruang dan waktu.
Dalam bidang arsitektur pun nampaknya pandangan terhadap dimensi bentuk, ruang dan waktu sama dengan pandangan dalam arkeologi. Perbedaannya mungkin terletak pada prosedurnya. Arkeologi melihat pada objek-objek dari masa lampau di dalam perkembangannya sampai sekarang, sedangkan arsitektur melihat pada objek-objek masa sekarang sebagai hasil perkembangan dari masa lampau dan yang perlu dikembangkan di masa-masa mendatang. Lepas dari perbedaan tersebut di atas, karena arsitektur itu berhubungan dengan pemanfaataan ruang untuk berbagai kepentingan, maka pertimbangan ruang dan waktu perlu diperhitungkan. Ini berarti bahwa bentuk-bentuk arsitektur, secara mikro dan makro harus disesuaikan dengan kondisi tempat dan waktunya. Bentuk-bentuk arsitektur pada suatu tempat dan waktu tertentu akan berbeda dengan bentuk-bentuk pada tempat dan waktu yang berbeda. Yang menjadi pusat perhatian baik bagi arkeolog maupun arsitektur, yaitu untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan perubahan-perubahan tersebut sebagai akibat dari perbedaan ruang dan waktu. Diperkirakan bahwa faktor-faktor lingkungan, ekonomi, politik dan adat tradisi dapat berpengaruh terhadap perubahan-perubahan tersebut.

No comments:

Post a Comment

kasih komentar balik yah......