A.
Kompetensi Dasar
Mahasiswa mampu
memahami metode penelitian arkeologi dan menerapkannya dalam penelitian
benda-benda purbakala.
B.
Peta Konsep
Meliputi
artefak ekofak fetur
diperoleh melalui


SURVEI dilanjutkan EKSKAVASI
permukaan tanah bawah tanah bawah air
dengan cara menggunakan
prinsip diving
random stratified

vertikal horizontal efektif total sistem kotak sistem terbuka
meninggikan tanpa tanah
per lot per spit

artefaktual rekonstruksi
v
analisis data

konteksrual rekonstruksi
C.
Serambi/Senarai/Current
Issues
·
أفلم يسيروا في الأرض فينظروا كيف كان
عاقبة الذين من قبلهم
·
Arus
kegiatan dan transportasi kegiatan perniagaan pada periode pengaruh awal Islam
di Indonesia telah berlangsung secara intensif dan merupakan kegiatan multi bangsa
dan multi kepentingan. Ketika dalam proses perniagaan tersebut terjadi adanya
kepentingan yang berbeda terutama kepentingan politis, maka terjadilah kemudian
peristiwa-peristiwa sejarah. Dampaknya salah satunya adalah banyaknya konflik
yang kemudian menjadi peperangan terbuka.
·
Shipwreck dan underwater
archaeology
D.
Materi Pokok
1.
Cara-cara Perolehan
Data Arkeologi
Di
awal telah dikemukakan bahwa arkeolog bekerja menggunakan data yang berupa
artefak, ekofak, dan fetur. Data tersebut dapat diperoleh lewat suatu kegiatan
yang dilakukan dengan cara survei (survey) dan ekskavasi (excavation).
Perbedaan antara survei dan ekskavasi, yaitu bahwa kegiatan survei lebih ditekankan
pada pengamatan terhadap data arkeologis yang berada di permukaan tanah, dalam
tanah, dan bawah air, sedangkan kegiatan ekskavasi ditekankan pada upaya
penyingkapan tanah atau lapisan yang menutupi untuk mendapatkan data arkeologi
tersebut.
a.
Survei
Berdasarkan
jenis kegiatannya, survei dapat dibedakan menjadi survei permukaan tanah,
survei dalam tanah, dan survei bawah permukaan air. Survei permukaan tanah dilakukan dengan
mengadakan pengamatan secara langsung dengan mata telanjang (tanpa alat bantu
kecuali kaca mata) pada suatu situs untuk mendapatkan gambaran ada tidaknya
data arkeologi pada lokasi penelitian.
Ada
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melakukan survei permukaan tanah yang
pelaksanaannya tergantung pada tujuan, medan
penelitian, tenaga, biaya dan waktu yang tersedia. Namun, secara garis besar,
survei permukaan tanah dapat dilakukan secara acak (random) dan
terstrata (stratified). Cara
random dilakukan tanpa memperhatikan
penting tidaknya suatu lokasi untuk disurvei. Setiap lokasi dianggap
mempunyai kedudukan dan potensi yang sama untuk mendapatkan kesempatan
disurvei. Sebaliknya survei terstrata sudah mempertimbangkan adanya penilaian
bahwa suatu lokasi diperkirakan berpotensi lebih besar dibandingkan dengan
lokasi yang lain. Dengan demikian dari luas keseluruhan satu situs yang akan
disurvei, hanya lokasi-lokasi tertentu yang dianggap mempunyai potensi lebih
akan mendapatkan prioritas pertama untuk disurvei.
Survei dalam tanah dapat dilakukan dengan menggunakan
alat-alat deteksi seperti misalnya; foto infra merah, geo-elektrik,
geo-magnetik, zonding, dan lain-lain. Foto udara infra merah biasanya digunakan
untuk survei pada areal situs yang luas. Hasilnya kemudian dibaca dan
diinterpretasi untuk pendugaan ada tidaknya peninggalan-peninggalan arkeologis.
Foto udara akan menunjukkan kenampakan-kenampakan dengan citra yang berbeda.
Hasil interpretasi dari foto udara ini kemudian dibuktikan dengan mengadakan
ekskavasi atau penggalian.
Cara lain yang dilakukan untuk survei dalam tanah, yaitu
dengan menggunakan alat geo-elektrik dan geo-magnetik. Kedua jenis alat ini
memiliki cara kerja yang hampir sama yaitu mendeteksi bagian dalam tanah untuk
mencari anomali-anomali yang ada. Anomali tersebut akan dapat membantu
memperkirakan isi yang ada di dalam tanah. Untuk pembuktian ada tidaknya temuan
arkeologis perlu adanya penggalian. Perbedaan antara keduanya adalah jenis
kekuatan yang diukur, yaitu kekuatan aliran listrik diukur dengan geoelektrik,
dan kekuatan magnet diukur dengan geo-magnetik.
Survei dalam air dilakukan di dasar laut, dasar sungai,
atau danau. Seperti diketahui bahwa di tempat-tempat tersebut sering ditemukan
peninggalan-peninggalan arkeologis baik yang disebabkan oleh karena adanya
kapal pembawa barang-barang kemudian kandas, atau karena terendapkan oleh
aliran air (erosi). Untuk melakukan survei dalam air ini, selain memerlukan
peralatan khusus juga petugas survei juga harus memiliki kemampuan menyelam (diving).
b.
Ekskavasi
Seringkali
disebut juga penggalian. Biasanya terpadu, tidak hanya arkeolog karena
ekskavasi merupakan penelitian tiga dimensi, diperhatikan juga stratigrafinya.
Pada prinsipnya ekskavasi adalah kegiatan yang sebenarnya merusak karena itu
perlu pertanggungjawaban keilmiahan yang tinggi, dengan ekskavasi maka
tinggalan di dalam tanah menjadi tidak pada tempat aslinya. Untuk memberikan
gambaran tentang keadaan temuan seperti keadaan pada waktu sebelum berubah atau
terangkat diperlukan perekaman (recording) dan observasi yang tepat.
Perekaman harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat ditunjukkan
konteksnya, meliputi stratigrafinya, kronologinya, dan asosiasinya.
Berdasarkan
sifatnya, kegiatan ekskavasi dapat dibedakan menjadi dua macam; yaitu ekskavasi
vertikal dan horisontal. Ekskavasi vertikal mengutamakan kedalaman lubang
galian, ekskavasi horizontal menekankan lebar atau luas horizon yang digali.
Ekskavasi vertikal bertujuan untuk mengetahui lapisan-lapisan budaya yang ada
pada satu situs sehingga dapat diketahui perkembangan kebudayaannya secara
kronologis. Sebaliknya ekskavasi horizontal bertujuan untuk melihat distribusi
atau sebaran artefak-artefaknya sehingga akan dapat diketahui kelas-kelas
budaya yang ditimbulkan oleh perbedaan ruang.
Berdasarkan
tipenya, ekskavasi juga dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu tipe selektif
dan tipe total. Pada prakteknya tipe pertama yang paling banyak dilakukan.
Penggalian selektif dilakukan dengan cara memilih sebagian dari seluruh kotak
yang ada pada situs tersebut. Penggalian selektif ini selain kotak galiannya
terbatas, misalnya untuk tujuan stratigrafi atau kronologi atau untuk pemecahan
masalah-masalah khusus yang dialami di tempat lain yang lebih luas.
Keuntungan
dari ekskavasi selektif yaitu biaya yang dikeluarkan lebih mudah dihemat selain
itu juga menghemat biaya dan waktu untuk memecahkan maslah-masalah
kompleks jika ekskavasi dilakukan secara
benar. Kosekuensinya yaitu ekskavasi selektif ini harus dilakukan sesempurna
mungkin sehingga tidak mempersulit tindakan penggalian ataupun penelitian
lanjutan dalam sesudahnya dalam
mempergunakan data. Penggalian
selektif sering menggunakan konsep vertical excavation untuk mencari
informasi kronologi. Ekskavasi selektif juga biasa dipakai dalam rescue
excavation karena tidak banyak waktu untuk melakukan penggalian secara
luas.
Tipe
ekskavasi total dilakukan pada skala yang luas dan membutuhkan biaya yang
mahal. Area situs bersifat horizontal dan memiliki berbagai jenis temuan baik
yang bersifat artefaktual maupun structural. Meskipun stratigrafi dan kronologi
juga dianggap penting, tetapi pusat perhatian biasanya ditujukan pada
distribusi temuan dilihat secara horizontal (Fagan,
1975: 146-148).
Untuk melaksanakan pekerjaan ekskavasi secara benar, maka
harus digunakan teknik dan sistem ekskavasi yang benar pula. Secara umum
berdasar sistematikanya ekskavasi juga dibedakan menjadi dua yaitu box
system (sistem kotak) dan open system (sistem terbuka).
Disebut sistem bok karena ekskavasi dilakukan pada kotak-kotak (grids)
yang telah disiapkan sebelum ekskavasi itu dilaksanakan. Sistem ini dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan meninggalkan baulk (pematang)
pada masing-masing kotak atau dengan tanpa baulk. Termasuk dalam sistem
ini yaitu ekskavasi sistem parit (trench system). Pada sistem
bok, masing-masing kotak galian mengikuti batas-batas grid, sedangkan pada sistem
parit, walaupun penggaliannya berada dalam grid-grid yang ada, tetapi tidak selalu
mengikuti batas grid. Di samping itu, kalau pada sistem bok penggalian
dilakukan kotak per kotak tidak harus berurutan. Pada sistem parit enkskavasi
dilakukan serentak beberapa kotak berurutan memanjang.
Penggalian sistem terbuka (open system) biasa dipraktekkan
di Amerika Serikat. Sistem ini tidak menggunakan grid-grid sebagai dasar
penentuan kotak-kotak yang akan digali. Penggalian dilakukan dengan mengupas
tanah pada seluruh areal situs yang batas-batasnya telah ditentukan. Untuk sistem
ini recording harus dilakukan secermat dan selengkap mungkin.
Cara pengupasan tanahnyapun dapat dilakuakan dengan dua
cara, yaitu cara pengupasan per spit dan cara pengupasan per lot.
Cara yang pertama dilakukan dengan mengupas tanah pada setiap ketebalan
tertentu (1 spit), misalnya tiap spit ditentukan 5 cm, 10 cm atau lebih
tergantung hasil survei. Pengupasan per lot dilakukan dengan melihat
gejala-gejala atau perbedaan-perbedaan yang ada di dalam tanah, misalnya
perbedaan lapisan tanah, feature, konsentrasi artefak. Setiap gejala
dianggap satu lot dan dalam pengupasannya harus dipisahkan dengan gejala
lainnya. Dengan demikian ketebalan lapisan pada setiap lot tidak harus sama
seperti pada pengupasan per spit.
Hal yang lebih penting lagi kaitannya dengan proses ekskavasi
yaitu perlakuan terhadap hasil temuan dan konteks stratigrafinya. Untuk itu
perlu penanganan khusus yaitu perekaman (recording) yang dapat dilakukan
secara verbal (uraian) dan piktorial (foto dan gambar). Pekerjaan ini harus
sesempurna mungkin untuk menghindari hilangnya konteks temuan. Pengukuran
harus dilakukan dengan pengukuran tiga dimensi.
2.
Analisis Data
Tahap
berikutnya setelah diperoleh data baik dari kegiatan survei maupun ekskavasi
adalah menggunakan data tersebut untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan
analisis. Secara prinsip, analisis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
analisis artefaktual dan kontekstual. Analisis artefaktual dilakukan terhadap
masing-masing artefak, tujuannya untuk mengetahui sifat-sifatnya dengan suatu
asumsi bahwa sifat-sifat artefak tersebut dapat menunjukkan cirri-ciri dari
unsure kebudayaan manusia pembuatnya.
Dalam
analisis kontekstual, masing-masing data dihubungkan sehingga memberikan
gambaran mengenai konteksnya, baik dilihat dari stratigrafi, kronologi, dan
atau asosiasinya. Temuan-temuan yang berasal dari strata (lapisan) tanah yang
sama akan menunjukkan bahwa temuan-temuan itu berasal dari waktu (kronologi)
yang sama. Strata satu dengan yang lainnya menunjukkan kronologi yang berbeda.
Asdapun hukum asosiasinya, temuan-temuan yang berada dalam satu strata dan
letaknya berdekatan menunjukkan tingkat asosiasi yang tinggi, sedang
temuan-temuan dari strata yang berbeda, apalagi letaknya berjauhan mempunyai
tingkat asosiasi yang rendah. Satu hal yang perlu mendapat perhatian yaitu
bahwa di dalam analisis kontekstual semua data yang ada baik artefak, ekofak
maupun fetur harus digunakan secara bersamaan. Untuk melaksanakan analisis
data, diperlukan alat penyusunan data yang disebut klasifikasi. Dalam
arkeologi, kalisfikasi adalah cara menyusun data arkeologi menjadi
kelompok-kelompok atau kelas-kelas berdasarkan perbedaan bahan, warna, ukuran,
bentuk, jenis, dan lain-lain. Cara
melakukan klaifikasi dapat berubah menyesuaikan dengan masalah-masalah yang
akan diteliti.
Dalam klasifikasi juga diperlukan perhatian adanya
perbedaan lapisan-lapisan budaya, untuk melihat secara kronologis juga hubungan
antara masing-masing lapisan budaya tersebut. Tindakan klaifikasi berikutnya
adalah membuat tipologi dengan mengelompokkan temuan-temuan ke dalam tipe-tipe
tertentu. Pengelompokkan ini berdasarkan pada kesamaan atribut yang dimiliki
oleh masing-masing temuan (artefak). Manfaat dari tipologi
yaitu:
a.
dapat
mengetahui hubungan antara satu situs dengan situs yang lain secara spasial.
b.
dapat
mengetahui sekuensi (urutan waktu) antara budaya yang satu dengan yang lain
(hubungan secara temporal).
Cara klasifikasi yang lain dapat dilakukan dengan
mendasarkan pada perbedaan fungsi artefak. Klasifikasi berdasarkan fungsi dapat
menunjukkan budaya pembuatnya. Penggunaan alat tidak semata-mata karena enak
dan praktis dalam pemakaiannya, tetapi juga tergantung pada kebiasaan atau adat
yang berlaku.
Beberapa tujuan penelitian akan dapat dicapai dengan
analisis terutama hubungannya dengan rekonstruksi lingkungan dan
subsistensinya, teknologi dan pemukiman masa lalu. Rekonstruksi lingkungan masa
lalu terutama dapat dilihat dari data arkeologis yang berupa sisa-sisa tulang
binatang konsumsi dan sisa-sisa tanaman. Karena setiap jenis binatang mempunyai
karakter yang berebda dengan binatang lain, maka keberadaannya pada suatu
sistus akan dapat menunjukkan lingkungan habitatnya.. Ada jenis binatang yang
hanya dapat hidup di daerah padang rumput terbuka, di daerah hutan belantara,
pinggiran danau, daerah tidak terlalu basah, dan lingkugnan lainnya.
Sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap jenis binatang tersebut banyak
dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya.
Sama halnya dengan binatang, sisa-sisa tanaman juga dapat
menunnjukkan keadaan masa lalu. Setiap jenis tanaman mempunyai sifat yang
berbeda dengan jenis tanaman lainnya, tanaman daerah pegunungan, dataran
rendah, dekat air, tempat kering, dan lain-lain. Dalam hal ini terdapat
hubungan yang erat antara binatang dan tanaman. Banyak binatang hidup dari makan
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, biji-bijian, atau makhluk lain yang hidupnya juga
tergantung dari tanaman atau dalam kondisi lingkungan tertentu.
Dengan
data arkeologis yang berupa flora dan fauna, juga dapat direkonstruksi keadaan
iklim atau musim yang berlaku pada masa lalu. Contohnya dalam suatu wilayah
terdapat dua situs, satu di daerah
pedalaman, lainnya di pantai. Kedua situs itu menunjukkan adanya
lapisan-lapisan budaya yang berselang-seling. Ketika dilakukan penggalian,
kedua situs menunjukkan adanya 4 strata dengan dua lapisan budaya pada
tiap-tiap strata. Pada situs di pedalaman lapisan budayanya terdapat pada
strata 2 dan 4, sedang pada situs pantai terdapat pada strata 1 dan 3. Strata 1
dan 3 pada situs pedalaman tidak ada lapisan budayanya demikian juga pada
strata 2 dan 4 pada situs pantai. Setelah dilakukan analisis terhadap
temuan-temuannya dapat diketahui bahwa kedua situs tersebut pernah dihuni oleh
masyarakat yang sama secara bergantian. Pertama mereka menghuni situs
pedalaman, kemudian pindah ke situs pantai, kemudian kembali lagi ke padalaman,
dan akhirnya pindah lagi ke pantai. Proses ‘pindah-kembali’ dari situs
pedalaman ke pantai dan sebaliknya itu ternyata disebabkan oleh faktor
perubahan musim/iklim. Pada musim yang baik untuk bertani mereka menempati
situs pedalaman, sedangkan pada usim
kering mereka menempati situs pantai.
Contoh
lainnya dapat dilihat misalnya pada situs yang menunjukkan adanya perbedaan
jenis binatang antara lapisan yang satu dengan lapisan yang lainnya. Lapisan yang
satu menunjukkan adanya temuan kulit siput darat yang banyak, sedangkan lapisan
yang lainnya tidak ada, maka hal ini merupakan indikator bahwa lapisan pertama
berlangsung pada musim hujan, sedangkan lapisan berikutnya berlangsung pada
musim kemarau (kering).
Analisis
terhadap temuan artefak dan ekofak juga sangat bermanfaat untuk merekonstruksi
mata pencaharian atau subsistensi masyarakat masa lalu. Hal ini disebabkan oleh
karena ada hubungan yang erat antara manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan,
artinya bahwa binatang dan tumbuh-tumbuhan merupakan bahan pokok makanan
manusia. Manusia akan memanfaatkan flora dan fauna di sekitarnya untuk memenuhi
kebutuhan akan makannya. Untuk itu diperlukan alat-alat yang dapat digunakan
untuk mengeksploitasi jenis-jenis bahan makanan tersebut. Pembuatan alat-alat
yang diperlukan akan menunjukkan tingkat teknologinya. Di samping itu, dengan
melakukan analisis terhadap temuan flora dan fauna akan dapat diketahui pula
cara manusia dalam memanfaatkan flora dan fauna tersebut. Terutama untuk
mengetahui apakah flora dan fauna tersebut sudah dibudidayakan atau belum (Ph.
Subroto, 1983).
Analisis artefak juga dapat ditujukan untuk mengetahui
teknologi masa lampau. Alat-alat masa lalu terbuat
dari berbagai bahan, antara lain, batu, logam, tanah liat, tulang binatang,
kayu, bambu, dan lain-lain. Masing-masing bahan memerlukan teknik pengerjaan
yang berbeda-beda. Untuk mengetahui teknik-teknik pembuatan dan penggunaan
alat-alat tersebut dapat dilakuakn dengan cara analisis laboratories dan
analogi teknologi. Analisis laboratories dapat dilakukan mislanya dengan
mengukur sudut kemiringan tajaman alat, striasi (goresan-goresan bekas pakai), lebar tajaman,
dan lain-lain. Hasil
analisis ini kemudian diperkuat dengan melakukan eksperimen dan analogi (Cf. Coles,
1973). Untuk analogi perlu
dilakukan perbandingan dengan kelompok-kelompok masyarakat tradisional yang
masih membuat dan menggunakan alat-alat tersebut.
Analisis data arkeologis juga dapat diarahkan pada tujuan
untuk mengetahui sistem pertukaran dan perdagangan masa lalu. Dengan
memperbandingkan himpunan artefak (assemblage) pada satu situs dengan
situs yang lainnya akan dapat diketahui
persamaan dan perbedaan jenis-jenis artefaknya. Persamaan artefak antara satu
situs dengan situs yang lain memberikan kemungkinan adanya hubungan antar situs
tersebut. Hubungan tersebut kemungkinan berupa hubungan perdagangan. Apabila
memang terjadi hubungan dagang maka perlu diketahui pula sistem perdagangan
atau pertukaran yang berlaku, apakah barter (reciprocal), sistem upeti (redistributive),
atau sistem pasar (market exchange).
Analisis
terhadap data temuan arkeologis pada satu situs dapat juga dipakai untuk
rekonstruksi sistem kehidupan manusia lainnya. Sistem kehidupan tersebut
misalnya sistem permukiman, organisasi social, agama, dan upacara-upacara
keagamaannya.