GERAKAN-GERAKAN SOSIAL TRADISIONAL
ISLAM DI INDONESIA
Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas
Matakuliah Sejarah sosial islam di Indonesia
Dosen Pengampu : DRA. Himayatul Ittihadiyah
Oleh
Alfa Farkhoni : 09120028
Nur Abdur Razaq : 09120030
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
Gerakan Tradisional Ini Telah Muncul
Sebelum Kemerdekaan Indonesia Pada Tanggal 17 Agustus 1945, Yaitu Pada Periode
Waktu Sekitar 1900-1940an, meskipun demikian akar-akar gerakannya khususnya
islam tradisional, telah tumbuh jauh sebelum periode tersebut.akar-akar gerakan
islam tradisional mulai bersemi sekurang-kurangnya bersamaan dengan masuk dan
semakin meluasnya pemelukan islam di pedalaman jawa pada saat mana islam mulai
mengalami proses menyerap dan diserap oleh unsur-unsur budaya lokal,
BAB II
PEMBAHASAN
A.
LATAR BELAKANG
Selama
zaman VOC kepentingan perdagangan sangat diutamakan sehingga keterlibatan nya dalam
perang-perang intern atau konflik-konflik politik dapat dibatasi, maka
peranannya lebih bersifat reaktif dan oleh karenanya tidak terlalu agresif.
Pada umumnya kedatangan orang asing dalam masyarakat menimbulkan situasi
konflik. Dalam menyikapi kedatangan dari bangsa asing tersebut berbeda-beda
dari satu daerah dengan daerah yang lain, ada yang sangat menerima karena berpikiran
akan membawa perubahan dalam kondisi saat itu, ada juga yang setengah hati
dalam menerima bahkan gigih dalam melawan bangsa asing tersebut, dengan
demikian dapat diartikan kedatangan bangsa belanda saat itu mengakibatkan
terpecah-pecahnya masyarakat menjadi golongan-golongan.
Semangat
loyalitas dan pengabdian yang kuat membuat para pemuka-pemuka ajaran agama dan
juga golongan yang membelot kepada belanda berani dan tegas dalam menggerakkan
rakyat untuk melawan penjajah, ideoloi agama atau tradisional tidak hanya
menentukan identitas diri sendiri dan kelompoknya tetapi juga dari orang luar
dan orang asing. Ditambah lagi dengan faktor
ideology dan religiusitas dan kepentingan materil saling memperkuat dan serta
mempertajam pertentangan dan konflik dengan belanda.
Banyak
sekali konflik-konflik yang terjadi pada bangsa kita ini, dari peristiwa
Saparua sampai dengan paling ujung wilayah bangsa kita dengan perang Acehnya,
semua reaksi-reaksi yang penuh dengan kekerasan yang sedemikian rupa mempunyai
akar permasalahn yang sama yaitu mempunyai nada religious mulai dari keluhan
bahwa belanda mempersulit kehidupan beragama sampai proklamasi perang sabil.
Seperti
banyak yang terjadi pada gerakan-gerakan kecil, gejala nativisme mulai
bermunculan di kalangan masyarakat pribumi sendiri, yaitu dengan menegakkan
kembali orde pribumi yang lama. Dengan dampak dan pengaruh daripada belanda
yang terus meneus dan sangat intensif kepada masyarakat pribumi serta perubahan
social-ekonomi yang menyertainya terciptalah suasana yang tak menentu di antara
rakyat pribumi, penuh dengan keguncangan dan kegelisahan melanda. Sehingga
rakyat mulai mengalami krisis identitas dari masyarakat maupun dari pribadinya.
Faktor
religiusitas sangat diperlukan dalam hal ini akan memperkuat keyakinan mereka
untuk terus melawan belanda serta untuk mempertegas sikap dan tindakan,
sokongan dan dorongan yang diberikan ideology religious mengenai belanda akan
semakin jelas, dengan seruan-seruan yang di kobarkan oleh para pemukanislam
menjadi spirit yang menjadikan api semangat bagi pribumi. Belanda adalah kafir
yang mengancam kedudukan dar-al-islam. Wajarlah kalau kedatangan mereka pasti
dilawan perang sabil , seperti apa yang terjadi di Minangkabau.
B.
CIRI
DAN MODEL GERAKAN TRADISIONAL ISLAM
a.
Perang
Diponegoro (1825-1830)
Perang
Diponegoro adalah perang pergolakan terbesar yang terakhir dihadapi pemerintah
kolonial Belanda di Jawa berlangsung
selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia),
antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral
De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin
seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro sendiri merasa mendapat panggilan untuk menyelamatkan tanah Jawa, suatu tugas yang diterimanya secara mistis oleh Ratu Adil. Gambaran pribadi Pangeran Diponegoro sebagai
panatagama (pengatur agama) atau pimpinan sampai saatbterakhir perjuangannya
menjadi tuntutannya.
Sebab
yang meledakkan perang ialah provokasi yang dilakukan oleh penguasa Belanda
seperti merencanakan pembuatan jalan menerobos tanak Pangeran Diponegoro dan
membongkar makam keramat dari leluhur Pangeran Diponegoro. Sebagai protes
patok-patok untuk pembuatan jalan dicabut dan diganti dengan tombak-tombak. Belanda
yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah
memberontak, namun usaha tersebut digagalkan oleh barisan rakyat di Tegalrejo.
Sementara itu, Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro,
mereka membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro kemudian
menjadikan Goa Selarong sebagai basisnya. Setelah penyerangan itu, dimulailah
sebuah perang besar yang berlangsung 5 tahun lamanya.
Perang
dengan taktik gerilya menyebar luas kemana-mana, di bawah kepemimpinan
Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat "Sadumuk bathuk,
sanyari bumi ditohi tekan pati"; sejari kepala sejengkal tanah dibela
sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro.
Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual
pemberontakan dan Sentot Prawirodirdjo. Dengan kewibawaan Kyai Mojo dapat
mengerahkan banyak pengikut, terutama dari daerah pajang. Tambahan pula dengan
didengungkannya ideologi perang sabil melawan kafir, loyalitas dan semangat
berperang semakin hebat. Perang ini
ialah suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai
siasat, taktik dan strategi perang
yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
Serangan-serangan
besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan, Karena hujan tropis yang deras membuat gerakan
pasukan mereka terhambat, karena terserang penyakit malaria, disentri, dan
sebagainya yang merupakan musuh yang tak tampak menjadikan lemahnya moral dan
kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Pada puncak peperangan. Pada
tahun 1827,
Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem
benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo pemimpin spiritual pemberontakan ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan
panglima utamanya Alibasah Sentot
Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal
28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri
dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro
ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga
wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
b. Perang Padri (1819-1832)
Perang Padri adalah peperangan
yang berlangsung di Sumatera
Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan
Pagaruyung. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat
pertentangan dalam masalah agama
sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat
yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya, yang mempermasalahkan soal agama Islam,
ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan, judi, maternalisme dan paternalisme.
Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil kesempatan. Namun
pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum padri, yang
belakangan bersatu.
Daerah
kekuasaan kaum padri meliputi daerah yang sebelumnya adalah wilayah kerajaan
Minangkabau. Perang Padri dipimpin oleh Imam Bonjol yang dibantu oleh Tuanku
Mudik Padang dan mansiangan. Para penguasa daerah menggabungkan diri dan
mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Pusat gerakan adalah Bonjol atau Alam
Panjang. Dalam menghadapi perjuangan kaum padri, Belanda lama-kelamaan sadar
bahwa pada hakikatnya gerakan itu tidak hanya mempertahankan kepentingan agama
akan tetapi juga melakukan perlawanan terhadap penetrasi kolonial, sebagai
ancaman terhadap kemerdekaan mereka.
Sejak
ditandatangani perjanjian Bonjol 1824, semangat perlawanan tidak mereda
melainkan semakin dasyat, karena muncul kelompok yang tidak setuju dengan kaum
padri, ialah mereka yang menganggap dirinya keturunan raja-raja Minangkabau
atau penghulu-penghulu. Tuntutan kaum padri ialah agar belanda menarik diri
dari daerah pedalaman sehingga mereka dapat secara leluasa menyebarluaskan
agama dan menegakkan kehidupan beragama didaerah yang sudah Islam. Pos-pos yang
didirikan belanda menghadapi ancaman terus-menerus dari kaum padri yang terus
melakukan serangan-serangan. Meninggalnya Tuanku nan Gapok pada bulan Februari
1924 karena terbunuh oleh seorang pengikutnya, menimbulkan perpecahan
dikalangan kaum padri.
Pada
tanggal 15 November 1925 dapat dilangsungkan perundingan, yang mengkasilkan
suatu traktat. Semua permusuhan dihentikan dan kekuasaan Belanda diakui dari
pihak kaum padri. Taktik memperluas medan juga ditanggapi oleh Belanda, tetapi
serangan-serangan tetap dipusatkan di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku
Muda terpaksa menyelamatkan diri dan lolos sebelum Bonjol diduduki Belanda pada
21 september 1932. Akhirnya pada 30
Oktober 1932 menyerahlah Tuanku nan Alahan dan dengan demikian berakhirlah
perang padri. Tuanku nan Alahan diangkat menjadi penghulu di Alahan dan
pemerintah belanda akan turut menjaga bahwa di Sumatra Barat semua perjudian,
adu ayam, dan pemadatan tidak lagi dilakukan oleh rakyat.
c.
Perang Aceh (1873-1912)
Perang aceh terjadi empat kali. Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima
Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan
Belanda yang dipimpin Kohler. Kohler
dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler
sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana.
Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu
oleh beberapa kelompok pasukan dari berbgai wilayah.
Perang Aceh Kedua (1874-1880), 26 Januari
1874 di bawah Jend. Jan van
Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan dan dijadikan
sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari
1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan
Belanda. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan
frontal, dimana
pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke
Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan
dikobarkan perang fi sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini
dilangsungkan sampai tahun 1904. Dalam perang
gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar
bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der
Dussen di Meulaboh,
Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil
menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan
perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa
komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Penyebab Perang Aceh
ü
Belanda
menduduki daerah Siak. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
ü
Aceh menuduh
Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat
perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung
Britania.
ü
Dibukanya Terusan
Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas
perdagangan.
ü
Ditandatanganinya
Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan
kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan
lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan
daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
ü
Akibat hubungan
diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda
menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia
Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan
Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan
Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk
pasukan
maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan
pasukan Colone Macan yang telah
mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk
mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yang
dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan
Aceh. Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh
rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang
menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni
1904). Taktik terakhir
menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih
melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya
Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.
Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte
verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani
oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari
surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya
sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan
hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh
perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Walau demikian, wilayah Aceh tetap
tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja
terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang
(masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti
kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).
C.
AKHIR DARI GERAKAN
Bersamaan dengan menurunnya penguasa tradisional dimata publik, di karenakan banyak nya pembunuhan-pembunuhan
kepada ulama yang dilakukan oleh belanda, dan pengaruh dari belanda yang
semakin bervariasi, berganti-ganti taktik perang agar perlawanan dari pribumi
dapat dia atasi, selain itu juga Ulama-ulama Kaum Muda
mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad
Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior
mereka Jamaluddin Al-Afghani.
Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik maka pergerakan tradisional islam di Indonesia semakin berkurang dan
berakhir dan digantikan dengan kelompok-kelompok pergerakan yang lebih
terorganisir suatu
kelompok elit baru muncul dengan menonjol, yaitu para haji dan kyai".
Hasyim Asyhari adalah salah satu dari haji dan kyai itu. Perannya dalam kemunculan
organisasi Islam modern, Nahdatul Ulama terus dikenang hingga kini.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Perang Diponegoro
adalah perang pergolakan terbesar yang terakhir dihadapi pemerintah kolonial
Belanda di Jawa berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda
(sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah
pimpinan Jendral De Kock melawan
penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro.
Sedangkan Perang Padri adalah peperangan yang
berlangsung di Sumatera Barat dan
sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung. Perang
ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum
berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Perang
Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri
terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang
disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.
Sedangkan Perang
Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai
pada 1873 hingga 1904.
Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang
gerilya terus berlanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirdjo, sartono. Pengantar sejarah Indonesia baru.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Alfian, Ibrahim. Perang dijalan Allah, perang aceh 1873-1912.
Jakarta: pustaka sinar harapan,1987.
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......