Gambar pertama Pangeran Diponegoro yang dibuat oleh FVHA
de Steurs
Pangeran Diponegoro
Sebenarnya tidak perlu untuk memperkenalkan kembali
Pangeran Diponegoro, Pahlawan Nasional Indonesia (pahlawan
nasional), yang luar biasa ini dan penangkapan beliau yang didasari oleh
pengkhiatan yang disebabkan oleh kekuatan kolonial.
Pangeran Diponegoro lahir pada masa penjajahan Belanda
pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Raden Mas Ontowiryo.
Ayahnya adalah Sultan Hamengkubuwono III, penguasa dari Kesultanan Yogyakarta
dan ibunya adalah Raden Ayu Mangkorowati, anak perempuan dari Bupati Pacitan
dan seorang gundik.
Sebagai anak tertua Raden Ayu Mangkorowati, dia juga
disebut Kanjeng Pangeran Diponegoro, dan ia dibesarkan oleh neneknya Ratu Ageng
yang Saleh, janda dari Sultan Hamengkubuwono I.
Keluarga Bustaman dan Diponegoro
Tidak banyak yang mengetahui bahwa dua
dari sepupu Raden Saleh Syarif Bustaman, yaitu Raden Sukur (yang mengambil nama
Raden Panji Adi Negara, lahir pada tahun 1803) dan juga kakaknya yang bernama
Raden Saleh (alias Arya Natadiningrat, lahir pada tahun 1801), anak-anak dari
Bupati terkenal Semarang Kyai Adipati Suryamangalla (Suraadimanggala),
juga berjuang bersama Pangeran Diponegoro.
Oleh karena itu, ayah dari Raden Sukur
- Bupati Semarang yang terkenal dan dicintai - dan saudaranya Raden Saleh,
ditangkap oleh Belanda pada tahun 1825. Mereka pertama kali dipenjara didalam
kapal "Maria van Reygersbergen" dan kemudian dikirim ke Surabaya
diatas kapal "Pollux".
Setelah itu, ayah dan anak diasingkan
ke Ambon dan Sumenep pada tanggal 20 Juli 1827 pada usia 62.
Bayangkan, salah satu anggota masyarakat
Indonesia dari keluarga yang memerintah sebagian besar Jawa selama
berabad-abad, salah satu yang paling dihormati, beradab dan berjiwa
kepemimpinan waktu itu - dikirim ke penjara dikarenakan keyakinannya dan
keyakinan keluarganya untuk memperjuangkan kebebasan dari penjajahan atas
bangsanya.
Tetapi kekuatan-kekuatan kolonial
Belanda tidak dapat menahan Raden Sukur. Walaupun ayahnya dan saudaranya ada dibawah kekuasaan
penguasa kolonial, dia tetap setia dan mendukung Pangeran Diponegoro sampai
akhir, dan akhirnya ditangkap pada 26 Juli 1829.
Keluarga kami menjadi sangat menderita,
karena dukungan yang diperuntukkan untuk Pangeran Diponegoro dan tujuan
mulianya, dianggap sebagai "aib keluarga" oleh kekuasaan kolonial
Belanda.
Raden Saleh dan Diponegoro
Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap
Belanda menjadi dasar dan latar belakang dari perjuangan rakyat Indonesia untuk
memperjuangkan kemerdekaan, persatuan dan martabat bangsa.
Mitos modern menganggap bahwa bangsa
Indonesia telah dipengaruhi oleh Perang Jawa. Ingatan akan spirit, kecerdikan,
semangat dan penderitaan Diponegorolah yang telah mendorong bangsa Indonesia
untuk melepaskan diri dari penjajahan kolonial pada tahun 1945. Perjuangan dan
pengorbanan Diponegoro telah menandai momen majikal disaat pembangunan sejarah
dan penciptaan diri bangsa Indonesia setelah kemerdekaan.
Pidato, essai, artikel, buku, strip komik,
film, seperti halnya 1828 oleh Teguh Karya berjudul 1828, yang tak terhitung
banyaknya, juga halnya lukisan Diponegoro Terluka (1983 belum selesai)
oleh Hendra Gunawan demikian pula opera Opera
Diponegoro by Sardono W. Kusumo dibuat untuk mengingat pahlawan nasional
ini.
Sekolah, universitas, museum, jalan-jalan,
hotel, rumah cetak, produk industri, dan divisi
tentara memakai namanya. Semua ini dalam
rangka menunjukkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pangeran
Diponegoro.
Penangkapanan Diponegoro
yang diakibatkan oleh pengkhiatan (walaupun sebelumnya dijanjikan keselamatan
atas dirinya), merupakan momen bersejarah bagi bangsa Jawa/Indonesia. Tidak
mengherankan apabila ideologi politik dan sejarahnya menjadi sumber atas dasar
dan martabat dari bangsa Indonesia.
Belanda selama beberapa dekade tahu
tentang pentingnya kemenangan mereka atas Diponegoro. Kemenangan ini terjadi dengan
mengerahkan seluruh konsentrasi dan juga sumber daya ekonomi mereka. Pada tahun
1825, kolonial berdiri dijurang keruntuhan.
Oleh karena itu perang Jawa
dipercaya oleh beberapa generasi berikutnya sebagai Grauen an sich (horror in itself). Pemerintah Belanda berusaha untuk menerapkan
kebijakan keamanan di tanah jajahan yang menghindari situasi
yang mungkin dapat membuahkan hasil yang sama seperti di Jawa Tengah pada tahun
1825.
Ketika Raden Saleh meminta ijin untuk
melakukan perjalanan napak tilas ke beberapa tempat dimana telah terjadi perang
Jawa pada tahun 1856 untuk membuat beberapa lukisan, pemerintahan lokal Belanda
menentangnya dengan memberikan alasan bahwa kenangan atas perang Jawa masih
sangat lekat dalam ingatan.
Pada saat pecah perang Jawa di tahun 1825,
Raden Saleh masih berumur 14 tahun dan tinggal di Bandung atau Bogor, jauh dari
lokasi perang itu sendiri. Dia meninggalkan Batavia pada tahun 1829 untuk pergi
ke Belanda. Ketika Diponegoro ditangkap di Magelang pada tanggal 28
March 1830, Raden
Saleh sudah
menjadi siswa
dari pelukis potret Belanda Cornelis Kruseman di Den Haag. Ketika berita tentang tertangkapnya
Diponegoro terdengar di Belanda, berita tersebut membawa kebahagiaan dan
kelegaan bagi masyarakat Belanda. Akhirnya perang Jawa yang panjang dan
berdarah telah berakhir.
Memang kabar gembira dan
kabar baik bagi ribuan keluarga Belanda yang mempunyai anak yang bertugas di
ketentaraan Netherlands-Indies, berita yang menyenangkan bagi penguasa Belanda
yang akhirnya dapat mengimplementasikan strategi baru untuk mengeksploitasi
negara jajahan mereka. Era baru akan segera dimulai.
Jawa berada di tepi transformasi ekonomi:
dalam waktu 10 tahun itu tanah jajahan ini akan menjadi yang paling berharga di
bumi. Namun berita ini bukan berita baik untuk
orang Jawa dan tentu bukan untuk seorang anak muda Jawa yang berada jauh
di Belanda.
Ketika Hendrik Merkus de Kock, yang mengatur
penangkapan Diponegoro, kembali to Holland pada akhir tahun 1830, dia
menerima penghargaan sebagai pahlawan nasional. Untuk merayakannya dan menandai
kesuksesan ini, de Kock meminta agar Cornelis
Kruseman – guru dari Raden Saleh - untuk membuatkan lukisan dirinya.
Ketika dilukis itulah,
seorang anak muda Jawa duduk didepannya. Kemungkinan besar de Kock diingatkan
kembali kepada masa tugasnya di Indonesia dan mengenang kembali anekdot anekdot
yang terkait dengan musuh Belanda yang terkenal yaitu Pangeran Diponegoro.
Dr. Dr. George H. Hundeshagen "Penangkapan
Pangeran Diponegoro"
Suatu hal yang memungkinkan
bahwasanya Saleh ditugaskan untuk menyelesaikan beberapa bagian dari lukisan
tersebut seperti mengisi latar belakang. De Kock tidak hanya meminta untuk
dibuatkan lukisan diri, namun juga meminta agar dibuatkan lukisan atas
penangkapan Diponegoro kepada Nicolaas Pieneman untuk menandai keberhasilan
karir militernya. Hal ini akan kami ulas nanti.
Raden Saleh tidak pernah
bertemu dengan Diponegoro karena memang pemerintahan Belanda telah mengatur
agar anak muda yang berpendidikan ini dan masih kerabat dari Bupati Semarang
dan Keluarga Bustaman dapat dicegah untuk kembali ke Jawa Tengah.
Raden Saleh harus ke
Belanda dulu untuk dapat akhirnya mengenal sari spiritual dari Diponegoro,
pusaka yang membuat Diponegoro menjadi seorang pemimpin yang karismatik (sesuai
dengan kepercayaan Jawa). Raden Saleh ”bertemu” dengan Kyai Naga Siloeman,
kris, pusaka dari Pangeran Diponegoro..
Kyai Naga Siloeman
telah disita oleh Belanda dari Diponegoro ketika dia ditangkap di Magelang. Seluruh masyarakat Jawa harus menyerahkan senjata mereka kepada Belanda dan
baru dapat mengambilnya kembali setelah pemimpin mereka, Diponegoro berhasil
ditangkap. Namun satu kris tetap disimpan
oleh Belanda sebagai bukti atas penangkapan Diponegoro.
Sebelum dikirim ke Belanda,
pusaka ini diperlihatkan kepada Sentot, mantan pejabat yang beralih pihak dan
sahabat karib Diponegoro, yang telah mengkhianati Diponegoro dan pengikutnya.
Sentot menegaskan dan
mengkonfirmasikan, dalam sebuah catatan yang ditandatangani dan di cap, identitas
dari kris tersebut dan dikirim kepada Raja Belanda. King Willem I
ternyata tidak begitu terkesan dengan pusaka ini, yang dianggap sebagai pusaka
utama dari seluruh pusaka pusaka Jawa yang ada. Selain itu, ada
masalah yang lebih mendesak yang harus segera ditangani : bangsa Belgia
menentang dan memberontak atas inkorporasi Belanda ke negara mereka. King
Willem I memerintahkan agar pusaka ini disimpan didalam Kabinet penyimpanan
barang barang berharga, Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden ( his curiosity
cabinet) .
Direktur dari Kabinet,,
RP van de Kasteele, yang tidak dapat mengerti catatan Sentot yang dibuat dalam
tulisan sansekerta, memerlukan beberapa kalimat untuk katalognya. Dia meminta
seorang anak muda berpendidikan Jawa untuk membuatkan catatan singkat. Siapa
lagi yang memungkinkan untuk mengerjakan hal ini kalau bukan Raden Saleh.
Berikut catatan yang dibuat pada tanggal 17
Januari 1831 : ‘ Kyai berarti Guru. Seseorang yang menjadi bagian dari
penguasa disebut demikian. Nogo
adalah ular yang dipercaya memakai mahkota. Siloeman , adalah yang
dihubungkan dengan kepercayaan kekuatan supra natural, seperti membuat diri
sendiri tidak terlihat. Nama kris Kyai Nogo Siloeman mempunyai arti,
apabila memang memungkinkan untuk diterjemahkan mengingat betapa luar biasanya
pengaruh keris ini, “Raja Naga berkekuatan magis” (Magician King of the
Snakes).
Dapat dibayangkan
perasaan dari anak muda Jawa yang jauh dari negaranya ini. Dengan Kyai Nogo
Siloeman ditangannya, dapat dibayangkan betapa kerinduan dan rasa
sentimental melanda jiwanya. Bayangkan perasaan apa yang meliputi segenap
aliran darahnya.
Apakah dia bisa mengatasi
daya magis dari Kyai Nogo Siloeman? Disana berdiri pula Bapak Kasteele, Direktur Koninklijk Kabinet van
Zeldzaamheden menunggu laporan. Bukankan ini gabungan dari campuran
budaya yang saling bertolak belakang ?
Secara kebetulan, Kyai
Nogo Siloeman, keris yang paling ternama dari keris keris
Jawa ternama lainnya, tidak dapat diketemukan kembali di Museum Belanda dan
telah menghilang. Apakah kris
telah kembali ke tanah Jawa - tidak menjadi masalah karena kekuatan magisnya –
atau apakah Raden Saleh telah menemukan cara untuk “meminjamnya” ?
Ini merupakan
sebuah cerita yang indah tentang kris dan sarungnya.
Pangeran Diponegoro
ternyata tetap dalam ingatan Pangeran Raden Saleh. Ketika beberapa tahun
kemudian, Raden Saleh pindah ke Paris, seorang wartawan surat kabar melaporkan
adanya perlakuan yang buruk dari Belanda terhadap Pangeran Diponegoro. Berita
ini mengakibatkan terjadinya reaksi di The Hague. Bahkan pemerintah Perancispun
melayangkan protes resmi kepada pemerintah Belanda.
Pemerintah Belanda ingin
sekali tahu siapa yang telah menyebar luaskan berita memalukan ini. Peter Carey
yakin bahwa Raden Saleh lah yang menjadi sumber di belakang artikel ini.
Sepertinya Raden Saleh telah memulai perang gerilya intelektual.
Penangkapan Pangeran Diponegoro
Sepuluh tahun setelah
wafatnya Diponegoro, yang diterbitkan secara singkat dalam surat kabar Javasche
Courant pada tanggal 3 Februari 1855 terkait dengan berita wafatnya
Pangeran Diponegoro pada tanggal Januari di Makasar, Raden Saleh telah berada
kembali di tanah Jawa selama 3 tahun. Tampaknya pada saat itulah dia berpikiran
untuk menunjukkan penghormatannya kepada almarhum pahlawan Jawa ini melalui
karyanya The Capture of Pangeran Diponegoro .
Dia meminta ijin kepada
penguasa Belanda agar diperbolehkan untuk melakukan perjalanan ke tempat tempat
bersejarah dimana telah terjadi perang Jawa Tengah untuk membuat sketsa adegan
perang. Pemerintah menolaknya, penguasa percaya bahwa belum saatnya rakyat
diingatkan kembali oleh betapa pahitnya peperangan yang belum berakhir terlalu
lama itu.
Kurangnya kerjasama dari
pemerintah tidak mematahkan semangat Raden Saleh untuk meneruskan rencananya.
Pada tahun 1856, dia membuat sketsa (diatas) dan pada tahun 1857 menyelesaikan
sebuah lukisan cat minyak yang dalam suratnya kepada teman Jermannya, Duke
Ernst II of Sachsen, Coburg and Gotha sebagai ‘Ein historisches Tableau,
die Gefangennahme des javanischen Häuptlings Diepo Negoro’ (Lukisan bersejarah
tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa Diponegoro).
Raden Saleh berkunjung ke
Magelang pada tahun 1852 dan 1853 dan mengetahui secara jelas lokasi keberadaan
rumah Belanda dan sekitarnya. Bupati Magelang pada saat itu Raden Adipati Hario
Danoe Ningrat, merupakan sepupu jauh Pangeran Raden Saleh.
Dari segi artistik ini
merupakan tantangan yang sangat mendalam. Tidak pernah sebelumnya dia
mengerjakan satu komposisi dengan melibatkan banyak orang didalam lukisannya.
Sekurang kurangnya 40 orang harus dapat ditempatkan dalam kanvas tersebut dan
hal ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi pelukis manapun. Raden Saleh
dapat mengatasi pekerjaan ini dengan sangat memukau dan lukisannya terlihat
tertata dengan sangat indah, seimbang dan harus diakui sebagai salah satu dari
karya maha agung (masterpiece).
Raden Saleh pastinya tahu
mengenai versi lukisan bersejarah yang sama yang dibuat oleh Pieneman dan juga
kenal baik dengannya. Nicolaas Pieneman (1809-1860) seperti halnya bapaknya,
Jan Willem Pieneman, adalah salah satu dari pelukis favorit House of
Orange dan menjadi bagian dari sejarah pelukis kenamaan Negara Belanda. Lukisan
seperti William
of Orange wounded by Jaureguy atau Admiral de Ruyter’s heroic death
menjadi sangat terkenal pada awal pertengahan abad ke 19.
Lukisan minyak diatas
kanvas, 77x100cm, De onderwerping van Diepo Negoro aan
luitenant-generaal De Kock, 28 maart 1830, yang disimpan di Rijksmuseum
Amsterdam dianggap sebagai lambang kepahlawanan dari Sejarah Belanda.
Dengan sikap gaya yang
terkenal, De Kock menunjukkan kepada Diponegoro kereta kuda, yang akan
membawanya dari Semarang ke tempat pengasingan. Diponegoro juga diperlakukan
dengan perlakuan serupa seperti perlakuan yang diterima oleh De Kock sembilan
tahun sebelumnya oleh Sultan Baharuddin Palembang.
Pieneman membuat Diponegoro
tampat tunduk, begitu pula halnya dengan para pengikut dan pendukungnya. Setiap
orang mempunyai pikiran dan mendapat kesan bahwa tindakan De Kock adalah yang
terbaik untuk rakyat Jawa dan bahwasanya De Kock tidak mempunyai pilihan lain
selain mengasingkan Pangeran Diponegoro, layaknya seorang bapak yang mencintai
anaknya yang membangkang sehingga anaknya dapat menerima ganjaran yang
selayaknya.
Lagipula De Kock bukanlah
seorang penjajah yang kejam melainkan grand master dari humanistic Freemasons
di Indonesia. Seluruh yang hadir pada kanvas terlihat santai (bahkan yang
menangis), tidak tampak adanya penolakan, pergolakan dan bendera Belanda yang
mempunyai tiga warna tampak berkibar.
Nicolaas Pieneman tidak
pernah menjejakkan kakinya di tanah Jawa sehingga orang orang Jawa yang tampak
pada lukisannya lebih mirip orang orang dari Timur Tengah. Dia membuat
lukisannya berdasarkan sketsa dari FVHA Ritter de Steurs,
aide-de-champ dan juga menantu dari General de Kock. Penderitaan orang Jawa tidak tampak
sama sekali.
Pangeran Raden Saleh pasti
pernah melihat lukisan Pieneman atau bahkan pernah melihat beberapa lukisan
Pieneman yang lain di Batavia. Mungkin pula Raden Saleh membuat salinan dari
lukisan Pieneman di Belanda.
Ketika dia membuat sketsa
pertama (tampak diatas) sebelum membuat lukisannya di tahun 1856, sketsa
tersebut masih tampak dipengaruhi oleh komposisi Pieneman walaupun terlihat
bahwa hubungan antara De Kock dan Diponegoro sudah semakin tegang. Raut muka De
Kock tampak tegang demikian pula halnya dengan Diponegoro.
Lukisan yang terdapat di
Atlas van Stolk di Rotterdam memperlihatkan adanya 2 penunggang kuda disisi
kiri yang menjadi ciri menonjol dari lukisan Pieneman. Perlakuan
tentara Belanda yang digambarkan oleh Salehpun mengingatkan kita kepada
versi Pieneman.
Versi akhir dari Capture
of Diponegoro, lukisan minyak diatas kanvas, 112 x 178 cm, yang disimpan di
Museum Istana Jakarta, memperlihatkan adanya beberapa komposisi dan kualitas
emosional yang tercampur dengan baik. Diponegoro yang terlihat
marah menjadi pusat pandang di tengah lukisan. Dia
berjuang untuk mengatasi perasaannya – ciri khas budaya Jawa -. Wajahnya
menunjukkan sikap yang provokatif dan ekspresi menantang dan pejabat Belanda
menunjukkan sikap yang kaku dan menghindari tatapan pandangan mata.
Dalam versi Pieneman, Pangeran Diponegoro
ditempatkan satu tingkat lebih rendah dibandingkan de Kock. Saleh menempatkan orang
orang Jawa sejajar. Terkait dengan posisi De Kock, Diponegoro berdiri di
sebelah kanannya, sedangkan Kepala Komandan Belanda berdiri di sebelah kiri,
yang di dalam budaya Jawa disimbolkan sebagai tempat untuk perempuan. Ini juga menunjukkan bahwa
pejabat Belanda ini menempati posisi kedua.
Dalam versi Raden Saleh,
Diponegoro tidak ditunjuk untuk memasuki kereta kuda namun diundang oleh
seorang De Kock yang tampak tidak berdaya.
Yang menarik adalah bahwa
kepala dari pejabat pejabat Belanda dilukis lebih besar dari ukuran yang
seharusnya. “Kesalahan” ini tidak tampak pada lukisan awal, demikian juga
dengan ukuran kepala orang orang Jawa sendiri.
Hal ini dikarenakan bahwa
“kesalahan” tersebut memang secara sengaja dibuat untuk menunjukkan bahwa
pejabat Belanda adalah monster. Lukisan ini mempunyai 2 tingkat, dua arti :
latar muka memperlihatkan segi pandang pihak Belanda dan latar belakang secara
tersembunyi memperlihatkan masyarakat Jawa.
Bagi mereka, De Kock adalah
raksasa perempuan, seorang monster dengan kepala yang besar. Publik Belanda
tidak dapat melihat adanya detil ini dan bagi mereka, seniman Jawa ini
memperlihatkan ketidak mampuannya dalam melukis. Bahkan sejarawan Belanda yang
sangat terkenalpun, HJ de Graaf, tidak dapat merasakan makna yang tersembunyi
dari lukisan ini.
Dia menulis: “Saya tidak
melihat indahnya lukisan ini. Kepala mereka tampak terlihat sangat besar dan
penangkapan Pangeran tidak terjadi di depan sebuah gedung namun didalam
rumah”.
Perbedaan mendasar dari
lukisan Pieneman dan Saleh adalah penafsiran dari dua pelukis yang berbeda yang
melihat drama ini dengan cara pandang yang berbeda pula. Sementara Pieneman membuat lukisannya
dari arah barat daya, Raden Saleh membuatnya dari arah tenggara. Pieneman
memperlihatkan adanya tiupan angin dari barat (sering terjadi di Belanda) yang
membuat bendera Belanda terlihat berkibar secara dinamis.
Dalam adi karya Pangeran
Raden Saleh, cuaca terlihat lebih tenang. Seolah-olah alam semesta menahan
nafasnya, tidak ada daun yang bergoyang maupun bendera yang berkibar. Raden
Saleh bahkan melupakan adanya bendera tiga warna Belanda sama sekali.
Sementara Pieneman memberi
judul karya lukisnya dengan De onderwerping van Diepo Negoro,
(Penaklukan Diponegoro - Sugjugation of Diponegoro), Pangeran Raden Saleh lebih suka memberi judul Die Gefangennahme
Diepo Negoros, (Penangkapan Diponegoro - The Arrest of Pangeran Diponegoro). Bagi Raden
Saleh, Diponegoro bukanlah seorang pejuang yang dapat ditaklukkan. Dia adalah
korban pengkhianatan dan korban tindakan curang dari Belanda. Lukisan Raden Saleh The Arrest
of Pangeran Diponegoro merupakan karikatur dan bukti dari pahitnya
kekuasaan penjajah Belanda.
Untuk pernyataan Clark’s
“Lihat apa yang telah kau lakukan kepada kami, namun kami tetaplah kami”, kita
bisa menambahkan “Kamu harusnya sangatlah tolol untuk tidak dapat mengerti
makna sesungguhnya dari pesan ini”. Menyampaikan pesan dalam bentuk lukisan
akan adanya pesan yang tersirat adalah hal yang luar biasa. Tidak
ada kesempatan di Batavia untuk memamerkan lukisan kepada masyarakat. Tidak
ada musium, tidak ada galeri, tidak ada agen lukisan.
Namun kita tahu bahwa Raden Saleh membuka
secara berkala studionya kepada masyarakat umum untuk memamerkan beberapa karya
lukisnya. Telah disebutkan tadi bahwa dia telah membangun sebuah rumah besar
dengan gaya neo-gothic di Cikini. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bukti
yang terdokumentasikan atas pagelaran Pameran lukisan pada tahun 1862.
Koresponden dari Surat
Kabar Kesenian Kunstkronijk mengulas dalam artikelnya tentang seni di
daerah jajahan. ‘Kassian, kassian ! 'Kassian,
kassian! … karya seni adalah komoditi yang tidak dapat
ditemukan di pasaran di negara ini”. Yang disusul dengan catatan adanya
pengecualian yaitu: Raden Saleh.
Koresponden yang tidak
dikenal memberikan deskripsi tentang 2 lukisan yang dipamerkan di rumah Raden
Saleh yang merupakan lukisan minyak “A Flood in Java” (Banjir di Jawa)
dan ”View of Megamendung” (Pemandangan dari Megamendung). Ratusan orang
membanjiri acara tersebut dan pameran ini menjadi buah bibir dan bahan
pembicaraan selama berhari-hari diawali dengan ”Apakah Anda sudah melihat
pameran lukisan Raden Saleh”. Lukisan A Flood in Java
diperuntukkan bagi King Willem III dan Raden Saleh ingin memperlihatkannya
kepada publik sebelum dikirim ke Belanda.
Kita tidak mempunyai data
yang menyebutkan bahwa lukisan Diponegoro, yang juga dikirim kepada Raja,
dipamerkan dengan cara yang sama sebelum dikirimkan. Walau bagaimanapun, ini
menunjukkan sikap simbolis yang tinggi bahwa lukisan diperuntukkan kepada
perwakilan tertinggi dari Penguasa tertinggi dari sebuah Negara jajahan yaitu
Raja Willem III.
Willem III dianggap sebagai
liberal oleh sebagian besar pengikutnya dan Raden Saleh ingin mereka dapat
membaca pesan yang disampaikannya melalui lukisan 'Lihatlah
Anda melakukan ini kepada kami, tetapi kami masih tetap kami'.
Tentu saja Raja tidak dapat
mengerti. Untuk beberapa tahun lamanya, Raja menyimpannya di istananya di The
Hague. Setelah itu lukisan tersebut dikirim ke trofeengalerij van het
Koninklijk Koloniaal Militair Invalidenhuis Bronbeek (gallery of trophies
of the Royal Colonial Military Veterans Home Bronbeek - galeri dari piala dari
Royal Kolonial Militer Veteran Home Bronbeek). Pada tahun 1978,
Oranje Nassau Foundation mengembalikan lukisan tersebut kepada rakyat Indonesia
sebagai hadiah.
Hari ini, simbol dari
sejarah seni Indonesia menjadi bagian dari koleksi Musium Istana kepresidenan
namun sangat disayangkan bahwa sekarang menjadi makin tidak terlihat oleh
masyarakat umum sebagaimana layaknya ketika disimpan di Belanda.
Bukan saja Willem III, bahkan nasionalis Indonesiapun
banyak yang tidak mengerti arti simbolik dari lukisan Raden Saleh.
Dalam salah satu
pernyataannya, Prof. Harsja Bachtiar, seorang yang berpendidikan Amerika ahli
dibidang sejarah Indonesia, yang termasuk dalam generasi pertama dari
cendikiawan Indonesia, menganggap bahwa lukisan tersebut sebagai tidak
nasionalis.
Dia menulis: ”Wafatnya
Diponegoro memberi inspirasi kepada Saleh, yang telah melihat banyak lukisan
sejarah ketika di Eropa, untuk melukis apa yang dia sebut sebagai lukisan
bersejarah 'a historisches Tableau (historical painting). Die Gefangennahmen
des Javanischen Häuptling Diepo Negoro' (Penangkapan Diponegoro), yang dilukis
untuk Raja Belanda menunjukkan sikap yang tidak nasionalis, namun sangat sesuai
dengan hubungan yang menunjukkan rasa terimakasih seorang seniman terhadap
aristokratik pelindungnya”.
Beberapa ahli sejarah barat menyetujui
analisa Bachtiar. Mereka membandingkan lukisan Pangeran Raden Saleh dengan
lukisan yang belum selesai dari Hendra Gunawan berjudul Pangeran Diponegoro
Terluka, Astri Wright menyatakan:
‘Raden Saleh, walaupun
dengan adanya pernyataan revisionis pada tahun 1980, dengan spirit nasionalis
terdahulu, melukis karyanya yang menunjukkan hasil akhir dari Perang Jawa
dengan cara yang dapat menimbulkan tercetusnya pemberontakan. Saya tidak tahu
apakah lukisan Raden Saleh dibuat berdasarkan permintaan dari Belanda, namun
hal ini bisa saja terjadi '.
Jawabannya adalah tidak dan sekali lagi tidak
…
Dengan cara yang berbeda
dan ditulis di berbagai media, Heri Dono yang menyelenggarakan pameran 2
lukisannya tentang Raden Saleh di Semarang menyatakan bahwa hal ini tidak
benar. Lukisan Dono berjudul Raden Saleh jadi Londo (Raden Saleh becomes
Dutch) dan Raden Saleh dalam mulut Belanda (Raden Saleh in the mouth of
the Dutch).
Pangeran Raden Saleh selalu
dianggap sebagai simbol dan model budaya nasional. Bahkan mungkin seorang
pahlawan nasional. Apakah dapat Anda bayangkan apabila salah seorang dari
penguasa jaman penjajahan dapat mengerti makna sebenarnya dari lukisannya
?
Raden Saleh mempertaruhkan reputasi dan
nyawanya untuk turut memerdekakan Negara yang dicintainya dari penjajahan,
dalam bentuk tradisi yang sama seperti halnya anggota keluarga besar Bustaman
lainnya, pamannya: Kyai Adipati Suryamangalla (Suraadimanggala) dan sepupu
sepunya Raden Sukur and Raden Saleh.
Walau bagaimanapun, dia
telah membuktikan melalui jiwa seninya bahwa orang Jawa sama tingkatannya
dengan orang Belanda, dapat dilihat dari lukisannya. Dia mengangkat
harkatnya pada tingkat yang sama dan dapat melihat kedalam mata kekuatan
kolonial. Namun dia tidak pernah dianggap sebagai nasionalis sampai saat ini.
Interpretasi ini tampaknya
telah berubah akhir akhir ini. Jim Supangkat membuka wacana beberapa tahun yang
lalu dengan menulis sebagai berikut: “Sampai saat ini, tidak terdapat adanya
bukti nyata bahwa Raden Saleh telah mengambil sikap dalam konfrontasi antara
Diponegoro dan penguasa kolonial. Namun adalah tidak masuk akal untuk
mempertanyakan apakah dia seorang patriot atau seorang pengkhianat”.
Demikian pula dengan Alwi
Shahab yang menambahkan dalam esai panjang (Republika, 22nd December
2002) tentang lukisan Raden Saleh Arrest of Diponegoro: "Itu
merupakan sebuah karya lukis yang revolusioner dan antipenjajahan" (yaitu yang revolusioner
dan lukisan anti kolonial).
Prasyarat untuk dapat
dianggap sebagai suatu lukisan yang mempunyai nilai sejarah pada abad 19 adalah
adanya suatu bangsa karena negaralah yang menjadi pelanggannya dan bukannya
individual. Atau dapat dikatakan juga bahwa untuk mendapatkan gambaran
dari peristiwa nasional bersejarah, harus dibuat dengan cara virtual. Dalam
pada ini, Belanda telah membangun imej dari Netherlands India melalui lukisan
seperti lukisan Pieneman “Subjugation of Diponegoro” .
Dan Raden Saleh menunjukkan
adanya sebuah Negara yang masih dalam penantian dengan melukis “Arrest
of Diponegoro” dari sudut pandangnya sendiri. Pengenalan
dari lukisan bersejarah adalah melalui pengenalan terhadap ide dari Negara itu sendiri.
Dengan menerima
interpretasi Raden Saleh atas lukisan “Arrest of Pangeran Diponegoro”,
kita harus dapat menginterpretasikan kembali peran Raden Saleh dalam sejarah
itu sendiri. Dia harus dapat ditempatkan di tempat yang benar di awal barisan
panjang dari Indonesian modern dan figure proto-nasionalis.
Bahwasanya pesan yang
tersirat tidak terlalu difahami oleh saudara saudaranya di tanah Jawa mungkin
ada kaitannya dengan masalah waktu : dia terlalu maju untuk jamannya ketika itu
dalam bidang modernisasi budaya dan kemasyarakatan. Namun, dia telah
membuat langkah besar. Dia telah membuktikan bahwa Jawa juga dapat bersaing
dengan teknik budaya Eropa. Karya karya lukisannya termasuk yang pertama dalam
topik sejarah dan lukisan yang mempunyai sejarah di bidang seni di Asia
Tenggara. Hal ini merupakan representasi, interpretasi, dan komentar pertama
pada seni kontemporer.
Untuk pertama kalinya
seorang seniman lokal tidak mengharapkan pengakuan dunia atas karyanya. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah seni Asia Tenggara, seorang seniman besar
mendapatkan tempat di kursi paling depan disebelah para elit politik.
Ini adalah bukti dari
sikap modern. Ini adalah sikap modern luar biasa. Ini
adalah prasyarat dari awal sebuah era baru, prasyarat untuk modernitas.
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......