NAPAK
TILAS SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI
KABUPATEN
PURWOREJO
DI
DEDIKASIKAN UNTUK :
KAMAPURISKA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
KALIJAGA
KAMAPURISKA
2012
KILAS
PANDANG PURWOREJO
Hamparan
wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan
Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai
wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor
Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau
diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini
lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di
kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai
sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “ sampai sekarang
masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara,
masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo.
Pada
bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing
(Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal 5
Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah
Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit
yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara
Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah
diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan
menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah
Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa
yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung
Pematokan tersebut menandai,
desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang
disebutkan sebagai“parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa tersebut
dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara
Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang
Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak
Watu Tihang …”
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro
Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah,
antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak,
Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang,
Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano). Kepada
para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji
patra sisi, emas dan perak.
Peristiwa 5 Otober 901 M
tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten
Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo.
Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh
panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Perlu dicatat, bahwa sejak jaman
dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen.
Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat
sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan,
tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah
dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta
dan Kabupaten Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan
Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang
kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat
bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga
nama Begelen sangat disegani.
Dalam
Perang Diponegoro abad ke XIX (1825-1830), wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang
pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat
setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan
masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah
karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten
Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati
Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya,
Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten
Purworejo.
Lambang daerah berbentuk perisai
dengan gaya artistik yang berisi makna sbb :
Pohon
Beringin
|
:
|
bermakna rasa kebangsaan dan
pengayoman
|
||
Bedug
dengan 17 pantek
|
:
|
merupakan ciri khas daerah
Purworejo, dengan keistimewaannya yang terbuat dari kayu jati utuh
merupakanyang terbesar di Indonesia
|
||
Cakra
dengan 17 mata
|
:
|
dalam cerita pewayangan merupakan
senjata Wisnu dalam tugasnya memelihara kesejahteraan dan memberantas angkara
murka
|
||
Bintang
segi lima
|
:
|
menunjukkan bahwa Rakyat Purworejo
adalah masyarakat yang Berketuhanan YME
|
||
Pita
merah putih
|
:
|
menunjukkan bahwa Purworejo adalah
bagian dari negara Republik Indonesia
|
||
Gelombang
di kanan-kiri bintang
|
:
|
menggambarkan keadaan alam
Purworejo yang disebelah utara merupakan daerah pegunungan yang penuh dengan
kekayaan alam
|
||
Garis-garis
putih dibawah gelombang hijau
|
:
|
menggambarkan keadaan alam
Purworejo yang mempunyai sungai-sungai yang sangat penting terutama untuk pertanian
misalnya S. Bogowonto dan S. Jali
|
||
Petak-petak
dibawah garis
|
:
|
menggambarkan keadaan alam yang
bagian tengah dan selatan penuh dengan sawah dan ladang
|
||
Padi 45
butir dan kapas 8 buah
|
:
|
menggambarkan
cita-cita masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur.
Catatan : cakra 17 mata,
kapas 8 buah, padi 45 butir- melambangkan kesetiaan rakyat Purworejo pada
Proklamasi 17-8-1945
|
||
Tiang di
tepi kanan dan kiri
|
:
|
merupakan lambang penegakkan
kebenaran dan keadilan
|
||
Lipatan-lipatan
/ wiron di kanan kiri bawah
|
:
|
lambang kerapihan, kehalusan,
keramahan, kehalusan budi
|
||
Bokor
dengan style kepala banteng
|
:
|
bokor adalah wadah / tempat,
melambangkan kebesaran jiwa rakyat dan pemerintah daerah yang mampu menampung
berbagai masalah kehidupan. Kepala banteng lambang kerakyatan atau keinginan
mewujudkan Demokrasi Pancasila
|
||
Pita
putih bertuliskan PURWOREJO
|
:
|
bermakna kesucian, ketulusan,
keluhuran budi
|
||
Rantai
|
:
|
lambang kemanuasiaan dan gotong
royong. Bentuk persegi lambang wanita, bentuk bulat lambang pria
|
||
Dasar
hitam
|
:
|
bermakna keabadian, keteguhan
hati, ketenangan
|
||
MASUKNYA
ISLAM DI PURWOREJO
Akhir
abad ke-15, melalui Walisongo, Islam semakin menyebar luas di Jawa. Namun, ada
satu wilayah yang saat itu masih hutan belantara, mayoritas penduduknya masih
belum beragama Islam. Daerah itu bernama Bagelen, yang pada saat itu meliputi
wilayah Purworejo, Kebumen, sebagian Wonosobo, dan Kutoarjo. Datanglah Sunan
Kalijaga ke wilayah itu. Saat masuk ke Bagelen, ia konon bertemu tukang nderes
atau pencari nira kelapa yang bernama Cakrajaya. Kagum dengan tingginya ilmu
Sunan Kalijaga, Cakrajaya bermaksud berguru. Sunan Kalijaga menyuruh Cakrajaya
bersamadi di dekat Sungai Bagawanta, lalu meninggalkannya sendiri.
Setahun
kemudian, ia bersama muridnya datang ke dekat sungai tempat Cakrajaya bertapa.
Namun, di tempat itu tak terlihat apa-apa, kecuali rerumputan liar. Sunan
Kalijaga menyuruh muridnya membakar rerumputan liar itu. Ternyata, Cakrajaya
yang tak lain keturunan Nyai Ratu Bagelen masih bertapa di tempatnya semula.
Namun karena tempatnya dibakar, punggung Cakrajaya gosong. Sejak saat itulah,
Cakrajaya yang dikenal memiliki ilmu agama yang teguh disebut dengan Sunan
Geseng (dari kata gosong).
Melalui
Sunan Geseng inilah dakwah agama Islam di Kadipaten Bagelen berkembang. Sebagai
murid Sunan Kalijaga, gaya dakwah Sunan Geseng pun tak berbeda dengan metode
gurunya, yakni mengakomodasi ajaran Syiwa-Buddha dalam Islam. Terjadilah
akulturasi. Akulturasi ini menghasilkan komunitas Islam-Kejawen yang kuat di
Bagelen. Komunitas ini masih bertahan hingga kini. “Di Bagelen, yang termasuk
sekarang di Purworejo, banyak penganut Kejawen. Tetapi, mereka beragama Islam.
Adat dan tata cara Jawa, seperti menjamas pusaka, menghormati pepunden, dan
kepercayaan akan sengkala Jawa masih dipertahankan, meski mereka itu shalat,”
ujar Oteng Suherman, pakar Sejarah Purworejo yang lama mendalami Komunitas
Bagelen. Perpaduan Islam-Jawa ini menjadikan masyarakat Bagelen memiliki
karakter khas. Sejak dulu warga Bagelen dikenal pemberani, jujur, setia, dan
berjiwa besar. Tak ayal bila Panembahan Senopati (Raja Mataram Islam pertama),
banyak merekrut orang Bagelen untuk perang melawan adipati di Jawa Timur yang
menolak tunduk. Pada zaman kolonial Belanda, Bagelen adalah medan tempur
Pangeran Diponegoro.
Syiwa-Buddha.
Menurut
Oteng, dakwah Sunan Geseng di Bagelen dengan mengakomodasi kepercayaan
Syiwa-Buddha bukan tanpa alasan. Sejak zaman kerajaan Galuh-Tarumanegara,
Bagelen dikenal sebagai pusat perkembangan agama Syiwa-Buddha di Jawa Tengah.
Bahkan, pendiri Bagelen adalah putri Raja Syailendra atau yang disebut warga
setempat sebagai Raja Suwela Cala. Di Bagelen juga banyak ditemukan yoni dan
lingga peninggalan Wangsa Sanjaya dan Rakai Panangkaran yang beragama
Hindu-Syiwa. Bagelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo dikenal sebagai
tempat pelarian pangeran dan kesatria Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran
Jayakusuma. Demikian pula dengan Raden Caranggasing dari Jenggala. Di Bagelen bagian
selatan banyak pendeta Bhairawa Tantra, yang sakti. Maka, banyak prajurit
tangguh dari wilayah ini.
Sungai
Bagawanta
Urat
nadi wilayah Bagelen, yaitu Sungai Bagawanta, konon merupakan tempat begawan
dan biksu tinggal dan bertapa. Karena itu, sungai itu dinamakan Bagawanta (dari
kata begawan). Sebelumnya, berdasarkan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya,
sungai ini bernama Ciwatukora. Dengan latar belakang semacam itu, tak ada
pilihan lain bagi Sunan Kalijaga maupun Sunan Geseng untuk tidak mengakomodasi
nilai Syiwa-Buddha. Apalagi dalam beberapa hal ajaran Islam dan Syiwa- Buddha
juga memiliki kesamaan.
No comments:
Post a Comment
kasih komentar balik yah......